Mohon tunggu...
ida ayu saraswati
ida ayu saraswati Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

suka menulis, membaca novel misteri, dan menonton drama Korea tentang detektif-detektif yang memecahkan kasus

Selanjutnya

Tutup

Kkn

KKN Goes Wrong

22 Mei 2024   10:36 Diperbarui: 30 Mei 2024   11:08 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KKN. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tinggal seminggu lagi, KKN periode 2023 ini akan selesai. Sebagaimana kelompok KKN lainnya, kelompok KKN 70 juga banyak melakukan finishing dan menyusun konsep pameran produk KKN mereka begitu mereka sudah kembali ke kampus nanti. Kegiatan mereka tidak terlalu sibuk sehingga punya banyak waktu luang untuk istirahat. Desa tempat mereka tinggal terletak di dataran tinggi dan untuk menuju ke sana harus melalui hutan belantara yang luas. Perkampungan di desa itu juga bersebelahan dengan hutan dan sebuah bukit yang sering dijadikan tempat diklat atau sekadar mendaki bagi pendaki pemula. Suhu udaranya selalu dingin bahkan ketika siang hari. Ditambah mereka KKN di saat musim penghujan sehingga harus mengenakan pakaian ganda untuk menghalau dingin. Mereka diperbolehkan menempati salah satu rumah kosong yang memang dikhususkan untuk anak-anak yang akan melaksanakan KKN di desa tersebut. Mereka menempati lantai dua sementara pemilik kos, Bu Warsih menempati lantai satu.

Malam ini mereka pulang ke posko agak terlambat usai melakukan musyawarah di balai desa bersama karang taruna mengenai kegiatan tujuh belas Agustus yang harus dibatalkan karena keterbatasan dana desa. Karena kegiatan itu, mereka melewatkan makan malam dan bermaksud ingin memasak mi instan, namun kayu bakar di tempat penyimpanan sudah habis sehingga mereka memutuskan untuk mencarinya di hutan sebab tidak mungkin minta bantuan pada Bu Warsih sebab beliau belum kembali dari rumah salah satu saudara di desa sebelah. Telah diputuskan bahwa empat orang yang mencari kayu bakar dan semuanya adalah para cowok, sementara para cewek menyiapkan bahan makanan yang akan diolah nanti termasuk nasi supaya lebih kenyang.

Galih sedang fokus memunguti dahan dan ranting yang berjatuhan sampai akhirnya tidak terasa ia berjalan cukup jauh dari ketiga temannya kemudian matanya menemukan sebuah sepatu kotor yang tergeletak di sebuah tanah. Galih mengernyitkan kening sebelum akhirnya memungut sepatu itu dan meneliti penampilannya. Ia menyipitkan mata kemudian menyinari bagian sol sepatunya hingga berkat cahaya senternya, kini ia bisa melihat apa yang ada di dalam sol tersebut. Detik itu juga, matanya membulat karena ada bercak darah di dalam sol sepatu yang tidak sengaja ia temukan. Galih menolehkan pandang ke sembarang arah, matanya kembali memincing saat menangkap benda asing. Ia berjalan mendekat dan menemukan sepatu kotor lainnya, yang corak dan ukurannya berbeda dengan sepatu pertama yang ia temukan, namun persamaannya adalah, di bagian sol dan luar sepatu ada bercak darah. Bulu kuduk Galih mendadak berdiri dan ia merasakan bahwa angin berembus cukup kencang menampar punggungnya. Ia lalu lari tunggang langgang sambil menahan diri untuk tidak berteriak supaya tidak menghebohkan beberapa warga desa yang belum terjaga. Ia hanya berhasil membawa salah satu sepatu karena sepatu kedua terlepas dari genggamannya dan jatuh. Ia membuat teman-temannya menoleh dan wajah-wajah panic mereka menyambut kedatangan Galih.

"Kemana aja sih lu?! Untung nggak hilang!" kata Janu gemas ingin mencakar wajah Galih yang nampak pucat ketakutan.

"G-g-gue nemu i-ini di sana...." Galih berucap terbata-bata sambil menunjukkan sebuah sepatu yang tadi ia pungut. Ketiga temannya mendekat dan sama-sama meneliti benda itu menggunakan senter. Sepersekian detik kemudian, ketiganya memelototkan mata hampir bersamaan karena menemukan bercak darah di dalam sol sepatu.

"Mungkin aja ini sepatu pendaki," ujar Yudha berusaha tenang. "mending lu balikin ke tempatnya. Pamali bawa pulang sesuatu dari tempat yang asing. Gih, sana, balikin! Udah semua kan, kayu bakarnya? Langsung balik aja."

Belum sempat Galih melangkah untuk mengembalikan sepatu itu, mereka mendengar suara mobil datang dari arah utara kemudian berhenti. Saling menatap dengan tatapan bingung---bagaimana mana bisa sebuah mobil memasuki kawasan perkampungan yang sebagian besar tanahnya ditumbuhi pepohonan lebat, bahkan di desa ini hanya tersedia jalan setapak yang biasa dilalui pejalan kaki atau warga desa yang membawa motor. Guna menuntaskan rasa penasaran, keempatnya berjalan perlahan, mengikuti Janu yang memimpin jalan sebab pendengarannya cukup tajam. Mereka memasuki gapura tua yang di sebelahnya terdapat plang berkarat yang ditumbuhi tanaman merambat. Setelah dibersihkan, mereka membaca plang itu yang tertulis "Panti Asuhan"---dan walaupun samar, mereka yakin bahwa nama panti asuhan itu adalah Panti Asuhan Welas Asih.

"Jangan-jangan di dalam hutan ini ada panti asuhan yang udah nggak beroperasi lagi?" tanya Bima yang hampir disangkal oleh Yudha, namun urung karena mereka memutuskan untuk mencari kebenaran bangunan itu. Di balik pepohonan dan semak-semak lebat, mereka membulatkan mata saat menatap bangunan yang cukup besar di hadapan mereka yang berbentuk seperti panti asuhan pada umumnya, namun walaupun bangunannya sudah tidak terurus, lampu pada beberapa ruangan dibiarkan menyala.

Galih sudah akan melangkah maju mendekat mendatangi bangunan itu, tapi buru-buru ditarik oleh tiga kawannya dan menyuruhnya diam lalu menunjuk ke arah depan untuk menunjukkan sesuatu. Galih menoleh sesuai petunjuk arah ketiganya, dan nampak kaget serta bingung karena mendapati rektor universitas mereka ada di sana bersama rombongannya kemudian bertemu dengan seorang dokter yang tampak mengenakan setelan khusus yang biasa dikenakan saat hendak melakukan operasi. Mereka mengobrol entah apa, tapi terlihat bahwa salah satu orang kepercayaan pak rektor memberikan sebuah koper kepada si dokter yang diterima dengan senyum lebar. Tak lama setelah koper itu diterima, keluarlah seorang anak laki-laki kisaran 10 tahun dengan mata tertutup kain hitam dan tangan terikat. Pakaiannya cukup rapi dan dia kelihatan bingung saat dipaksa memasuki salah satu mobil yang akan dikemudikan oleh salah seorang penjaga panti asuhan, diikuti dengan mobil milik pak rektor yang melaju ke utara. Terang lampu mobilnya membuat mereka berempat dapat melihat samar bahwa ada jalan tembusan rahasia yang muat dilalui sebuah mobil, walaupun selama hampir 45 hari di desa ini, mereka sama sekali belum mengetahui kalau ada jalan rahasia di dalam hutan, apalagi sebuah panti asuhan tua yang ada penghuninya.

"Ini pasti tempat nggak benar," ujar Yudha berbisik yang diangguki oleh ketiga temannya. Mereka kembali menoleh saat seorang penjaga mendorong seorang remaja berusia 13 tahun hingga tersungkur ke tanah. Ia mengenakan training dan jaket seperti seragam yang kumuh berwarna hitam merah. Wajahnya pucat dan dia menggigil kedinginan. Penjaga itu lalu memasukkannya ke sebuah kandang sapi lalu mengunci pagarnya. Penjaga lain bertubuh tambun keluar bersama temannya dan mulai menggali dua lubang tak jauh dari kandang sapi. Setelah lubang galian itu cukup dalam, penjaga lain membawa dua jenazah yang pada kain pembungkusnya masih terdapat darah yang merembes keluar. Mereka mengubur dua jenazah itu tanpa memberinya batu penanda kemudian masuk dengan santai. Tidak lama setelah dua jenazah itu dikubur, dua orang dengan jas dokter dan masker keluar sambil membawa dua box menuju sebuah mobil pick up lalu meninggalkan panti menggunakan jalan yang sama dengan mobil sebelumnya.

Mereka berempat menelan saliva susah payah dan dengan kaki tangan gemetaran memutuskan untuk meninggalkan daerah itu dengan hati-hati agar tidak ketahuan. Saat sudah keluar dari gapura, mereka sudah bersiap berlari, namun urung karena mendengar suara rintihan minta tolong yang asalnya tidak jauh dari mereka. Keempatnya segera menuju asal suara dan menemukan seorang bocah lelaki kisaran umur 9 tahun yang jatuh terperosok ke dalam lubang perangkap untuk memburu hewan di hutan. Kakinya terluka dan seluruh tubuhnya dipenuhi lecet. Ia mengenakan baju yang sama dengan anak yang tadi dimasukkan ke kandang sapi.

....                    

Suara ketukan pintu berulang kali terdengar dan itu membuat keenam gadis yang sedang sibuk menyiapkan bumbu masakan di dapur mengeluh berisik. Salah satu dari mereka memutuskan untuk membuka pintu dan terkejut saat Yudha dan Bima membopong seorang remaja lelaki lalu mendudukkannya di salah satu kursi ruang tamu. Janu dan Galih masuk sembari membawa kayu bakar yang sayangnya harus basah kuyup karena mereka terlambat pulang sehingga hujan turun dengan deras saat mereka masih di luar posko.

Mereka menanyakan siapakah yang dibawa oleh mereka, tapi keempat cowok itu hanya mengatakan bahwa mereka akan membahasnya nanti saja setelah makan malam selesai. Di samping menyiapkan makan malam, mereka juga menyiapkan air hangat untuk anak lelaki itu mandi. Ia tampak gemetaran dan seluruh tubuhnya penuh luka lecet. Tatapan matanya kosong sekaligus bingung. Aroma yang menguar dari baju yang ia kenakan tidak enak, tapi mereka berusaha menahannya. Alana datang kemudian memberikan salah satu selimut yang ia bawa kepada anak lelaki itu. Ia mencoba bertanya siapa namanya, namun alih alih menjawab, anak itu malah berkata, "Selamatkan kami." katanya. "teman temanku masih ada di sana. Belum diselamatkan. Tidak ada seorang pun yang bisa membawa kami keluar. Tolong selamatkan kami. Tapi jangan bilang pada siapa siapa. Jangan pada polisi, jangan pada kepala desa, jangan. Bisakah kalian saja yang menyelamatkan kami? Aku mohon. Aku mohon selamatkan kami. Kami sangat menderita. Kami tidak mau tinggal di sana lagi." Anak itu terus meracau dan itu membuat beberapa dari mereka mendekatinya dan berusaha menenangkan.

"Tenang. Tenang dulu, ya. Kita omongin lagi soal ini kalau sudah makan malam. Sekarang kamu mandi dan ganti baju dulu. Ini baju dan perlengkapan mandinya," Nata berujar dengan tenang walaupun ia juga ikut bingung dengan racauan bocah itu. Bocah itu mengangguk dan mengambil peralatan mandinya beserta baju baru yang dipinjamkan oleh Janu karena hanya bajunya yang dirasa muat untuk si anak yang belum mereka ketahui siapa namanya.

Malam itu hujan lebat turun disertai angin seolah angin itu akan merobohkan posko tempat mereka tinggal. Walaupun semuanya menyimpan banyak tanda tanya tentang apa yang baru saja terjadi, mereka berusaha menyembunyikannya dengan baik sampai setidaknya makan malam selesai. Dan setelah melihat bagaimana lahapnya bocah itu malam ini, mereka berasumsi bahwa ia tidak makan dengan layak selama beberapa hari. Dari pakaiannya yang mengenakan seragam olahraga hitam merah dengan nomor 2765 di bagian dada kanan, mereka berasumsi bahwa bocah itu bukanlah pendaki. Saat menolongnya tadi, keempat cowok itu tidak melihat adanya perlengkapan pendakian. Saat ditanya apakah bocah itu terluka karena tersesat saat mendaki, ia menggeleng sebagai jawaban. Badannya kurus dengan penampilan yang tidak terurus. Rambutnya kekuningan dan kulitnya gelap--menandakan bahwa ia terpapar sinar matahari cukup sering entah karena melakukan apa.

Usai makan malam, mereka mengajak bocah itu ke lantai atas untuk menceritakan semua yang terjadi pada si bocah. Belum sempat membuka suara untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, ia menangis sambil berusaha menjelaskan sesuatu. Akhirnya karena tidak tega, mereka sepakat untuk menyuruhnya menangis dulu dan menunggunya sampai tenang. Ketika keadaannya mulai tenang, ia menarik napas untuk kemudian menceritakan yang sebenarnya. "A-aku bukan pendaki. Sebenarnya aku tinggal di sini sudah lama. Sejak aku kecil. Aku tinggal di panti asuhan tua tidak terurus yang ada di hutan desa ini. Setiap hari kami dipaksa bekerja sampai malam dan hanya diberi makan kentang rebus satu kali dalam sehari. Kami tidur di tempat yang tidak layak, baju kami jarang sekali ganti, bahkan kalau ada yang sakit, kami tetap harus bekerja atau kalau tidak, kami akan disuruh tidur di kandang sapi dan tidak diberi jatah makan. Aku tidak tahu kenapa bisa berakhir di tempat itu, tapi di sana ada banyak anak yang disuruh bekerja. Aku dan keempat anak lainnya mencoba kabur di malam malam sebelumnya. Kami terpaksa berpisah di tengah jalan karena banyak anjing liar yang mengejar kami. Aku tidak tahu nasib yang lain bagaimana. Apakah mereka masih hidup atau tidak. Yang jelas, aku masih lebih beruntung daripada mereka." Bocah itu mendongak dan menatap mereka semua dengan mata berkaca kaca. "tolong percaya pada ceritaku. Tolong keluarkan teman temanku dari sana. Kami mau bebas. Kami tidak mau dijual. Tidak mau dibedah juga."

"Dibedah? Maksudnya gimana?" tanya Utari.

"Ada hari dimana anak anak dipilih. Mereka bilang, anak anak yang terpilih akan diadopsi oleh orangtua angkat mereka. Mereka diberi makanan yang banyak dan enak, tapi ternyata setelah beberapa hari diperlakukan dengan baik, mereka dibawa ke ruang operasi, dan tidak pernah kembali lagi. Semenjak saat itu, kalau ada nama anak anak yang dipanggil untuk diberi makanan yang banyak, kami takut, karena mungkin itu adalah terakhir kalinya kami hidup. Kalau tidak masuk ruang operasi, kami akan dibawa pakai mobil entah kemana. Karena katanya mata kami ditutupi dengan kain hitam. Kakak kakak di sana bilang bahwa itu artinya kami dijual kepada orang lain, jadi tolong selamatkan kami."

"K-kalau boleh tau, berapa banyak anak yang ditahan di sana?"

"Dua puluh? Entahlah. Mungkin lebih banyak daripada itu."

"Berapa orang yang biasanya mengurus kalian?"

"Ada tiga orang laki laki yang biasa datang untuk memantau pekerjaan kami. Mereka semua pakai seragam polisi."

"Apa artinya di sana juga ada dokter?"

"Ya. Ada satu dokter dan dua asisten. Mereka menyeramkan."

"Kenapa kamu bilang, kita nggak boleh lapor warga desa?"

"Menurutku mereka bekerja sama. Kalau mereka tidak bekerja sama dengan polisi dan dokter gila itu, kami pasti sudah lama dibebaskan, jadi jangan biarkan aku ketahuan oleh penduduk desa ini. Mereka pasti akan melaporkannya."

"Ya sudah, kamu tenang dulu. Kami pasti bantu kamu. Sekarang lebih baik kamu tidur dulu."

Bocah itu mengangguk patuh kemudian tidur pada salah satu sisi kasur. Tidak butuh waktu lama baginya untuk terlelap. Mereka memutuskan untuk mendiskusikan apa yang baru saja terjadi di lantai bawah karena kebetulan ibu kos belum datang walaupun malam sudah semakin larut. Karena kalau mereka mendiskusikannya di lantai atas, mereka tidak tahu apakah ibu kos sudah datang atau belum dan mereka juga tidak tahu apakah ada yang menguping soal pembicaraan mereka atau tidak.

"Yud, lo apaan sih? Kita tuh tinggal seminggu lagi ya di sini! Kita cuma tinggal finishing proker KKN dan nyiapin pameran produk kita, tapi lo malah nambah nambahin kerjaan dengan seenak jidat bilang kalau kita semua yang ada di sini bakalan nyelametin anak itu? Lo dengar kan apa yang dibilang sama dia tadi? Bahkan polisi aja terlibat sama kegiatan malpraktek, kerja paksa, dan perdagangan anak berkedok panti asuhan ini! Itu artinya udah jelas kalau kegiatan illegal ini dibackup sama orang orang yang lebih berkuasa! Kita nih cuma mahasiswa, Yud! Warga desa ini aja nggak akan bisa diajak kerja sama karena mereka juga semuanya psiko tau nggak? Dan lo berlagak jadi pahlawan buat nyelametin nyawa anak anak itu dengan mengorbankan teman teman lo yang jumlahnya nggak seberapa ini? Mikir dong!" kata Wina dengan mata berkaca-kaca.

"Heh, lo bisa nggak usah ngeluh? Mending lo pikirin solusinya gimana! Yang pusing semuanya, nggak elo doang! Coba kalau nasib lo kayak anak itu, gimana? Mau lo ditinggal di hutan padahal lo tahu ada manusia lain yang bisa nolong?" Bima menyahut karena kesal dan langsung ditenangkan oleh Janu.

"Gampang banget ya lo ngomong begitu? Jangan jadi orang munafik deh lo! Lo juga sama takutnya, kan? Di saat kayak gini gue nggak percaya sama siapa siapa dan gue yakin pasti ada saksi mata tanpa kalian sadari! Dia tahu kalau kita menyelamatkan salah satu anak dari tempat terkutuk itu dan lo tahu dampaknya apa? Kita kena getahnya! Kita bakalan ikut celaka karena udah berani ikut campur urusan desa ini! Kalau kita semua ada dalam bahaya dan jadi korban, siapa yang tanggung jawab? Elo, Yud? Elo, Bim, sebagai wakil ketua? Kampus? Atau siapa? Kita dalam bahaya tahu nggak! Nggak ada yang bisa bantu kita dan kita ngelawan seluruh warga desa ini yang gue yakin udah melakukan kegiatan ini bertahun-tahun dan itu nggak gampang! Intinya, gue nggak mau mati konyol di sini. Gue nggak peduli sama tujuan mulia kalian buat menyelamatkan anak-anak itu kek, mau memusnahkan panti itu kek, persetan! Kalau sampai salah satu dari kita jadi korban, orang pertama yang harus tanggung jawab adalah elo, Yud. Bawa penyesalan ini sampai lo mati. Jangan pernah hidup bahagia kalau sampai salah satu dari anggota kelompok lo jadi korban." Itu adalah kalimat terakhir Wina sebelum ia kembali ke kamarnya, menampar teman-temannya yang lain.

....

Mereka tidak tahu apa yang mereka makan atau lakukan terakhir kali sebelum akhirnya berakhir di sebuah ruangan kumuh dengan dinding berjamur dan atap yang sudah berlubang di beberapa bagian, dan mereka dalam keadaan terikat tangan dan kaki. Suara langkah kaki terdengar memasuki ruangan dan saat itulah mereka menangkap sosok Bu Warsih tersenyum pada mereka seraya mengelus-elus kapak di genggamannya. Di sampingnya ada pak kepala desa yang berjalan mengitari kesepuluh mahasiswa itu sambil tersenyum miring---menikmati ekspresi ketakutan dan putus di mata mereka.

"Sayang sekali kalian harus tahu rahasia gelap desa ini sebelum masa KKN kalian habis, tapi, menyelamatkan anak-anak di panti ini juga termasuk pengabdian masyarakat, bukan? Kalian pasti dapat nilai memuaskan dan dipuji jadi pahlawan kalau berhasil, jadi di sini saya mau mempermudah urusan kalian saja. Kalian boleh menyelamatkan mereka dan membawa pergi dari desa ini, tapi kalau kalian gagal melakukannya, kalian akan mati. Kenapa? Karena waktu kalian hanya sepuluh menit." Bu Warsih menunjukkan sebuah remot yang membuat mereka menoleh ke sekeliling ruangan mereka sendiri begitu pula ruangan di seberang sana yang berisi anak-anak di dalam sel besi mirip penjara, yang di setiap sudutnya sudah dipasangi bom. "Jadi, apakah pertunjukannya bisa dimulai sekarang, Pak?" tanya Bu Warsih kepada pak kepala desa.

"Yah, lebih cepat lebih baik, bukan?" Pak Kepala Desa mengangguk dan saat itu juga remot ditekan dan waktu pada setiap timer bomnya berjalan mundur. Kesepuluh mahasiswa itu panik dan di tengah keputusasaan, mereka berusaha melepaskan tali ketika dua orang itu melenggang meninggalkan panti menggunakan mobil entah ke mana.

Yudha, Janu, dan Sera adalah tiga orang pertama yang berhasil melepas tali dari tubuh mereka dan langsung bergegas membantu yang lainnya. Begitu kesepuluh temannya sudah bebas, mereka langsung bergegas menyelamatkan anak-anak itu. Sel besi itu dikunci dan kuncinya tidak ditemukan dimanapun sehingga para cowok mencoba memecahkannya menggunakan palu dan berhasil. Air mata menetes membasahi pipi saat mereka begitu frustrasi untuk membawa anak-anak yang jumlahnya cukup banyak itu supaya bisa diamankan di luar panti. "Siapapun, tolong cek kandang sapi di sebelah karena ada salah satu anak yang dipaksa tidur di sana!" teriak Yudha sambil berusaha tenang melepas tali yang mengikat tangan dan kaki anak-anak itu. Galih, Utari, dan Janu bergegas menuju kandang sapi dan menggunakan palu untuk memecahkannya kuncinya. Begitu pintu terbuka dan mereka masuk, mereka mengumpat karena tidak hanya satu anak yang dibiarkan tidur di sana. Karena keadaan mereka sedang lemas, anak-anak yang telah bebas bergegas membantu membawa teman-teman mereka jauh dari bangunan itu.

"Kalian jangan berpencar dan sembunyi di tempat yang aman! Kalau semua teman sudah kami keluarkan, kita lari sama-sama! Oke?" teriak Utari yang diangguki oleh mereka semua. Oleh Janu, mereka diarahkan menuju jalan tembusan yang tadi membawa mobil Bu Warsih dan Pak Kades meninggalkan desa. Di sana ada sebuah toko terbengkalai dan Janu menyuruh mereka bersembunyi di sana sampai semuanya selesai sebab letaknya cukup jauh dari panti. Janu berlari kembali ke panti untuk menyelamatkan yang belum.

Yudha sudah diperingatkan bahwa waktunya tinggal tiga puluh detik dan dia harus keluar, tapi dia yakin anak yang tadi sempat mereka bawa ke posko kemudian hilang masih belum diselamatkan, jadi dia menyusuri bangunan itu dengan cepat dan berhasil menemukan anak itu dalam sebuah tempat penyimpanan daging. Anak itu kedinginan dan Yudha segera melepas jaket KKN dan membalut tubuh bocah itu. Ia menggendong anak itu kemudian memberikan pada Alana yang langsung sigap berlari keluar bersama yang lain. Yudha sudah akan keluar, namun pendengarannya mendengar sebuah suara tangisan anak kecil dan dia berusaha mencarinya walaupun teman-temannya sudah berteriak menyuruhnya segera keluar. Yudha sampai di sebuah ruangan dan suara itu berasal dari sebuah lemari. Ia berusaha membuka lemari yang terkunci menggunakan batu dan berhasil.

"YUD, KELUAR YUD!! KATA ANAK-ANAK ITU JEBAKAN!!"

Yudha tidak tahu siapa yang berteriak, tapi dia memang ditipu sebab di dalam lemari itu hanyalah sebuah boneka yang di sampingnya terdapat recorder yang sengaja memutar suara tangisan anak kecil. Ia langsung berlari meninggalkan ruangan itu diselingi teriakan teman-temannya, namun terlambat. Bom itu sudah meledak ketika Yudha bahkan belum sampai di ambang pintu. Ledakan itu membuka beberapa dari temannya terlempar sejauh sekian meter dengan luka lecet di wajah, tangan, dan kaki, juga telinga yang berdengung panjang. Mereka meneriakkan nama Yudha, tapi mereka sendiri tidak bisa mendengar suara diri sendiri walaupun mereka yakin sudah berteriak sekencang mungkin saat api dengan cepat melahap panti asuhan tua itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun