Surat Dari Angga
Tahun 2005. Saya yang merasa salah jurusan dengan berkuliah di Fakultas Kedokteran didatangi Angga Sasongko dan Muhammad Zaidy di Makassar. Dan selebihnya adalah sejarah.
Suatu hari di akhir 2005, saya didatangi Angga dan Zaidy di Makassar. Angga meminta saya secara langsung untuk membantu produksi film panjang pertamanya. Saya merasa tersanjung dan di saat yang sama merasa deg-degan. Karena tawaran ini terlalu menarik untuk dilewatkan, saya menyanggupi untuk hijrah ke Jakarta.
Dan selebihnya adalah sejarah. Angga kelak dikenal sebagai salah satu sutradara garda depan Indonesia dan berhasil membesarkan Visinema Pictures. Sementara Zaidy kelak dikenal sebagai pendiri sekaligus produser Palari Films yang melahirkan banyak film bagus di negeri ini.
Meski sudah bertahun-tahun tak bertemu Angga, tentu saja saya mengikuti perkembangan karirnya. Saya menonton sebagian besar filmnya di bioskop di hari pertama rilis. Saya mengikuti apa saja yang menggelisahkannya melalui karya-karya yang dibuatnya. Dan saya tahu satu hal, betapa Angga cinta betul pada film Indonesia, seperti saya dan sebagian besar pembuat film lainnya di negeri ini.
Kecintaan Angga terlihat dari bagaimana ia selalu ingin melahirkan kebaruan dari karya-karyanya. Ia menolak mengikuti trend. Dulu saya mengingat Angga memang seperti itu, ia tak ingin masuk ke arus besar, ia ingin berada di sisi yang disebutnya sidestream. Dan saya kira spirit ini adalah bukti cinta untuk melihat film Indonesia terus bertumbuh, bukan saja dari pencapaian jumlah penonton, tapi terutama tentang ide-ide besar dari karya yang dibuat hingga bagaimana karya-karya itu dibuat sedemikian serius dan mempertaruhkan kapital yang begitu besar.
"Mencuri Raden Saleh" menjadi semacam surat cinta dari Angga. Betapa ia mencintai film Indonesia dan ingin membuat penontonnya terus mencintai filmnya sendiri. Tapi ia tak ingin itu semata jadi jargon, ia ingin film Indonesia juga terus berkembang, sebagaimana penonton yang juga kini begitu mudahnya mendapatkan referensi film dari seluruh dunia.
"Mencuri Raden Saleh" memperlihatkan determinasi Angga tentang bagaimana mewujudkan mimpinya. Ia memupuk mimpi itu bertahun-tahun, dengan sabar membangunnya bata demi bata dan kelak mengerahkan seluruh energi dan daya kreatifnya untuk membuat karya yang kelak tak hanya bisa dibanggakan olehnya dan semua orang yang terlibat didalamnya, juga oleh penonton film Indonesia.
Untuk pertama kalinya, kita melihat film hiburan dibuat dengan skala sebesar dan seserius ini di Indonesia. Semua aspek dipikirkan secara matang, semua elemen dihitung secara cermat dan hasilnya adalah sebuah disrupsi. Sebagaimana "Nussa" yang menjadi tonggak baru dari wilayah animasi, "Mencuri Raden Saleh" juga menciptakan kegemparan karena akhirnya kita punya film bertema heist/pencurian yang dibuat gila-gilaan dan percaya diri bahwa tontonan ini akan menghibur banyak orang.
Sekaligus pula ini adalah upaya Angga yang mencintai seni untuk memperkenalkan seni lukis ke anak muda. Banyak anak muda yang mungkin tak ngeh dengan nama-nama seniman besar seperti Raden Saleh, Affandi hingga Agus Suwage. "Mencuri Raden Saleh" dengan cerdik memperkenalkannya kepada generasi yang sebelumnya mungkin jarang sekali terpapar dengan nama-nama itu.
Dan "Mencuri Raden Saleh" juga dengan brilyan membuat penonton penasaran dengan apa yang sesungguhnya terjadi dengan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830. Pihak penjajah sempat mendistorsi kenyataan sejarah dengan menuliskan dan menyebarkannya kepada masyarakat. Namun seorang seniman bernama Raden Saleh menolak untuk percaya hal itu. Ia menggunakan seni lukis untuk menunjukkan perlawanannya dengan distorsi sejarah itu. Dua puluh tujuh tahun setelah peristiwa itu, ia melukis apa yang menurutnya sesungguhnya terjadi. Dan sisanya adalah sejarah. Hingga hari ini, lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro menjadi salah satu lukisan paling bersejarah sekaligus paling bernilai yang pernah dibuat.
Angga selalu menggunakan platform yang dikuasainya betul dengan maksimal. Ia tak akan sekedar membuat film untuk menghibur. Selalu ada pesan-pesan yang diselipkannya dalam karya-karyanya. Juga selalu ada niat baik untuk menulis kembali sejarah yang pernah ditulis di negeri ini. Dengan cara demikian, sejarah tak akan sekedar hidup di masa lalu namun selalu juga bisa terefleksikan oleh generasi masa kini. Dan kita tahu Angga akan terus menulis surat cintanya untuk film dan untuk Indonesia melalui karya-karyanya selanjutnya.
MENCURI RADEN SALEH
Produser: Cristian Imanuell
Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Penulis Skenario: Angga Dwimas Sasongko, Husein M. Atmodjo
Pemain: Iqbaal Ramadhan, Angga Yunanda, Rachel Amanda
ICHWAN PERSADA
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
*tulisan ini sudah pernah dimuat sebelumnya di Gen Sindo. Diterbitkan ulang terkait penayangan di Netflix.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H