Mohon tunggu...
Ida Agus Setiawati
Ida Agus Setiawati Mohon Tunggu... Lainnya - Perempuan yang suka berpetualang dan menjelajahi indahnya ciptaan Tuhan

perjuangan adalah tindakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekolah Khusus untuk Amel

6 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 6 Agustus 2021   14:32 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mengenakan seragam putih merah, dasi, ikat pinggang, kaos kaki dan sepatu tentu barang yang selalu diimpikan oleh anak seusiaku. Bangun pagi dengan semangat tiap hari berjumpa dengan guru yang pintar dan teman-teman. Itu pasti sangat menyenangkan. Kata adik ku Rina sekolah itu asyik tapi tidak enaknya kalau ada tugas rumah atau PR. Aku semakin penasaran dengan dunia sekolah. Ah,  aku membayangkan jadi murid yang manis duduk rapi dikelas.

"Kakak...." " e....iyaa... kaget Rin" Aku terperanjat karena teriakan Rina yang langsung menyambarku. Masih dengan seragam sekolahnya. Rina bila naik kelas tahun ini ia kelas tiga. "ih...kakak kok cantik hari ini. Siapa yang ngepangin rambutnya? Aku mau dong..." Rina paling suka merengek kalau menginginkan sesuatu yang ia suka. "tadi ibu yang ngepangin".

"Ibu dimana kak " "ibu lagi kerumah Bu Nani. Tadi dipanggil. Katanya sih Bu Nani habis jatuh dari sepeda gitu jadi minta dipijatin sama ibu" Rina mengangguk.

"Gimana disekolah tadi belajar apa aja? cerita dong sama kakak"setiap Rina pulang sekolah aku pasti akan bertanya tentang sekolahnya hari itu. Aku akan mendengarkan dengan baik jika dia sedang bercerita.

"Aku ada PR kak. Susah sekali. Coba kalau kakak sekolah juga ya pasti aku minta diajarin sama kakak" aku hanya tersenyum mendengar celotehan adik ku itu. "ganti baju dulu nanti ibu pulang bisa dimarahin lho" "okeee dehhh"  suara hentak kakinya keras terdengar menuju kamar.

Sejak kecil aku sudah menderita cacat pada kaki dan tanganku yang diakibatkan ibu kurang asupan gizi saat mengandungku. Namun adik ku Rina memiliki tubuh yang sempurna. Sehingga ia bisa bersekolah, bermain dan bergerak kemanapun ia suka tanpa butuh bantuan siapa pun.

Hari ini Rina dapat PR lagi dari ibu guru Dini.Katanya kali ini lebih sulit.Tentang pembagian dengan jumlah besar.Tapi tadi Rina belajar Bahasa Inggris juga. Gurunya pintar sekali. Good morning itu untuk selamat pagi kalau good evening itu untuk selamat sore.

Setiap usai mendengarkan cerita dari Rina aku pasti menuliskan kembali cerita itu dibuku tulis ini. Aku belajar  menulis dari Rina. Ibu tak pernah mengajarkan ku. Kata ibu jangan aneh-aneh. Mungkin ibu takut aku merengek lagi untuk sekolah. Terakhir aku meminta untuk sekolah saat Rina kelas dua SD. Tapi ibu malah marah dan menangis. 

Sejak saat itu aku tak pernah meminta lagi. Ku simpan keinginanku. Ku buang jauh-jauh impianku untuk bisa memakai seragam putih merah itu. Sebagai anak sulung aku harus mengalah pada adik ku yang sempurna. Semua sekolah dengan terbuka akan menerima murid yang memiliki tubuh sempurna. Tidak halnya dengan anak cacat sepertiku. Buku dan pensil ini ibu yang memberikannya. Aku yang meminta untuk menemani ku sehari-hari. Tapi dengan satu syarat aku tidak akan merengek lagi untuk disekolahkan seperti Rina. Aku hanya mengangguk saat itu. Alhasil, ibu memberikan buku ini.

Meski tulisan ku tak serapi Rina tapi aku bisa senang bisa menulis. Ya, walau hanya menulis dan membaca. Aku sering meminjam buku pelajaran dari Rina untuk dibaca. Tapi saat ibu tidak ada dirumah. "Permisi....." terdengar suara perempuan dari luar.Tapi siapa?Kedengarannya masih muda. "Iya...sebentar" "dek.... coba lihat didepan ada siapa" "Iya kak.." rina berlarian menuju sumber suara.

Krekkkk. Suara pintu usang itu terbuka. Mengeluarkan suara yang cukup keras. "Cari siapa?" kalimat Rina yang polos jelas terdengar saja dari bilik kamarku. Rumah yang terbuat dari papan dan kamar-kamarnya hanya berdinding triplek akan mudah menguping suara dari luar.

"Boleh kakak masuk dik?" ujar tamu bersuara lembut itu.

"Iya, silahkan" Rina berlari kekamar ku "kak, tamunya cantik" "emang siapa dan dari mana?" "enggak tahu tuh, gimana dong? Ibu kok lama sih dirumah Bu Nani".

"Ya udah ambilin minum dulu tamunya. Tanyain keperluannya apa, bilang aja ibu lagi dirumah tetangga. Belum tahu pulangnya kapan"

"Kakak enggak mau keluar?" "enggak, kakak disini aja" Rina tidak pernah menganggapku sebagai orang yang cacat. Sering dia mengajakku keluar untuk sekedar bermain didepan rumah. Jarak usia yang hanya terpaut satu tahun membuat kami sering bermain bersama.

"Kakak namanya siapa? Oh iya diminum dulu. Kan diluar panas banget" aku tertawa mendengar suara kecil adikku itu. Terkadang ia sok akrab dengan orang lain. Aku yakin perempuan diluar itu tersenyum manis pada anak didepannya.

"Baiklah... hemmm airnya manis seperti yang membawakan"

"Itu kan air putih kak. Tadi aku enggak nambahin gula. Kok bisa manis ya?"

Aku tertawa geli mendengarnya. Itu kan hanya perumpamaan. Aku bergumam dalam hati. Aku bisa membayangkan bagaimana ekspresi Rina. Pipinya yang gemuk akan semakin imut kalau ia sedang bingung. Bibirnya pasti dimonyong-monyongkan kedepan. Aku menutup mulutku dengan selimut agar suara tawaku tak terdengar oleh mereka.

"Haha...ya sudah sini duduk dekat kakak. Kakak relawan dari Yayasan Anak Sekolah. Ini lagi ada program mengajar untuk anak-anak difabel"

"Difabel itu apa kak?" potong Rina

"Difabel itu adalah anak berkebutuhan khusus. Jadi mereka yang tidak memiliki tubuh sempurna seperti adik. Kalau mau bermain, berjalan atau bergerak mereka butuh bantuan orang lain"

"Ohhh...kayak Kak Amel"

"Amel itu kakaknya adik?

"Iya. Kak Amel itu kalau mau mandi, kekamar kecil, makan pasti dibantu sama ibu. Kakak enggak bisa sendiri"

"Oh iya...ngomong-ngomong ibunya dimana dik?"

"Ibu lagi kerumah Bu Nani. Bu Nani minta dipijatin sama ibu. Habis jatuh dari sepeda"

Aku hanya menarik nafas. Kebiasaan Rina suka sekali sok dekat denga orang asing. Dia akan cerita apa saja tentang yang dia ketahui. Memangnya kakak itu tahu Bu Nani itu siapa pikirku. Tadi kan aku cuma suruh tanyain keperluannya apa dan bilang ibu lagi dirumah tetangga.

"Ibunya pulang jam berapa dik?" "enggak tahu kak. Kakak mau aku kenalin dengan Kak Amel" aku tersentak dengan tawaran Rina kerelawan itu. Ingin aku berteriak agar Rina mengurungkan niatnya.

"Wah mau sekali. Kak Amelnya dimana?"

Aku langsung menarik selimut hingga batas leher.Aku ingin pura-pura tidur saja. Mungkin dengan meilhatku tidur Rina akan membatalkan tawarannya itu. "Kak Amel.... ada kakak centik mau kenalan nih" aku masih berpura-pura. Sampai akhirnya mereka masuk ketempat pembaringanku. "Kak...kakak...bangun.Ada tamu kok dicuekin" tangannya Rina yang gempal membangunkan. Percuma aktingku. Tidak berhasil membatalkan tawarannya Rina.

"Siapa yang nyuekin.Kakak kan tidur tadi" aku melirik Rina sambil mencubit tangannya.

"Hai Kak Amel. kenalin, saya Maya. Biar lebih mudah kalian bisa memanggil dengan Kak May"

"Oh jadi nama kakak Maya" "udah ngbrol kesana kesini kok aku duluan yang tahu nama tamunya" aku mengejek Rina. Ia hanya memonyongkan bibirnya yang kecil. Aku dan Kak Maya tertawa.

"Kak May boleh lihat bagian yang..." "boleh kak" belum selesai tamu itu menyelesaikan kalimatnya aku sudah memotongnya duluan sambil membuka selimut yang dari tadi menutupi tubuhku.

"Oke kakak rasa cukup. Nanti kalau ibunya sudah pulang tolong sampaikan sama ibu kalian terkait kedatangan kakak tadi ya. Surat ini juga tolong dikasihkan ke ibu ya. Kakak yakin program ini akan sangat berguna buat Amel. sekarang kakak pamit dulu. Oh ya adik manis ini namanya siapa ya?" "Oh jadi tadi ngbrol udah banyak, udah cerita kesana kesini belum kenalan" godaku pada Rina yang masih cemberut. Kak Maya tertawa kecil dan menengok ke arah Rina. "Nama aku Rina kak May. Aku sekarang kelas dua SD. Besok mau ulangan" serentak aku dan Kak Maya tertawa keras.

Tamu itu pun pamit pulang. Rina yang mengantarkan keluar. Aku masih dengan rasa senang yang bercampur aduk. Senang karena aku akan bisa belajar. Tapi kebimbanganku muncul, apakah ibu akan mengizinkan? Toh selama ini ibu tak pernah mau mendengarkan rengekan ku yang satu itu lagi.

Cuaca panas berganti awan sore kemerah-merahan. Depan halaman masih ramai suara anak-anak bermain kelereng dan petak umpet. suara pintu berbunyi, menandakan ada yang membuka. Aku menerka itu pasti ibu. "Mel, siapa yang datang? Kayaknya ada tamu?" "iya bu, tadi ada kakak dari Yayasan Anak Sekolah. Pesannya mau ada program mengajar untuk anak difabel" kulihat ibu mengeryitkan dahi dan tidak begitu antusias. "oh iya, ini ada dititipin surat juga tadi" ibu langsung menyambar surat ditanganku dan membukanya. "kamu udah baca surat ini?" "belum bu, surat itu kan buat ibu. Amel enggak berani buka" tanpa ekspresi ibu langsung berlalu meninggalkan ku yang menunggu kata-kata dari ibu. Aku sungguh penasaran dengan isi surat itu.

Ibu membantu membopongku kedapur. Makan malam kali ini tumis sayur kangkung dan tempe goreng. Aku melihat Rina sudah siap dengan piring dan sendoknya. Ibu mengambilkan piring dan sendokku. Lalu menuangkan nasi kedalam piring Rina dan aku. Terakhir baru piring ibu. Ibu adalah wanita yang tidak banyak bicara. Namun ibu sangat perhatian pada kami berdua. Sejak ayah meninggal ibu sendirian mengurus aku dan Rina. Ibu bilang pada kami jangan suka mengeluh. Mengeluh itu akan ada kalau kita terlalu banyak keinginan. Apa lagi keinginan itu sulit untuk diwujudkan. Begitu kata ibu.

"Rin..." ibu memanggil Rina dengan lembut "iya bu.." jawab Rina sambil tetap fokus pada nasi dan lauknya. "minggu depan Kak Amel mulai sekolah" mendadak aku dan Rina langsung terkejut dengan kalimat ibu. "minum dulu..hati-hati makannya" "ibu serius? Kak Amel akan sekolah? Dimana? Satu sekolah sama aku? Wahh..nanti kita bisa belajar bersama Kak ya? Celotehan Rina mulai ramai.

Aku mengangguk. Setelah sekian lama akhirnya harapan ini menjadi nyata. Tapi kenapa ibu jadi berubah pikiran? apa isi surat itu? bagaimana dengan biayanya siapa yang akan mengantar dan mengurusku nanti? bukankah ibu harus mencari uang untuk biaya hidup kami? berbagai pertanyaan menyelimutiku.

"Surat tadi sebenarnya ditujukan untuk Amel. Nanti setiap hari Amel akan dijemput dan diantar oleh Kak Maya menuju sekolah dan pulang kerumah. Tapi sekolahnya Amel berbeda dengan Rina karena program ini memang khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Tapi Amel jangan khawatir. Katanya Amel tetap bisa ikut ujian paket C kalau mau melanjutkan ke SMP. Selain itu Amel akan dapat terapi untuk penyembuhan kaki dan tangan juga. Amel senang?" aku mengangguk mantap. Makan malam ini pun menjadi nikmat seiring dengan kabar gembira itu. Ternyata tamu tadi dikirimkan Tuhan untuk mewujudkan impianku. Bukan masalah tidak memakai seragam putih merah dan dasi, yang terpenting aku bisa belajar, bermain dan melihat dunia luar seperti anak-anak seusiaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun