Mohon tunggu...
Idah Saniyah
Idah Saniyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hubungan Internasional (UNIMUDA Sorong)

Let's start the day with positive vibes

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Proteksionisme Indonesia terhadap Impor Daging Sapi Amerika Serikat dan Keterlibatan WTO sebagai Arbiter

1 Januari 2023   07:00 Diperbarui: 1 Januari 2023   09:39 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Aktivitas perdagangan dalam ekonomi politik global pada saat ini cenderung beralih pada persaingan pasar bebas  sehingga setiap negara akan terjebak dalam  slogan Open Market. Dengan begitu perlu bagi setiap negara untuk menyesuaikan diri terhadap aturan ini. 

Negara seolah diwajibkan untuk membuka pasar domestik mereka selebar-lebarnya bagi produk-produk ekspor negara lain. melihat hal ini setiap negara perlu mengambil langkah dan membentuk strategi dalam mencegah adanya kemungkinan produk asing yang menguasai pasar domestik dan merosotnya minat masyarakat terhadap produk lokal. 

Bagi setiap negara pastinya tujuan dari perdagangan internasional mereka adalah mengusahakan adanya nilai impor yang semakin kecil dan nilai ekspor yang semakin besar. Namun untuk mewujudkan hal yang  demikian  bukanlah sesuatu yang mudah, untuk itu setiap negara mengusahakan diri untuk bertahan dalam perdagangan internasional. Sebagaimana yang diterapkan indonesia yang mencoba untuk memproteksi jalannya alur perdagangan internasionalnya.

Proteksionisme yang diterapkan Indonesia ini berupa pengetatan dan pembatasan produk-produk yang masuk  ke Indonesia sebagaimana yang  tertuang dalam Undang-Undang No.18 tahun 2012 tentang pangan yang menyebutkan bahwa negara berkewajiban untuk mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan serta pemenuhan konsumsi pangan baik pada tingkat nasional maupun daerah-daerah di Indonesia. Kebijakan yang diterapkan Indonesia ini bertujuan untuk menunjukan bahwa Indonesia bisa mengatur kedaulatan, kemandirian dan juga ketahanan pangannya sendiri seperti yang diamanatkan UU tersebut. 

Proteksonisme ini dilakukan demi melindungi industri dalam negeri dengan mendorong ketahanan pangan khususnya hortikultura. Pemerintah Indonesia terus mengupayakan untuk mencapai kemandirian atas produk dalam negeri secara bertahap dan lebih baik. Langkah Indonesia dalam mewujudkan kemandiran ini diantaranya melalui kebijakan yang membatasi ruang gerak program impor hortikultura dari luar negeri yaitu mengenai peraturan Menteri Pertanian yang terdapat pada nomor 15 dan 16 tahun 2012. Kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan sementara impor 13 jenis hortikultura dan daging sapi dimulai pada januari 2013.

Produk impor memang  cenderung menawarkan harga yang lebih murah dengan kualitas yang lebih baik sehingga produk lokal akan kesulitan dalam menyeimbangi harga dan kualitas yang lebih baik. Ditambah dengan jumlah permintaan produk impor lebih besar dibandingkan produk lokal sehingga negara kehilangan kekuatannya dalam menjaga kulitas produk lokal serta kekuatan dimata persaingan perdagangan internasional. 

Sebagaimana pada awalnya impor daging sapi ini hanya di maksudkan untuk mendukung dan menyambung kebutuhan daging sapi di Indonesia yang terus meningkat atau mencengah terjadinya pengurasan terhadap ketersediaan sumberdaya domestik. Namun seiring berjalannya waktu kini jutru jumlah produk daging sapi impor memiliki potensi untuk menganggu usaha pelaku agribisnis sapi potong lokal.

Salah satu alasan mengapa pemerintah Indonesia bersikeras untuk membatasi impor daging sapinya ini adalah untuk melindungi penghasilan para peternak sapi lokal dan juga menekan angka harga daging sapi lokal sehingga masih dapat terjangkau oleh konsumen. Pembatasan ini dikatakan perlu untuk memastikan daging sapi lokal dapat mendominasi pasar sehingga menguntungkan bagi para peternak lokal. Sebelumnya beberapa tahun yang lalu sebelum diberlakukannya kebijakan pembatasan impor ini. 

Nilai impor diindonesia mencapai puncaknya pada tahun 2011 dimana Indonesia masuk dalam 10 besar pasar ekspor daging sapi asal Amerika Serikat dengan total 17.847 metrik ton (mt) senilai dengan $ 28,2 juta. Tetapi ekspor menurun secara dramatis semenjak kebijakan itu diberlakukan pada tahun 2012 (1.646 mt senilai $ 8,5 juta) sebelum rebound ke tingkat tertentu pada tahun 2013 dan 2014. 

Hingga Mei tahun 2015, ekspor ke Indonesia hanya mencapai 624 mt senilai $ 6,7 juta. Usaha Indonesia untuk meningkatkan industri daging sapinya dengan memberlakukan kuota ketat tehadap impor daging sapi dan sapi hidup pada tahun 2012. Pembatasan ini berlaku tidak hanya untuk Amerika Serikat, tetapi juga untuk pemasok daging sapi lainnya. Atas kebijakan ini membuat harga daging sapi di Indonesia kian meroket. 

Namun penerapan kebijakan tersebut bukanlah perkara mudah karena dampak dari  kebijakan tersebut memunculkan konflik baru yang pada akhirnya peraturan ini merugikan pihak lain. Tercatat Amerika Serikat sebagai mitra dagang sapi Indonesia itu mendapat kerugian atas kebijakan Indonesia sehingga dengan demikian pada akhirnya Amerika Serikat memutuskan untuk melakukan negosiasi bilateral dengan Indonesia demi menyelesaikan sengketa ini. 

Negosiasi itu dimulai awalnya pada sengketa yang terjadi ketika  tahun 2014. Indonesia terlibat sangketa dagang dengan dua negara anggota WTO yaitu Amerika Serikat dan Slandia Baru karena kebijakan Indonesia dalam mengatur impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan. 

Kebijakan itu dinilai sudah melanggar dan tidak konsisten terhadap ketentuan yang berlaku di WTO.  Oleh sebab itu pertemuan yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika serikat pada febuari 2013, dilakukan untuk bernegosiasi terkait kebijakan pembatasan impor. Dalam pertemuan tersebut membahas mengenai tanggapan Amerika Serikat yang ingin Indonesia menghilangkan kebijakan itu. Namun Indonesia tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan kebijakannya. Pertemuan antara Amerika Serikat yang dibantu oleh Slandia Baru yang juga merasa dirugikan atas kebijakan ini.

Perbedaan pandangan karena saling memperjuangkan kepentingannya masing-masing membuat sengketa ini dibawa Amerika Serikat kepada pihak ketiga atau arbiter untuk menemukan kesepakatan yang jelas antara kedua belah pihak atas perbedaan pandangan ini.  

Pihak ketiga yang dimaksudkan di sini adalah WTO dimana Indonesia merupakan salah satu anggota negara di WTO berdasarkan ratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization (WTO Agreement) melalui undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang pengesahan Aggrement on Esthablising the World Tarde Organization. 

Dengan begitu secara yuridis Indonesia terikat dalam menerapkan implementasi WTO Agreement yang berlaku. Termasuk ketentuan-ketentuan dalam perdagangan dan hukum nasional Indonesia yang diberikan kebebaskan dalam membuat dan mengaplikasikan berbagai prosedur hukum internasional yang  sesuai dengan ketentuan-ketentuan WTO.

Dengan keterlibatan WTO sebagai arbiter dalam sengketa ini dilakukan sesuai dengan rangkaian dalam prosedur sampai terjadinya kesepakatan yang mengikat. dalam proses tersebut mereka melewati berbagai rangkain diantaranya konsultasi, pembentukan panel dan hasil, banding hingga pada implementasi yang diwajibkan untuk dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. proses-proses tersebut pada akhirnya dilakukan oleh Amerika Serikat dan Indonesia hingga mencapai perubahan kebijakan Indonesia. 

Panel menemukan bahwa  18 kebijakan Indonesia yang menyalahi perjanjian GATT 1994 WTO, namun Indonesia tetap pada keyakinannya untuk mempertahankan kebijakan tersebut. Hingga pada kesempatan indonesia untuk mengajukan banding. Namun beberapa kali Indonesia dengan badan banding mencoba mengacu pada Pasal XX dari GATT 1994. 

Badan Banding tidak menyetujui dan menolak banding yang Indonesia lakukan. Hingga ujung dari Sengketa tersebut adalah kekalahan Indonesia, dengan begitu Indonesia harus melakukan implementasinya dan mentaati kesepakatan  bersama, antara Amerika Serikat dan WTO. selanjutnya dalam pertemuan tahun 2019 akhirnya Indonesia pada akhirnya harus melancarkan implementasinya dengan membuka kembali impor dengan Amerika Serikat. 

kebijakan proteksionisme yang dilakukan Indonesia terhadap Amerika Serikat pada dasarnya telah melanggar konstitusi dalam GATT yang sekarang menjadi WTO. kebijakan proteksionisme yang diusahakan untuk melindungi pasar domestik yang dicita-citakan dapat bersaing dengan industri asing ini belum bisa indonesia terapkan karena mencapai kegagalan dan hanya dianggap sebagai upaya mendiskriminasi perdagangan sebagai upaya untuk menghindari kompetisi industri pasar bebas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun