Lampu yang temaram di dalam kamar aku matikan. Ruangan sempit dan sesak ini makin terasa sumpek saja. Aku mencoba untuk terpejam, tapi mata ini tak kuasa. Mama belum juga pulang. Biasanya tiap hari mama pulang jam delapan malam. Kemanakah mama ? Apakah mama masih marah padaku ? Di luar sana angin begitu kencang, belum ada tanda-tanda mama akan pulang.
Kutatap purnama dari balik jendala kamar, warna keemasan menembus tirai jendela kamarn.,. Tirai yang tipis, dengan warna hijau yang mulai memudar, melambai sedikit ketika tertiup angin malam yang menembus jendela kamar yang terbuka lebar. Arumi masih rebahan, enggan untuk berancak dari singgasana tempat tidurnya, walaupun hanya terbuat dari kayu yang sudah agak rapuh karena dimakan rayap, tapi menurutnya ini adalah tempat paling menyenangkan bagi dirinya.
Bintang tak tampak, mungkin karena ada rembulan. Pikiranku menerawang andai aku bisa terbang kan ku petik bintang dan kan ku bawa mamaku pulang. Malam kian larut jam di dinding kamar menunjukkan pukul sepuluh malam. Mama kemana ? Aku panik, dan bangkit dari tempat tidurku. Membuka pintu memandang ruang tamu. Ruang tamu pun sama temaramnya dengan kamarku. Arumi segera bergegas untuk menjemput mamanya. Jalan setapak, angin yang semilir, dan pemukiman yang padat tidak berubah semenjak aku dilahirkan di sini. Tapi Arumi tak yakin, apakah mama masih sama menilai dirinya ? Belum genap dua puluh tapak aku sudah bertemu mamaku, beliau begitu terlihat lelah dan letih.
"Mama, mama dari mana ? Mengapa baru pulang ?"
"Tadi mama lembur Rumi, maap sudah membuatmu khawatir."
"Ya sudah Ma, yuk kita pulang, mama pasti capek."
Ku gandeng mamaku menyusuri jalan setapak. Kugenggam erat tangannya,aku merasa sangat takut kehilangan. Sesampai di rumah kubuka pintu dan menuntun mama masuk.
"Ma aku siapkan makan ya."
"Tidak usah Rumi, tadi mama sudah makan."
"Janganlah jadi pramugari Rumi, resikonya sangat besar, mama tidak ingin kehilanganmu."
"Ma jadi pramugari itu tidak selalu buruk dengan apa yang mama pikirkan Ma, Rumi ingin bisa berkeliling dunia tanpa Rumi harus mengeluarkan biaya."
"Kamu tidak sayang sama mamamu ? sendirian di rumah sejak ayahmu meninggal ?"
"Tapi Ma...,ini impianku sejak dulu. Rumi ingin mewujudkannya."
"Apakah menjadi sarjana bukan mimpi ? Terserah kamu saja mama hanya ingin kamu kuliah dan menjadi sarjana, walaupun mama hanya karyawan toko tapi mama akan berusaha untuk menyekolahkanmu sampai sarjana."
"Tidak perlu membantah mama hanya ingin kamu jadi sarjana, asal kamu mau Rumi, Mama bisa menjual peninggalan ayahmu untuk membiayai kuliahmu. Buatlah mamamu ini bangga."
"Ma, menjadi pramugari juga sebuah kebanggaan Ma, tidak semua orang mampu melakukannya, kesempatan ini sudah di depan mata Ma."
"Terserah dirimu lah Rumi, jika itu memang sudah keputusanmu, mama tidak bisa berbuat apa-apa."
Rumi -panggilan kesayangan Arumi dari mamanya- begitu terbebani oleh keinginan mamanya. Bagaimana bisa menjadi sarjana, membaca buku saja rasanya berat, mendengarkan guru menjelaskan di depan kelas dunia serasa kiamat. Membayangkan tiap hari berjibaku di sekolah membuat Rumi ingin kabur saja. Sungguh ini beban yang berat. Rumi hanya ingin menjadi pramugari, ia ingin melanglang buwana, menjelajahi kota-kota bahkan negara-negara di dunia.
"Aku ingin jadi pramugari Ma, bukan yang lain. Aku ingin berkunjung ke kota-kota di Indonesia, bahkan semua negara-negara di dunia, restui aku ya Ma. Rengekan kata-kata Rumi membuat mamanya tak berdaya, dengan menarik nafas berat dan berkata, "Apapun keinginanmu mama akan relakan."
Pembicaraanpun berakhir.
Arumi bergegas membereskan semua pakaiannya, karena besok sudah mulai bertugas. Arumi diterima pada sebuah maskapai penerbangan terkenal di negeri ini.
Bayangan perpisahan dengan mamanya begitu menyayat hati. Kecintaan mama kepada anak semata wayangnya tak terlukiskan. Anak yang menjadi harapan dan kebanggaannya. Seluruh pikiran mama hanya tercurah hanya untuk Arumi seorang.
Mama sangat kesepian setelah Arumi bertugas.
Semenjak ayah meninggal sepuluh tahun yang lalu, mama belum menikah lagi. Mama sangat mencintai ayah. Posisi ayah tak tergantikan di hati mama.
Setiap sebulan sekali Rumi pulang untuk menjenguk mama. Ada gurat kekecewaan yang masih membekas di raut wajah mama, setiap aku pulang. Mama masih selalu berharap aku bisa kuliah. Dan setiap mama mengingatkan itu aku pun selalu merasa sedih yang tak terkira. Apa boleh dikata, ini sudah keputasanku.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa ini adalah bulan keenam aku menjadi pramugari. Aku bertugas untuk penerbangan ke Pekanbaru, perjalanan ini sudah merupakan rutinitas bagiku. Tapi entah mengapa pada perjalanan ini terasa begitu berbeda, perasaanku sangat tidak nyaman, aku selalu teringat mamaku. Di tengah perjalanan pada ketinggian 35 ribu kaki, karena cuaca buruk pesawat sedikit oleng, terjadi turbulensi. Semua penumpang panik, tak terkecuali dengan para pramugari.Â
Semua pramugari mengarahkan penumpang untuk memakai pelampung dan gas oksigen. Suasana mencekam. Hujan lebat pun  turun, pesawat semakin bergoyang hebat. Penumpang menjerit dan banyak yang menyebut akan Tuhan. Kapten pilot berusaha keras untuk dapat mengendalikan pesawatnya, waktu menunjukan lima belas menit seharusnya mendarat. Aku tak kuasa menangis teringat mama yang sangat berat melepaskanku menjadi pramugari, bathinku menjerit, sangat takut untuk tidak bisa bertemu kembali dengan mama. Doa dan doa hanya itu yang bisa aku lakukan.
Pada sepuluh menit terakhir untuk melakukan pendaratan, kapen pilot sudah bisa mengendalikan laju pesawat, hujan mulai sedikit reda. Laju pesawat sudah normal kembali, dan dapat mendarat dengan selamat. Puji syukur ku ucap tiada henti, begitupun dengan semua awak pesawat.
"Kreeek..."pintu tua itu berderit dalam keheningan malam. Suara jangkrik membuat malam semakin terasa hening.
"Rumi...?"
"Rumi, kaukah itu nak ?" suara mama memanggilku.
"Iya Ma,ini Rumi,..."
"Ya Tuhan...syukur Alhamdulillah kamu selamat nak, mama sangat mencemaskanmu, mendengar kabar pesawat di berita-berita itu sungguh mama sangat khawatir."
Arumi duduk di ruang tamu dengan layu, tanpa tenaga dan terus memeluk mamanya. "Ma, Rumi ikhlas ma, Rumi akan mengundurkan diri dari pekerjaan Rumi..."
"Kamu yakin nak ? " mama balik bertanya.
"Rumi yakin ma, kejadian kecelakaan pesawat kemarin membuat Rumi sangat takut, takut Rumi tidak bisa kembali dan bertemu dengan mama, maafkan Rumi ya ma", tangis Arumi pecah.
"Mama ikhlas semenjak kau pergi dengan pilihan hatimu, tapi bila hari ini kamu mengambil keputusan ini, mama sangat bahagia." Arumi memeluk mamanya dengan erat.
Mama melepas pelukan Arumi, kemudian dipegangnya erat bahu Arumi. Mereka duduk berhadap-hadapan.
"Tidak ada kebahagian orang tua selain melihat anaknya pulang dalam keadaan sehat dan baik-baik saja, kalau itu sudah menjadi keputusanmu dan kamu merasa yakin mama akan selalu mendukungmu." Mama tersenyum sambil membelai rambut Arumi, lalu menciumnya dengan hangat.
"Sekarang bersihkanlah tubuhmu kemudian beristirahatlah, kamu pasti sangat lelah." Perintah mama kepada Arumi.
Arumi bangkit, dan segera menuju ke kamar mandi. Mamanya tersenyum dan memandang punggung Arumi yang berlalu sambil menitikkan air mata kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H