Jika Mark Zuckerberg menciptakan Facebook karena ditolak cewek, maka Daniel Ek menggebu-gebu meluncurkan Spotify karena ditolak Google. Siapa yang mengira karena sebuah penolakan, dunia memiliki platform teknologi yang mengubah dunia secara revolusioner?
Daniel Ek menjadi orang paling bertanggung jawab atas lahirnya Spotify dari sebuah negara bernama Swedia. Setelah ditolak Google, ia merasa bahwa Silicon Valley selalu bisa dikalahkan. Toh negaranya tak kekurangan talenta. Dan ini bukan sekedar isapan jempol karena dibuktikannya dengan menggandeng sosok-sosok paling jenius yang akhirnya melahirkan Spotify yang mengubah dunia musik selamanya.
Miniseri "The Playlist" memperlihatkan bagaimana Daniel Ek melewati rintangan demi rintangan demi mewujudkan impiannya. Tapi Daniel mungkin sedikit lebih beruntung dari Mark. Karena sedari awal ia punya Martin Lorentzon, pengusaha bervisi tajam, yang mendukungnya.
Tapi sedari awal juga kita disadarkan bahwa uang bukan segalanya bagi sebuah impian. Kadangkala ia berhadapan dengan regulasi, kali lain ia berhadapan dengan kebiasaan lama yang susah diubah dan seringkali ia mesti beradu dengan ego dari sang pemilik mimpi. Dan karena impian sering lahir dari mereka yang berusia muda dengan watak yang mencoba idealis, kompromi kadang terasa seperti mencari jarum di dalam jerami. Suatu hal yang bisa jadi mustahil.
Namun impian akan terus mengalami benturan demi benturan hingga pada akhirnya ia terbentuk. Daniel pada akhirnya tahu itu bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang revolusioner dan memerlukan kapasitas diri untuk fleksibel. Sebelumnya industri musik dikendalikan penuh oleh label rekaman, setelahnya musik "didemokratisasi" habis-habisan oleh situs bajakan hingga akhirnya muncullah Spotify sebagai solusi. Tapi betulkah Spotify adalah solusi, terutama bagi musisi yang menggantungkan hidupnya dari musik?
"The Playlist" bisa ditonton di Netflix.
3. MINX
Minx adalah majalah rekaan dari serial "Minx". Majalah yang hadir di tahun 1970-an ketika perempuan mulai gelisah dengan kebebasannya. Majalah yang ingin perempuan tak perlu malu melotot melihat penis berukuran jumbo dari para model laki-laki. Majalah yang ingin memberdayakan perempuan dengan ide dan tulisan yang bernas.
Tapi seperti Indonesia, Amerika pun bisa jadi sama heterogennya. Tak semua orang bertepuk tangan atas lahirnya majalah seliberal Minx. Senator perempuan tak terima ada majalah yang dianggapnya mencemari nilai-nilai keluarga, pebisnis mafia yang tak setuju dengan ide legalisasi aborsi dan dari kalangan perempuan sendiri yang menganggap bahwa menjual ide tentang kebebasan perempuan tak perlu diiming-imingi dengan gambar penis. Seperti yang dipertanyakan Joyce ketika pertama kali melihat rancangan edisi perdana kepada Doug. "Apakah ereksi konsisten dengan filosofi kita?"
"Minx" bisa ditonton di Lionsgate Play.