Mohon tunggu...
Ida Bagus Nyoman
Ida Bagus Nyoman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Semester 5 Universitas Airlangga Fakultas Ilmu Budaya

Saya orang biasa saja yang hobi ngobrol dengan teman dan jalan-jalan santai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Aimai, Budaya Keharmonisan Negeri Sakura

21 Oktober 2022   14:25 Diperbarui: 21 Oktober 2022   14:34 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan
Negara yang maju adalah negara yang memiliki kualitas Budaya lokal yang tinggi. Jepang merupakan salah satu negara maju di dunia dan menjadi sosok paling pucuk timur di benua Asia. 

Jepang dapat menjadi sangat terdepan dikarenakan kemampuan masyarakatnya dalam menjaga kultur budaya masyarakatnya. Bagaimana tidak, Jepang pernah melakukan Politik Isolasi selama kurang lebih 300 tahun pada tahun 1677 sampai 1854. 

Belum lagi kondisi geografi di Jepang yang merupakan paling timur wilayah Asia dan negaranya yang berbentuk kepulauan dan banyak dihimpit pegunungan membuat masyarakat Jepang harus hidup saling berdempetan satu sama lain. 

Maka dari itu, kesolidaritasan masyarakat Jepang menjadi sangat erat. Ibarat satu orang tidak dapat memanen padi sendirian dan harus dilakukan bersama-sama. Kebiasaan ini lalu melahirkan Konsep Perdamaian atau dalam bahasa Jepang adalah 'wa' yang menjadi bagian penting dalam keharmonisan masyarakat Jepang yang selalu mementingkan kepentingan bersama menciptakan "zenkai ichi no ruuru" atau Aturan Satu Kesatuan. 

Maka dari itu setiap individu diharuskan untuk tidak melawan secara langsung keinginan bersama atau individu tersebut akan dijauhi dari komunitas (murahachibu). 

Jepang juga merupakan negara nomor 5 dengan tingkat literasi paling tinggi di dunia, tidak heran jika mereka dapat sampai di titik ini karena budaya literasi sudah dicanangkan dengan sangat baik.

Sebagai jenis masyarakat yang “grupisme”, masyarakat Jepang sangat mengutamakan tujuan bersama daripada individu. Maka dari itu, keharmonisan dan perdamaian antar elemen masyarakat harus tetap dijaga sehingga kesolidaritasan tidak putus. Aimai 曖昧 dan Amae 甘えmerupakan produk budaya lokal masyarakat Jepang yang diciptakan untuk menjaga keharmonisan. 

Mirip dengan budaya “Sungkan” di Indonesia, yang dimana masyarakat Jepang selalu tidak mengucapkan atau bertingkah laku secara gamblang dan cenderung tidak menyampaikan makna yang sebenarnya secara langsung alias Ambigu. 

Tingkah laku seperti ini mungkin merepotkan bagi masyarakat negara lain apalagi kita yang notabennya lebih suka mengucapkannya secara langsung sehingga tidak perlu lagi memutar balikkan otak untuk mencapai arti sebenar. Tetapi masyarakat Jepang sangat menghargai dan toleran terhadap budaya ambiguitas ini. 

Contoh saat pada rapat kerja seseorang menyatakan pendapatnya tetapi sejak awal kalian tidak setuju terhadap pendapat tersebut, tetapi kalian tidak boleh langsung menginterupsi orang tersebut saat masih berbicara, jadi tunggulah sampai seseorang itu selesai berbicara barulah diizinkan untuk interupsi. 

Saat menyatakan ketidak setujuan pun sangat tidak disarankan untuk berkata “Saya tidak setuju” secara gamblang tetapi ibarat jika di Indonesia “Pendapatmu cukup bagus tetapi bisa lebih baik jika ditambahkan ini ini ini…” tetapi dengan versi Bahasa Jepang sendiri. 

Jika seperti ini perasaan lawan bicara tidak akan terluka dan mencegah untuk dia tidak merasa diintimidasi. Jika tidak secara benar menggunakan konsep budaya ini, seorang individu cenderung akan dijauhi karena merasa tidak menghargai tujuan bersama.

Pembahasan
AIMAI 曖昧

Asal-usul Aimai
Aimai(曖昧) adalah suatu konsep sosial di Jepang dalam berkomunikasi pada masyarakat. Aimai atau jika diartikan secara simple adalah Ambiguitas, menjadi karakteristik budaya di Jepang dalam menjaga keharmonisan satu sama lainnya. 

Aimai selalu memberikan perilaku yang berbelit-belit, membingungkan dan memiliki lebih dari satu makna untuk sampai ke arti yang sesungguhnya. Ini dilakukan agar lawan bicara tidak langsung merasa tersinggung jikalau suatu perkataannya dicela atau tidak disetujui, dan masyarakat Jepang sangat toleran terhadap konsep ini.

Berangkat dari kondisi geografi di Jepang yang merupakan paling timur wilayah Asia dan negaranya yang berbentuk kepulauan dan banyak dihimpit pegunungan membuat masyarakat Jepang harus hidup saling berdempetan satu sama lain. 

Maka dari itu, kesolidaritasan masyarakat Jepang menjadi sangat erat. Ibarat satu orang tidak dapat memanen padi sendirian dan harus dilakukan bersama-sama. 

Kebiasaan ini lalu melahirkan Konsep Perdamaian atau dalam bahasa Jepang adalah 'wa' yang menjadi bagian penting dalam keharmonisan masyarakat Jepang yang selalu mementingkan kepentingan bersama menciptakan "zenkai ichi no ruuru" atau Aturan Satu Kesatuan. 

Maka dari itu setiap individu diharuskan untuk tidak melawan secara langsung keinginan bersama atau individu tersebut akan dijauhi dari komunitas (murahachibu). 

Maka dari itu fungsi Aimai sangat berguna, saat di dalam suatu komunitas penting untuk melihat posisi atau status dari setiap individu yang ada pada komunitas tersebut. 

Apakah dia seorang pemimpin atau orang biasa karena perilaku suatu komunitas juga ditentukan dari hal tersebut. Intinya Aimai mencegah adanya penyerangan secara langsung terhadap ketidaksetujuan dalam komunitas. Aimai memberikan perilaku yang menunjukkan persetujuan dan juga ketidaksetujuan secara bersamaan.


Contoh dari Aimai
Orang Jepang sering menggunakan kata Chotto, demo, kangae-okune, dll. Orang-orang selalu menjaga atmosfir untuk tetap baik meskipun ada ketidak setujuan. 

Sering dijumpai juga pada percakapan Jepang yang menggunakan "Maa maa" yang ditranslasi secara langsung menjadi "Tidak terlalu buruk" tetapi dalam Bahasa Jepang sendiri kata tersebut tidak memiliki arti yang pasti atau ambigu. 

Seperti saat percakapan "ogenki desuka" lalu dijawab "maa maa" tetapi jika diikuti dengan ekspresi yang tidak sesuai maka arti kata tersebut ambigu dan mungkin saja dia sedang tidak baik-baik saja dan lebih memilih untuk menjawab "maa maa" untuk tidak menciptakan suasana yang suram. 

Atau pada percakapan "Shiken wa dou datta?" Dijawab "maa maa" meskipun dia dapat mengerjakannya dengan sangat baik tetapi agar dia tidak dianggap arogant dan sombong jika menjawab Iya secara langsung maka arti kata tersebut menjadi ambigu.

Efek Pertukaran Ambiguitas
Fenomena efek pertukaran sering terjadi di ranah pekerjaan atau pendidikan yang dimana banyak tenaga asing yang harus beradaptasi dengan budaya masyarakat lokal dan terkadang cukup menimbulkan kesalah pahaman terutama adanya perbedaan paham terhadap ambiguitas pada pekerja dari bangsa barat. 

Pada suatu situasi rapat antara orang Jepang dengan orang Barat maka akan ada perbedaan pandangan terhadap suatu perilaku, seperti contoh saat pada kondisi diskusi dan diam orang Jepang akan menganggap diam ini adalah suatu perilaku yang mengindikasikan bahwa seseorang tersebut sedang berpikir sangat dalam dan Orang Jepang akan menghormati itu, tetapi berbeda dengan orang Barat, akan menganggap bahwa terlalu banyak diam berarti itu suatu bentuk acuh dan ketidak sopanan, pada dasarnya diskusi adalah ajang dimana kita harus bicara dan bertukar pikiran. 

Maka dari itu sering terjadi permasalahan yang dimana sifat Orang Barat yang cenderung to the point akan dianggap tidak sopan oleh orang Jepang, sebaliknya orang Barat menganggap bahwa orang Jepang itu terlalu kikuk.

Kesimpulan
Budaya menjaga keharmonisan masyarakat Jepang ini merupakan tata cara mereka menjalani kehidupan bermasyarakat. Mereka sangat menghormati budaya tersebut karena bagi mereka kesolidaritasan golongan itu sangat penting. Tetapi juga sering kali menimbulkan masalah entah itu dari internal masyarakat jepang maupun eksternal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun