Mohon tunggu...
Hidayatul Azqia
Hidayatul Azqia Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi Institut Tazkia

Azkia Mahasiswi Institut Tazkia

Selanjutnya

Tutup

Financial

Reformasi: Kolaborasi Pajak dengan Wakaf Apakah Mungkin?

27 Desember 2019   09:29 Diperbarui: 27 Desember 2019   09:42 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Hidayatul Azqia

Realisasi penerimaan pajak selalu tidak tercapai setiap tahun mulai dari tahun 2009-2017, berikut data target dan realisasi penerimaan pajak tahun 2009-2017[1]

finance.detik.com
finance.detik.com
Bahkan pada tahun 2018 berbagai lembaga telah memprediksi bahwa target pajak 2018 tidak akan tercapai 100% berdasarkan prediksi DDTC Fiscal Research memperkirakan hingga akhir tahun penerimaan pajak akan berkisar antara Rp1.291,7 triliun (pesimis) hingga Rp1.322,5 triliun (optimis).

Dibandingkan dengan target APBN 2018 sebesar Rp1.424 triliun, maka realisasinya akan berada dalam rentang 90,71% hingga 92,87%.[2] Maka berdasarkan pengamatan dari berbagai lembaga yang memprediksi, penulis pun optimis proyeksi dari DDTC ini akan terbukti kebenarannya karena penulis memprediksi sekitar 91% yang dapat terealisasi. Jika memang tahun 2018 ini target pajak tidak tercapai maka genaplah 10 tahun target pajak tidak pernah tercapai. 

Gagalnya pencapaian target pajak ini tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun penulis tertarik dengan pendapat Gusfahmi, S.E., M.A, dia memaparkan dalam bukunya yang berjudul Pajak Menurut Syariah, bahwa menurutnya pajak belum diterima sebagai kewajiban keagamaan.[3] Hal ini merupakan pembahasan yang menarik karena penduduk Indonesia merupakan mayoritas muslim. Hal tersebut diindikasi dengan: 

  • Minimnya Wajib Pajak (WP) Muslim yang mau secara sukarela mendaftarkan diri untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)[4] kecuali terpaksa, karena pemerintah mengaitkan NPWP dengan dunia usaha, seperti: kredit bak, kredit mobil, fiskal luar negeri, dan lain-lain. Akibatnya, walaupun sudah ber-NPWP, ada kecendrungan mereka untuk tidak menyampaikan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) yakni laporan pajak yang wajib disampaikan oleh seorang wajib pajak, paling lambat 31 Maret (WP Orang Pribadi) dan 30 April (WP badan) tahun berikutnya. Atau terkadang mereka menyampaikan SPT, namun tidak mengisinya dengan benar, sebagai bentuk penolakan mereka atas pajak.
  •  Minimnya WP Muslim yang masuk dalam Daftar Pembayar Pajak Terbesar di Indonesia.
  •  Rendahnya Tax Ratio negara-negara Muslim. Pajak lebih diterima keberadaannya di negara-negara non-Muslim dibandingkan dengan negara-negara Muslim. Hal ini dibuktikan dengan tingginya Tax Ratio di negara non-Muslim seperti United States di level 26%, United Kingdom 34,4%, Jerman 44,5%, Belgium 47,9%, Sweden 49,8%, dan Italy 43,5%[5] Sedangkan di negara Muslim seperti Kuwait di level 1,5%, Qatar 2,2%, United Arab Emirates 1,4, Saudi Arabia 5,3%, Egypt 15,8%, dan Yemen 7,1%.[6]

 Padahal pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang--Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar--besarnya kemakmuran rakyat.[7]

Pajak merupakan bukti kecintaan warga negara terhadapat negaranya, maka warga negara yang baik adalah mereka yang membayar pajak karena sadar akan kewajibannya.

Pajak bersifat memaksa disebabkan karena pajak berkontribusi besar terhadap pembangunan di Indonesia, ini menandakan bahwa pentingnya pencapaian target pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah guna menutupi defisit anggaran serta memenuhi anggaran belanja negara.

Maka untuk mencapai target tersebut pemerintah dalam hal ini melalui kementrian keuangan RI mencanagkan reformasi perpajakan. Sebagaimana yang dilansir dari outlook perpajakan 2018 DDTC menkeu Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan "perlu perbaiakan menyeluruh untuk memperbaiki perpajakan kita. Ini sangat urgent, Reformasi perpajakan kita harus ambisius".[8]

Reformasi perpajak ini dilakukan dengan maksud diantaranya untuk meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap institusi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.[9] Maka di bentuk 5 pilar untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak, kelima pilar tersebut adalah organisasi, sumber daya manusia, sistem informasi dan basis data, proses bisnis, peraturan perundang-undagan dan sinergi dengan pihak lain.

Reformasi pajak telah dilakukan sebanyak 7 kali mulai dari tahun 1983. Priode ke 7 dimulai dari 2017 sampai 2020 disebut dengan reformasi pajak ketiga yang memiliki 4 target pencapaian yakni (1) Ditjen pajak yang kuat, kredibel dan bertangung jawab, (2) Sinergi optimal antara Ditjen pajak dan pihak ketiga, (3) Kepatuhan pajak yang tinggi dan (4) Tax Ratio 15%. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun