Mohon tunggu...
Ida Hutasoit
Ida Hutasoit Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Editor

Menulislah dengan hati. Menulislah karena cinta. Niscaya tulisanmu berguna.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dua Anakku Thalasemia

20 Maret 2021   17:38 Diperbarui: 20 Maret 2021   21:35 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Tidak pernah terlintas dalam benak ibu dua anak ini, kehidupannya yang begitu indah seketika porak poranda oleh berbagai kenyataan pahit yang secara tetiba menimpa diri dan keluarganya. Kedua anaknya divonis menderita thalasemia, suami terserang stroke, sementara dirinya harus berjuang melawan kanker ganas. Apa yang lebih menyedihkan dari ini? Namun di balik pergumulan maha berat itu, Tuhan menyampaikan cinta kasihNya. Dari situ jualah, wanita bernama Tan Kwie Hwa ini memperoleh pembelajaran berharga: lewat penderitaan iman dapat bertumbuh.

Seperti pada umumnya wanita yang sedang mengandung, aku berharap anak yang nanti kulahirkan sehat dan sempurna.  Doaku terjawab, anak pertamaku lahir dengan normal dan sangat cantik. Kami beri ia nama Evelyn. 

Di tahun-tahun awal, ia tumbuh tanpa kendala. Namun menginjak usia 6 tahun, Evelyn mulai menunjukkan keanehan. Ia mengalami sakit yang tak kunjung sembuh. Seluruh kulit tubuhnya menguning. Karena penasaran, kami membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa. Setelah sempat mendatangi beberapa rumah sakit dan dokter, akhirnya di RSCM barulah diketahui Evelyn menderita thalasemia (kelainan darah). Bagaikan petir di siang bolong kami mendengar vonis itu! Anak kami yang selama ini terlihat sangat sehat dan cerdas, menderita penyakit  'mengerikan'. Bagaimana bisa? Sebagai seorang ibu, hatiku benar-benar hancur!

Sejak  saat itu, selain sering keluar masuk rumah sakit, setiap bulan Evelyn harus melakukan transfusi darah. Yang membuat kesedihanku bertambah besar, thalasemia belum ada obatnya. Jujur saja, kenyataan itu sempat membuatku frustasi. Dengan berat hati, aku melarang Evelyn bersekolah. Dokter menasihatkan agar aku tidak membiarkannya kecapaian. Tapi lantaran Evelyn merengek terus, terpaksa aku mengizinkan dia kembali ke sekolah. Sekalipun menderita thalasemia, Evelyn tergolong anak yang cerdas di kelas.

Petaka sepertinya terus menghantui keluargaku. Saat kami harus fokus menangani Evelyin dan penyakitnya, Malvin anak keduaku, ternyata menderita penyakit yang sama. Meski  kondisinya tidak separah Evelyn. Mengetahui itu, aku berteriak pada Tuhan. "Mengapa cobaan ini begitu berat?? Aku tidak kuat lagi! Kalau ini bukan dari Engkau, tolong lalui ini dari kami... tetapi jika ini atas seizinMu, maka berilah kami kekuatan!" Seusai berkata itu, aku seolah mendengar Tuhan berkata, "Kamu kuat, kamu bahkan bisa berlari!" Seketika aku melontarkan protes dalam hati, bagaimana mungkin aku  berlari, sementara untuk berdiri saja kaki ini seolah tak lagi sanggup?

Keherananku makin membuncah tatkala suara itu memintaku untuk bersyukur.  Di tengah kondisi seberat ini, bagaimana bisa ucapan syukur meluncur dari mulutku? Saat menyaksikan anak-anakku harus keluar masuk rumah sakit. Berkali-kali transfusi darah. Tubuh penuh luka dan wajah mereka selalu pucat. Coba katakan, bagaimana caranya bisa bersyukur? Sepertinya TUhan sudah bersikap keterlaluan dan tidak adil!

DOA YANG TAK TERJAWAB

Aku pikir dengan berdoa, maka Tuhan akan mengubah keadaan. Tapi apa yang kuterima berbanding terbalik! Tahun 2008, suami yang menjadi pendamping sekaligus teman seperjuanganku melewati masa sulit, terserang stroke! Ia mengalami pecah pembuluh darah otak dan harus dioperasi. Namun karena biaya yang sangat mahal, terpaksa aku tidak mengikuti saran dokter. Uang darimana?

Selama suami di rumah sakit dan mengalami koma, aku hanya bisa berdoa dan menaikkan lagu pujian. Setiap hari dokter memberitahu kalau kondisi suamiku bertambah parah. Sementara uang ratusan juta sudah digelontorkan untuk pengobatan. Satu hari, di tengah aku menyanyikan lagu pujian, aku mengalami suatu penglihatan. Bagai seekor rajawali, roh suamiku dibawa terbang tinggi melintasi awan-awan. 

Setiap kali ada badai, suamiku terbang semakin tinggi... dan lebih tinggi lagi. Tetapi tetiba saja matanya kemasukan debu, dan membuatnya hilang keseimbangan sehingga tubuhnya terhempas ke bawah.  Suamiku meneriakkan nama Tuhan Yesus. Di saat itulah roh suamiku seolah jatuh menebus langit-langit kamar tempatnya berbaring, lalu kembali menempati raganya. Ajaib! di saat bersamaan suamiku tersadar dari komanya! 

Tak berapa lama, suamiku dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Hanya delapan hari perawatan, suamiku sudah dibolehkan keluar dari rumah sakit. Mengingat kondisinya yang parah, delapan hari perawatan adalah sebuah mukjizat! Aku tahu, tugasku tak serta merta selesai. Perjalanan dan perjuanganku masih panjang untuk mendampingi suami dalam proses pemulihannya. Di tambah lagi, aku masih harus mengurusi  kedua buah hatiku yang menderita thalasemia.  Ah, secara manusia tentu saja tugas dan tanggung jawab ini teramat berat untuk dipikul!

BERATNYA PENDERITA THALSEMIA

Banyak yang mengecilkan keadaan kami. Terutama saat mereka melihat kondisi anak-anakku. Tapi lucunya, justru kedua buah hatiku inilah yang terus  membesarkan hatiku agar kuat dan bersabar. Mereka sering mengingatkan bahwa kami tetap punya pengharapan karena kami memiliki Tuhan Yesus. Oh, betapa beruntungnya aku memiliki anak-anak seperti mereka. Anak-anak yang kuat dan tabah.

Padahal kalau bicara penderitaan, terutama Evelyn, jangan ditanya. Sebagai pengidap thalasemia, di sepanjang hidupnya banyak kesusahan yang harus ditanggung. Akibat seringnya transfusi darah, limpa Evelyn robek dan pecah sehingga harus dioperasi. Saat itu Evelyn baru duduk di bangku kelas 2 SMP. Evelyn dirawat di rumah sakit selama 42 hari. Bukan hanya ginjal, organ-organ tubuh lainnya pun tidak lagi berfungsi dengan baik. Saat itu dokter bahkan menprediksi hidup Evelyn tidak akan lama. Tapi umur di tangan TUhan memang benar adanya. 

Ada satu peristiwa yang masih kuingat dengan jelas. Waktu itu aku harus memohon agar para dokter tetap membiarkan Evelyn di ruang ICU. Namun karena kami pengguna Kartu Tidak Mampu, pihak rumah sakit memutuskan untuk merawat Evelyin di ruang biasa. Padahal kondisi Evelyn saat itu masih kritis dan  sangat bergantung dengan infusan dan mesin. Tekanan dan denyut nadi masih drop.  Demi nyawa putriku, aku sampai bersedia sujud di kaki dokter memohon belas kasihan. Tapi usahaku sia-sia. Sepertinya tidak ada yang bisa menolong. Rasanya waktu itu aku hampir gila. Pikiranku benar-benar kosong.

Saat Evelyn tahu kejadian itu, Evelyn protes padaku.  "Mami seperti orang yang tidak punya iman," teriaknya. Mendengar itu, aku tersentak dan malu pada dirku sendiri. Seperti ucapannya benar. Aku bertingkah seperti orang yang tidak punya Tuhan. Di tengah perasaan kacau, aku pun datang bersujud pada Tuhan. Memohon petunjuk apa lagi yang harus kulakukan? Cobalah bayangkan, sementara suami di rumah masih dalam kondisi pemulihan stroke dan anak keduaku harus terus transfusi darah, aku pontang panting memperjuangkan hidup Evelyn di rumah sakit. Sendirian! 

Aku tidak menyalahkan Tuhan. Aku hanya bertanya-tanya, sebetulnya pelajaran apa yang Tuhan ingin aku selesaikan? Mengapa hidup kami begitu berat? Namun pada akhirnya aku melihat pertolongan Tuhan. Evelyn bisa lolos dari 'maut', meski harus berada di atas kursi roda selama setahun lebih sampai ia benar-benar recovery.

Tahun-tahun berikutnya, Evelyn kembali harus menjalani operasi untuk panggulnya yang mengalami keropos dampak dari mengonsumsi obat jangka panjang. Tulang panggulnya dipasang pen dan bantalan baru.  Dalam kondisi ini, ia bahkan sempat mengalami stroke. 

Dua tahun lamanya ia mesti menjalani hidup dengan benar-benar bergangtung pada kursi roda.  Tapi Puji Tuhan, setelah menjalani terapi beberapa waktu lamanya, dia kembali bisa berjalan normal. Harus kuakui, aku dibuat kagum dengan semangat hidup yang diperlihatkan anakku ini. Bagaimana ia tak pernah mengeluh dengan semua yang ia lewati. Bahkan dalam keadaan sakit, ia tetap menjalani kuliahnya sambil bekerja. 

 UJIAN BUAT DIRI SENDIRI

Badai seakan masih enggan tuk beranjak.  Suatu kali aku mendapati benjolan di perutku. Mungkin karena terlalu fokus dengan semua masalah yang ada, aku sama sekali tidak menyadarinya. Aku hanya merasakan nafsu makan dan pendengaran telingaku berkurang. Tidak pernah terpikir kalau itu menjadi hal yang serius. Setelah melalui pemeriksaan medis, aku malah dinyatakan mengidap kanker stadium lanjut dan harus dioperasi! Langit di atasku seolah berubah menjadi hitam pekat. 

Sebelum menemukan benjolan itu, aku sempat mengalami sebuah kejadian. Aku mendengar suara yang bertanya, "Kalau Aku memanggil kamu hari ini, apakah kamu sudah siap?"  Spontan aku menjawab, "Belum Tuhan, aku belum siap! Anak-anak dan suamiku masih sakit. Jangan ambil nyawaku dulu sebelum semua keadaan menjadi baik."  

Lalu suara itu memintaku merebahkan diri, tapi aku tak boleh sampai tertidur. Kalau aku sampai tertidur, aku akan mati.  Kurebahkan tubuhku seperti yang diperintahkan. Saat itu aku merasakan ada wajah yang menempel di pipiku. Seketika aku diselimuti perasaan damai yang menyejukkan. Sekuat tenaga aku berusaha agar tetap terjaga.

Kembali suara itu terdengar. Kali ini dia memintaku agar mengosongkan pikiran dan memfokuskan imanku pada Tuhan.  Anehnya setelah terbangun, pikiranku seolah-olah benar-benar 'kosong". Ada semacam kelegaan. Semua yang terjadi dalam hidupku seolah tak lagi menjadi beban. 

Aku mulai mengarahkan pandangan dan iman hanya pada Tuhan, Sang pemilik kehidupan. Sambil menanggung sakitku sendiri, aku tetap mendampingi dan mengurusi kebutuhan anak-anak dan suami. Kalau bukan karena Tuhan, mana mungkin aku sanggup melakukannya!

Desember 2015, aku masuk ke ruang operasi.  Tuhan mempermudah segala sesuatunya. Bahkan waktu dikatakan dokter anestesi bahwa aku akan mengalami sakit yang luar biasa akiabat pembiusan, aku malah tidak merasakan apa-apa.  Sadar-sadar aku menemukan diriku sudah berada di ruang perawatan. Pasca operasi, aku masih harus menjalani 6x kemo. 

Aku sempat mengalami kebotakan dan berat badan turun mencapai 39 Kg. Tiga bulan selesai kemo, aku diminta kembali cek darah dan hasilnya menunjukkan sel kankerku hanya mencapai 5 saja. Bisa dikatakan aku telah pulih dari kanker! Saat melakukan kontrol 3-6 bulan, Puji Tuhan hasilnya selalu normal. Padahal sebelumnya dokter pernah  menyatakan kalau kankerku bisa menyebar ke usus besar. Namun syukurlah perkataan itu tidak pernah terjadi! Ususku bersih dari sel kanker! Betapa dahsyat kuasa dan kesembuhan yang Tuhan kerjakan!

Jika diukur dari kondisi keuangan kami, tentulah takkan memadai untuk membayar semua pengobatan selama ini. Baik itu untuk Evelyn dan adiknya, termasuk aku dan suami.  Tapi  firman Tuhan benar adanya. Dia adalah Allah Jireh.  Allah Penyedia. Dia sanggup menyediakan segalanya dengan cara yang tak terselami akal dan pikiranku. Seringkali Dia utus orang-orang untuk membantu kami di saat-saat genting.

Pernah satu kali, setelah aku dan Evelyn melakukan pemeriksaan di rumah sakit, tagihan yang kami terima melebihi uang yang kami bawa. Kurangnya mencapai 1.7 juta rupiah. Aku sempat kebingungan untuk melunasinya. Sesaat menuju kasir, HPku berbunyi. Setelah kuangkat, ternyata dari gereja yang mengabarkan ada seorang jemaat yang terdorong untuk memberkati kami dengan sejumlah uang! Jumlahnya sama persis dengan yang aku butuhkan saat itu! Sungguh, aku terkagum bagaimana Ia mengirim bantuan dalam waktu yang sangat tepat!  

Dari situ aku semakin diteguhkan, jika kita bersama Tuhan, kita akan menerima sukacita dan anugerah melebihi besarnya kesusahan atau duka yang mesti kita tanggung. Kami berterima kasih dan bersyukur untuk 'malaikat-malaikat tak bersayap' yang Tuhan kirimkan.

 PEMBELAJARAN IMAN YANG BERHARGA

Sedari kecil, kedua buah hatiku telah menjalani kehidupan yang tak mudah dan menyakitkan. Tetapi luar biasanya, tak pernah aku melihat mereka mengeluh. Malahan aku dan keluarga banyak belajar dari mereka tentang iman. Terutama Evelyn, dia banyak menguatkan. Para dokter dibuat salut dengan keteguhan dan perjuangan Evelyn.

Anak-anakku selalu memegang prinsip, tidak ada yang mustahil di dalam Tuhan. Penyakit dan keterbatasan bukanlah penghalang untuk  berkarya dan melangkah maju. Evelyn pernah berujar, kalau menangis bisa membuat keadaan lebih baik, maka ia pasti akan menangis setiap hari agar masalahnya selesai. Tetapi pada kenyataannya, hidup memang harus diperjuangkan!

Di grup thalasemia, Evelyn dan sang adik, selalu dijadikan panutan untuk penderita thalasemia lainnya. Ada seorang ibu yang tadinya ingin menggugurkan bayi dalam kandungannya karena terdeteksi thalasemia, akhirnya mengurungkan niat setelah mendengar kesaksian hidup Evelyn. 

Dan karena kebaikan Tuhan jualah, Evelyn berhasil meraih gelar Sarjana Arsitek Untar. Sementara Malvin meraih gelar Sarjana Pariwisata.  Sekarang kedua anakku telah bekerja.  

Kini aku mengerti pelajaran apa yang hendak Tuhan perlihatkan. Jangan pernah lari dari kenyataan! Seberat apa pun masalah atau penderitaan yang kita alami, selalu ada harapan dan jawaban di dalam Tuhan. Selama kita masih hidup dan bernafas, selama itu pula kita bisa berharap! Firman Tuhan katakan, anjing yang hidup masih lebih baik daripada singa yang mati (PKH 9:4). 

Dan apa yang Tuhan janjikan bahwa Ia akan memberiku kekuatan sungguh terbukti. Bersama Tuhan, aku dan keluarga bisa melewati badai hidup yang cukup hebat sekalipun. Aku memang tidak tahu apa lagi yang akan terjadi di depan. Namun satu hal yang pasti, Tuhanlah pemegang hidup dan masa depan  kami selamanya! Dialah penjamin kehidupan kami!

Aku dan suami kini tergabung dalam komunitas LWE (Life Without Excuse) GBI WTC Serpong. Ini adalah komunitas bagi penderita stroke dan jenis penyakit berat lainnya. Melalui komunitas ini aku dan suami bisa berbagi kesaksian, saling menghibur dan menguatkan.  Selalu ada sukacita dan kekuatan di saat kita saling berbagi. Semoga kesaksian kami bisa memberkati siapa pun yang membacanya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun