(-) John Bowring: gubernur Hongkong keempat, konon mampu berbahasa dalam 100 bahasa.
(-) Soekarno: sang proklamator kita, konon lancar berbicara dalam delapan bahasa.
Linguistik Vs. "Penguasa" (beberapa) bahasa
Kadang ada orang yang bertanya: "Linguistik itu ilmu apaan? Belajar bahasa apa?" Pertanyaan itu wajar sekali dituturkan orang awam. Seseorang yang belajar linguistik tidak  diwajibkan "belajar" bahasa tertentu, tetapi justru mempelajari ilmu tentang bahasa karena linguistik adalah ilmu yang digunakan untuk mengkaji bahasa apa saja, tidak terbatas bahasa apa. Dengan kata lain, linguistik tidak mengajari orang berbahasa A, misalnya, tetapi justru mengkaji bahasa A itu sendiri. Selain bisa menjadi alat untuk mengkaji bahasa, linguistik bisa juga menjadi objek dari kajian itu sendiri; ini disebabkan linguistik berkiblat pada ilmu (yang ilmiah) yang terus berkembang hingga kini, bukan pada pengetahuan ataupun ketrampilan (misalnya ketrampilan berbahasa). Tetapi, hasil-hasil kajian dari linguistik banyak yang dimanfaatkan untuk (1) penyusunan kamus, (2) penerjemahan), hingga (3) penyusunan tatabahasa, yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk pengajaran bahasa. Di luar itu, linguistik pun terus dikembangkan sebagaimana ilmu-ilmu yang berbasis pada filsafat pada umumnya. Jadi, seorang linguis tidak diwajibkan berusaha penguasaan bahasa tertentu, tetapi mempelajari bahasa (apa pun) sebagai objek kajiannya.
Sementara itu, poliglot diartikan sebagai orang yang mampu menguasai beberapa bahasa. Kata wikipedia http://en.wikipedia.org/wiki/Polyglotism, poliglotisme ini dapat disamakan dengan multilingual. Padahal di Indonesia sangatlah wajar melihat banyak orang menguasai tiga bahasa (bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris). Namun, tidak ada takaran yang pasti berapa banyak bahasa yang harus dikuasai untuk dapat disebut poliglot. Hanya, Richard Hudson (seorang linguis Inggris) pernah mengemukakan istilah poliglot untuk orang yang mampu berbicara minimal enam bahasa. Ada yang mengatakan kemampuan berbicara dalam banyak bahasa ini disebabkan oleh bahasa-bahasa yang dipelajarinya berkerabat, tetapi ada juga yang menyatakan itu karena kemampuan otaknya. Namun, tidak ada korelasi logis antara kinerja dalam pekerjaan dan kemampuan berbicara/menulis dalam banyak bahasa (boleh berkaca pada kinerja mayoritas pegawai negeri sipil di negeri ini).
Jika ditanya jumlah bahasa yang dikuasai, seorang linguis pasti kalah mutlak dari poliglot. Tetapi, jika berbicara masalah-masalah di dalam bahasa-bahasa yang dikuasai poliglot itu, poliglot mungkin tidak bisa bilang apa-apa. Seorang linguis akan mampu menjelaskan secara rinci tentang (1) asal-usul bahasa, (2) aturan-aturan dalam suatu bahasa, atau (3) penyebab suatu bahasa berubah. Mari kita lihat contoh kalimat di bawah ini.
The very words were very cleverly twisted but their verity maintained.
Seorang linguis akan mengidentifikasi very yang pertama sebagai adjektiva, yang kedua sebagai adverbia, sedangkan kata verity tidak ada hubungannya dengan very.
Contoh lainnya, cobalah tanya seorang linguis: bagaimanakah karakter sintaksis bahasa Indonesia. Jawabannya mungkin adalah (1) bahasa yang cukup taat urutan kata, (2) jenisnya nominatif-akusatif, (3) menganut sistem preposisi, (4) mempunyai dua macam konstruksi pasif, (5) mempunyai ligatur "yang", dan (6) sedang menuju ke arah bahasa yang lebih longgar urutan katanya. Hal-hal semacam ini tidak dipelajari di bidang pengajaran bahasa, apalagi jika belajar bahasa secara otodidak. Bagi seorang linguis, kemampuan manusia berbahasa pun sudah menjadi topik yang menarik, apalagi struktur dan sistem di dalam bahasa, dan ditambah pula aspek-aspek eksternal kebahasaan. Dengan kata lain, dalam studi linguistik suatu bahasa akan dijelaskan dengan bahasa dan untuk kepentingan bahasa itu sendiri.
Sementara itu, di Indonesia seorang poliglot akan dilihat sebagai orang yang "keren", terutama apabila yang dikuasainya adalah bahasa-bahasa asing (bukan bahasa Nusantara). Ironisnya, negeri ini mempunyai 742 bahasa (menurut SIL International), yang hampir seluruhnya belum diteliti dan dicari rumusan tatabahasanya. Justru orang-orang Barat-lah yang berlomba-lomba meneliti bahasa di sini, tentu dengan tujuan yang berbeda: ada yang ingin meneliti untuk meraih gelar doktoral, dan ada juga yang ingin meneliti dengan tujuan penyebarluasan agama tertentu (tidak mengherankan jika banyak hasil penelitian mereka yang tidak ter-publish secara luas sehingga menimbulkan kecurigaan tertentu). Tidak usah jauh-jauh, sebenarnya penelitian tentang bahasa Indonesia juga belum selesai, misalnya penelitian tentang adjektiva (menurut kedua profesor saya, belum ada orang yang berani meneliti adjektiva dalam bahasa Indonesia karena saking susahnya). Lantas, banyak orang berlomba-lomba mempelajari bahasa bule, mulai dari bahasa Korea, Jepang, Jerman, Prancis, atau Rusia. Apakah niatnya biar dianggap "keren" karena mampu berbahasa bule "yang aneh-aneh", ingin mempelajari budaya sana, atau karena ingin bekerja dengan orang sana, saya tidak tahu. Yang jelas, kalau ingin menjadi poliglot bahasa-bahasa bule, ya silakan. Mungkin bule akan tersanjung bahasanya Anda pelajari, tetapi mereka sebenarnya juga takjub dengan kemampuan sebagian besar orang Indonesia yang bisa berbicara lancar dalam minimal dua bahasa (bahasa daerah dan bahasa nasional) dan sedikit menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa "ilmu pengetahuan dunia".
Selamat bulan bahasa nasional! ^___^