Setelah solat Ashar, Udin duduk di lincak halaman rumah. Lincak buatan Bapaknya tiga tahun yang lalu itu masih terlihat kokoh di bawah pohon talok. Sambil bermain ponsel, sesekali Udin melemparkan pandangannya ke jalan raya melihat lalu lalang sepeda motor yang lewat di depan rumahnya. Tanpa disadarinya, Emak sudah duduk di samping Udin. Emak memperhatikan sikap Udin yang aneh sejak tadi siang.
"Sudah makan?", tanya Emak
"Belum Mak.", Udin menjawab pendek, sedikit terkejut karena dia tak melihat Emak datang.
"Ya sudah.", jawab Emak sembari berdiri beranjak dari lincak.
"Mak!", tiba-tiba Udin memanggil Emak dengan raut wajah tanggung, seperti ada yang dia pikirkan.
"Ada apa Din? Tingkahmu anak sejak pulang sekolah.", Emak kembali duduk di samping anaknya.
"Udin boleh tanya Mak?", wajah penasaran Udin semakin jelas.
"Tanya apa?", Emak mengusap lembut kepala Udin.
"Dulu ... sewaktu Udin bayi, pernah divaksin apa tidak Mak? Udin dikasih ASI apa tidak sama Emak? Udin pernah dikasih makanan yang bergizi ndak Mak?", cerocos Udin pada Emak.
"Eh, kok tanyanya begitu? Nyerocos pula, satu-satu Din.", ucap Emak sambil menahan tawa. "Jelas dulu kamu juga divaksin, Emak rajin bawa Udin ke Posyandu. Udin juga dikasih ASI sampai umur tiga tahun lho.", jelas Emak pada Udin.
"Tapi, kenapa Udin tidak bisa seperti teman yang lain Mak?", Udin masih penasaran.