Negosiasi itu dimulai awalnya pada sengketa yang terjadi ketika  tahun 2014. Indonesia terlibat sangketa dagang dengan dua negara anggota WTO yaitu Amerika Serikat dan Slandia Baru karena kebijakan Indonesia dalam mengatur impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan.Â
Kebijakan itu dinilai sudah melanggar dan tidak konsisten terhadap ketentuan yang berlaku di WTO. Â Oleh sebab itu pertemuan yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika serikat pada febuari 2013, dilakukan untuk bernegosiasi terkait kebijakan pembatasan impor. Dalam pertemuan tersebut membahas mengenai tanggapan Amerika Serikat yang ingin Indonesia menghilangkan kebijakan itu. Namun Indonesia tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan kebijakannya. Pertemuan antara Amerika Serikat yang dibantu oleh Slandia Baru yang juga merasa dirugikan atas kebijakan ini.
Perbedaan pandangan karena saling memperjuangkan kepentingannya masing-masing membuat sengketa ini dibawa Amerika Serikat kepada pihak ketiga atau arbiter untuk menemukan kesepakatan yang jelas antara kedua belah pihak atas perbedaan pandangan ini. Â
Pihak ketiga yang dimaksudkan di sini adalah WTO dimana Indonesia merupakan salah satu anggota negara di WTO berdasarkan ratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization (WTO Agreement) melalui undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang pengesahan Aggrement on Esthablising the World Tarde Organization.Â
Dengan begitu secara yuridis Indonesia terikat dalam menerapkan implementasi WTO Agreement yang berlaku. Termasuk ketentuan-ketentuan dalam perdagangan dan hukum nasional Indonesia yang diberikan kebebaskan dalam membuat dan mengaplikasikan berbagai prosedur hukum internasional yang  sesuai dengan ketentuan-ketentuan WTO.
Dengan keterlibatan WTO sebagai arbiter dalam sengketa ini dilakukan sesuai dengan rangkaian dalam prosedur sampai terjadinya kesepakatan yang mengikat. dalam proses tersebut mereka melewati berbagai rangkain diantaranya konsultasi, pembentukan panel dan hasil, banding hingga pada implementasi yang diwajibkan untuk dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. proses-proses tersebut pada akhirnya dilakukan oleh Amerika Serikat dan Indonesia hingga mencapai perubahan kebijakan Indonesia.Â
Panel menemukan bahwa  18 kebijakan Indonesia yang menyalahi perjanjian GATT 1994 WTO, namun Indonesia tetap pada keyakinannya untuk mempertahankan kebijakan tersebut. Hingga pada kesempatan indonesia untuk mengajukan banding. Namun beberapa kali Indonesia dengan badan banding mencoba mengacu pada Pasal XX dari GATT 1994.Â
Badan Banding tidak menyetujui dan menolak banding yang Indonesia lakukan. Hingga ujung dari Sengketa tersebut adalah kekalahan Indonesia, dengan begitu Indonesia harus melakukan implementasinya dan mentaati kesepakatan  bersama, antara Amerika Serikat dan WTO. selanjutnya dalam pertemuan tahun 2019 akhirnya Indonesia pada akhirnya harus melancarkan implementasinya dengan membuka kembali impor dengan Amerika Serikat.Â
kebijakan proteksionisme yang dilakukan Indonesia terhadap Amerika Serikat pada dasarnya telah melanggar konstitusi dalam GATT yang sekarang menjadi WTO. kebijakan proteksionisme yang diusahakan untuk melindungi pasar domestik yang dicita-citakan dapat bersaing dengan industri asing ini belum bisa indonesia terapkan karena mencapai kegagalan dan hanya dianggap sebagai upaya mendiskriminasi perdagangan sebagai upaya untuk menghindari kompetisi industri pasar bebas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H