Pasangan suami istri, Oktavianus Ernest Tumbelaka dan Mularsih Suratno Tumbelaka, tidak menyangka sama sekali kalau anak pertama mereka, Maria Angellita Ershie Tumbelaka akan terserang penyakit yang cukup berbahaya dan mematikan, meningitis. Sempat dinyatakan kritis, Angel lolos dari maut dan dinyatakan sembuh total.
15 tahun lalu, tepatnya saat duduk di bangku SMA, aku menerima Tuhan Yesus secara pribadi. Di masa itulah aku benar-benar meyakini Yesus adalah Tuhan, dan mulai mengalami banyak pertolonganNya. Salah satunya ketika anak pertamaku, Angel, terkena radang selaput otak atau meningitis. Tidak pernah kuduga sama sekali kalau penyakit mengerikan nan mematikan itu menimpa buah hatiku.
Senin pagi hari, menjelang berangkat sekolah, aku menemukan bintik-bintik kemerahan di tangan Angel. Awalnya aku berpikir itu hanyalah alergi biasa. Aku pun membalur tubuhnya dengan bedak. Namun siangnya, saat aku sedang menghadiri pemakaman salah satu jemaat gereja, aku mendapat telepon dari Angel yang memintaku untuk menjemputnya di sekolah. Guru menyuruhnya pulang lantaran khawatir kalau Angel kena campak dan takut menularkannya pada anak-anak lain di kelas. Setibanya di sekolah aku melihat ternyata bintik-bintik merah itu sudah menjalar ke seluruh pipi dan badan Angel. Meski begitu, Angel masih nampak sehat dan tidak demam.
Selasa pagi, Angel tidak berangkat sekolah dan masih mau makan pagi. Aku masih mengira bahwa ia mungkin memang terkena campak, tertular dari anak tetangga di lingkungan kami. Siangnya aku beri dia obat. Tetapi setelah makan siang, Angel bukan membaik malah muntah-muntah. Menjelang sore, dia bshkan tidak mau bangun dari tempat tidur. Tapi saat itu aku tidak berpikiran buruk sama sekali dengan kondisi Angel. Karenanya jam 7 malam aku masih sempatkan pergi ke gereja untuk kegiatan doa yang biasa aku ikuti. Namun betapa terkejut sekembalinya ke rumah, aku menemukan Angel sudah dalam posisi lemas dengan kepala terkulai hampir menyentuh lantai.
Kulihat muntahan sudah berceceran di mana-mana. Sewaktu aku berusaha mendudukkannya di tempat tidur, tubuh Angel langsung lunglai, seolah tak bertenaga sama sekali. Kepanikanku makin menjadi-jadi saat tahu Angel seperti tidak mengenaliku. Ia juga tak mampu berbicara. Oh Tuhan, apa yang terjadi? Hanya dalam hitungan jam, kondisi anakku berubah sangat drastis!
Aku dan suami segera melarikannya ke rumah sakit. Sesampainya di UGD, kaki Angel seperti lumpuh! Dia benar-benar tak sanggup berjalan sehingga suamiku harus membopongnya keluar dari mobil. Sewaktu diajak bicara dan diambil darah pun, ia tak mau merespon. Menurut dokter jaga, Angel sudah mulai hilang kesadaran. Itu sebabnya bicaranya pun mulai melantur. Dokter menyarankan agar Angel menjalani rawat inap. Mendengar itu, hatiku dan suami seketika dilanda cemas luar biasa. Cobaan apa lagi ini? Padahal beberapa hari sebelumnya, papa mertuaku masuk ICU. Tapi sepertinya kami memang tidak punya pilihan, selain menyetujui saran dokter.
Angel terus menerus muntah, sekalipun kondisinya masih sadar. Untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi pada Angel, dokter anjurkan agar Angel menjalani MRI (Magnetic Resonance Imaging). Tetapi tindakan itu terpaksa harus ditunda lantaran Angel kelewat gelisah. Di tengah situasi yang tak menentu, aku dan suami berusaha tetap tenang. Kami coba menaikkan pujian penyembahan dan berdoa. Secara bergantian kami membaca Mazmur 91. Saat kami sedang menenangkan kegundahan hati, tetiba Angel mengalami kejang-kejang hebat. Matanya mulai mendelik ke atas dan… ia berhenti bernafas! Jantungku berdegup keras, ya Tuhan apa yang terjadi pada buah hatiku?
Aku melihat betapa dokter dan para suster berusah keras menyelamatkan nyawa Angel. Aku menjerit dan menangis, “Tuhan tolong anakku!” Aku sempat berpikir bahwa aku akan kehilangan dia. Kupegang dan kutepuk kaki anakku sambil berujar, “Kak bertahan! ayo betahan!” Seketika aku melihat nafas anakku kembali. Lalu dokter memasangkan beberapa alat bantu hidup. Anakku lantas dimasukkan ke ruang ICU dengan kondisi yang amat kristis.
Siap Kehilangan….
Aku terus berdoa dan berdoa, "Tuhan tolong sembuhkan Angelku!" Secara manusia aku tidak siap jika harus kehilangan anak pertamaku. Saat menghadiri ibadah Jumat Agung, aku berharap ada mukjizat, Angel akan terbangun. Tetapi kenyataan justru berkata lain. Kondisi Angel justru semakin kritis, alat-alat bantu ditambah. Di waktu bersamaan, aku menerima hasil pemeriksaan MRI. Dokter menyatakan anakku positif terserang meningitis dan telah masuk stadium 3! Hatiku kian tercabik-cabik saat dokter katakan dengan kondisi seperti itu, paling sedikit dibutuhkan waktu 2 minggu untuk berada di ICU. Andai pun Angel bisa melewati masa kristis dan sembuh, kemungkinan ia akan lumpuh atau buta. Oh, betapa menyakitkan mendengar vonis itu! Hati ibu mana yang tega melihat anaknya cacad, yang mungkin akan berlangsung seumur hidup?
Suamiku tak kalah terpukul. Ia sepertinya sulit menerima kenyataan. Sampai-sampai ia tidak mau seorang pun ada yang menengok Angel. Sebagai ibu yang melahirkan, tentu akulah orang pertama yang merasakan pedih. Tetapi melihat keadaan suami, aku seperti disadarkan bahwa aku harus menjadi penolong baginya. Aku coba mengingatkannya bahwa Angel adalah milik Tuhan. Ia hanyalah titipan yang Tuhan percayakan, yang kapan pun bisa diambil dari kami. Lantas di dalam doa, aku dan suami mengambil keputusan untuk menyerahkan sepenuhnya nasib Angel pada Tuhan. Kami ingin lebih mencintai Tuhan, sekalipun kehilangan anak akan menjadi hal yang teramat berat bagi kami. Kami juga diingatkan oleh Roh Kudus agar mau selalu bersyukur di tengah keadaan sulit dan sedih sekalipun.