Mohon tunggu...
Moch IchwanPersada
Moch IchwanPersada Mohon Tunggu... Seniman - Sutradara/Produser Film/Pernah Bekerja sebagai Dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Produser film sejak tahun 2011. Sudah memproduseri 9 film panjang termasuk nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2012, Cerita Dari Tapal Batas. Menjadi sutradara sejak 2019 dan sudah menyutradarai 5 serial/miniseri dan 5 film pendek. Mendirikan rumah kreatif Indonesia Sinema Persada dan bergiat melakukan regenerasi pekerja film dengan fokus saat ini pada penulisan skenario.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Menantang Rasa Nyaman Dalam Diri

16 Januari 2023   12:03 Diperbarui: 16 Januari 2023   12:37 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menantang Rasa Nyaman Dalam Diri

Kehadiran "Thirteen" (Catherine Hardwicke, 2003) sempat menyentakkan penonton bahwa ada problematika mendasar dari remaja yang selama ini urung terungkap di layar besar. 

Dan problematika itu menjadi mengerikan ketika dipaparkan dengan gamblang di depan mata kita. Thirteen memang seperti menyempil dari film remaja kebanyakan yang hanya menyorot masalah remeh-temeh dan dikemas dengan tone ceria.

Masa remaja sesungguhnya adalah masa paling kompleks dalam fase kehidupan yang kita lalui. Karena disitulah pertemuan antara masa kecil menuju jenjang kedewasaan. Ada berbagai problematika terhampar disana. 

Dari isu paling simpel, seperti jatuh cinta untuk pertama kalinya, hingga yang paling mendasar (dan sesungguhnya menjadi salah satu yang terpenting) adalah persoalan pencarian jati diri. Mungkin klise kedengarannya, namun jika kembali me-rewind episode hidup yang sudah dilalui, rasanya hal itu terasa wajar, juga alamiah.

Dalam "Dare" sekali lagi isu itu diangkat, namun kali ini terasa lebih kompleks karena ada bumbu homoseksualitas. Film bertutur dari sudut pandang Johnny (Zach Gilford) yang seperti punya segalanya (ganteng dan punya orang tua kaya). Padahal Johnny sebenarnya sosok pemuda kesepian. Maka ia membentengi dirinya dengan sikap yang diperlihatkan pemuda kebanyakan: mencoba memberontak terhadap apapun. Ia dicap sebagai pembuat onar di sekolah dan nyaris tak punya teman akrab.

Di kutub yang berseberangan ada Ben (Ashley Springer). Ben digambarkan seperti tipikal pemuda kikuk dan manis. Jika Johnny dikenal karena gemar berbuat onar, maka Ben direkognisi teman-temannya sebagai pemuda yang aneh. Jika dilihat lebih jauh, sesungguhnya Ben adalah 'alternate version' dari Johnny. Paling tidak terlihat jelas kesamaan keduanya: sama--sama kesepian.


Yang membuat Ben menang satu poin dari Johnny adalah ia punya sahabat sejak kecil, Alexa (Emmy Rossum). Berkat kegiatan ekskul drama, Johnny berkenalan dengan Alexa. Lantas keduanya pun jatuh cinta. Di tengah hubungan panas membara itulah menyelinap Ben. Suatu ketika, di kolam renang di rumah Johnny, Ben nekat mencumbu kekasih sahabatnya itu. Namun Johnny tak melakukan perlawanan apapun.

Spirit yang sesungguhnya diusung "Dare" adalah keberanian menantang rasa nyaman dalam diri. Hal itu diperlihatkan Alexa yang mencoba keluar dari 'kenormalan'-nya sebagai gadis baik-baik. Sayangnya spirit itu tak dipelihara utuh dalam cerita. 

Dalam 2/3 bagian film, spirit itu terasa. Namun setelah itu justru musnah tak bersisa, karena film lantas lebih fokus pada Johnny yang seperti terombang-ambing oleh ketakutannya akan kesepian, juga pada pencarian jati dirinya. Yang juga menjadi kelemahan besar film ini adalah ketakjelasan sudut pandang cerita. Apakah "Dare" dituturkan dari point of view Johnny atau Alexa? Ketakkonsistensian ini membuat cerita juga bergerak maju dan melibas sendiri spirit yang dipunyainya.

Padahal "Dare" sebenarnya punya potensi untuk menjadi film remaja yang stand-out seperti Thirteen. Persoalan pada skenario-lah yang membuat potensi itu terasa terkikis. Padahal pergulatan batin para tokohnya berhasil dipotret dengan baik oleh David Brind, penulis ceritanya. Lainnya, perubahan karakter yang terlihat drastis di film juga tak menjadi masalah, karena mendapatkan sumbunya ketika ditranformasikan oleh Gilford, Rossum, dan Springer.

Maka ketika film berakhir, Dare tak memberi daya kejut yang menyesakkan. Sungguh berbeda dengan efek yang ditimbulkan Thirteen yang terasa 'menganggu' penonton justru ketika film tersebut usai.

*tulisan ini sudah pernah dimuat di buku 101 Movie Guide edisi I 2013.

Ichwan Persada adalah sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun