Dalam 2/3 bagian film, spirit itu terasa. Namun setelah itu justru musnah tak bersisa, karena film lantas lebih fokus pada Johnny yang seperti terombang-ambing oleh ketakutannya akan kesepian, juga pada pencarian jati dirinya. Yang juga menjadi kelemahan besar film ini adalah ketakjelasan sudut pandang cerita. Apakah "Dare" dituturkan dari point of view Johnny atau Alexa? Ketakkonsistensian ini membuat cerita juga bergerak maju dan melibas sendiri spirit yang dipunyainya.
Padahal "Dare" sebenarnya punya potensi untuk menjadi film remaja yang stand-out seperti Thirteen. Persoalan pada skenario-lah yang membuat potensi itu terasa terkikis. Padahal pergulatan batin para tokohnya berhasil dipotret dengan baik oleh David Brind, penulis ceritanya. Lainnya, perubahan karakter yang terlihat drastis di film juga tak menjadi masalah, karena mendapatkan sumbunya ketika ditranformasikan oleh Gilford, Rossum, dan Springer.
Maka ketika film berakhir, Dare tak memberi daya kejut yang menyesakkan. Sungguh berbeda dengan efek yang ditimbulkan Thirteen yang terasa 'menganggu' penonton justru ketika film tersebut usai.
*tulisan ini sudah pernah dimuat di buku 101 Movie Guide edisi I 2013.
Ichwan Persada adalah sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H