Fenomena membeli mobil tanpa mempertimbangkan aspek praktis seperti bagasi atau lahan parkir menjadi cerminan budaya konsumtif di masyarakat kita. Mobil tidak lagi hanya dianggap sebagai alat transportasi, melainkan simbol status sosial dan gaya hidup.Â
Sayangnya, keputusan impulsif ini sering kali mengabaikan dampak jangka panjang, baik dari sisi utilitas, sosial, maupun hukum. Hal ini terlihat dari maraknya mobil yang diparkir di jalan perumahan, konflik antar tetangga, hingga pelanggaran hukum terkait penggunaan ruang jalan.
Salah satu konsekuensi paling nyata dari budaya membeli mobil tanpa perencanaan adalah kebiasaan memarkir kendaraan di jalan perumahan. Kondisi ini sering terjadi karena banyak pemilik mobil tidak memiliki lahan parkir pribadi yang memadai. Jalan perumahan yang seharusnya menjadi akses bagi seluruh penghuni berubah menjadi tempat parkir dadakan.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan Pasal 38, "Setiap orang dilarang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan." Adapun ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ketika mobil diparkir di ruang manfaat jalan, aksesibilitas jalan terganggu, termasuk bagi kendaraan darurat seperti ambulans atau pemadam kebakaran.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022, Pasal 12 Ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai sanksi sebagaimana tertuang dalam Pasal 63 Ayat 1: "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, dipidana dengan penjara paling lama 18 bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000.000."
Namun, minimnya kesadaran masyarakat akan aturan ini, ditambah lemahnya penegakan hukum, membuat praktik parkir sembarangan terus berlanjut. kalian juga begitu? jangan ya teman-teman. . . . .
Parkir sembarangan di jalan perumahan tidak hanya mengganggu fungsi jalan, tetapi juga sering menjadi sumber konflik sosial. Mobil yang diparkir di depan rumah tetangga atau di area yang dianggap ruang publik memicu ketegangan. Konflik kecil seperti ini dapat berkembang menjadi pertengkaran serius, terutama jika salah satu pihak merasa haknya terganggu.
Kondisi ini mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap hak orang lain dan pengelolaan ruang bersama. Budaya hidup harmonis di lingkungan perumahan menjadi tergerus akibat kebiasaan yang sebenarnya dapat dicegah melalui perencanaan matang sebelum membeli mobil.
Seperti dijelaskan sebelumnya, kebiasaan parkir di jalan perumahan merupakan pelanggaran hukum. Selain melanggar Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004, kebiasaan ini juga bertentangan dengan etika bermasyarakat. Pelanggaran terhadap aturan tersebut tidak hanya berpotensi mengganggu orang lain tetapi juga dapat dikenai sanksi berat, termasuk denda yang mencapai miliaran rupiah.
Murah Membeli Mobil, Mahal Memberi Lahan
Salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah perbedaan mencolok antara harga mobil yang semakin terjangkau dan biaya untuk menyediakan lahan parkir. Dengan adanya skema kredit yang fleksibel dan suku bunga yang kompetitif, memiliki mobil pribadi kini jauh lebih mudah dibandingkan dekade sebelumnya. Proses pembelian mobil menjadi begitu sederhana sehingga sering kali tidak disertai dengan perencanaan yang matang mengenai kebutuhan ruang parkir.
Namun, tantangan justru muncul setelah kendaraan berada di tangan pemiliknya. Penyediaan lahan parkir, terutama di daerah perkotaan yang padat, tetap menjadi masalah serius. Dalam realitas urbanisasi saat ini, ruang kota semakin terbatas, sementara harga tanah terus meroket. Banyak rumah di daerah urban, terutama di perumahan sederhana atau rumah susun, tidak dirancang dengan fasilitas garasi yang memadai. Situasi ini membuat pemilik mobil harus mencari alternatif untuk memarkir kendaraannya.
Sayangnya, menyediakan garasi atau lahan parkir tambahan sering kali dianggap sebagai beban tambahan yang tidak mendesak, baik dari segi finansial maupun prioritas. Bagi sebagian orang, memiliki kendaraan pribadi terlihat sebagai pencapaian yang membanggakan, tetapi pengadaan fasilitas pendukung seperti garasi sering kali diabaikan. Akibatnya, banyak pemilik mobil yang lebih memilih memanfaatkan ruang publik, seperti jalan perumahan, sebagai tempat parkir sementara atau bahkan permanen.
Pilihan ini tidak hanya merugikan pengguna jalan lainnya, tetapi juga menimbulkan masalah yang lebih luas. Pemanfaatan ruang publik untuk parkir sering kali menyebabkan konflik dengan tetangga, menghambat fungsi jalan, dan dalam banyak kasus, melanggar aturan tata ruang yang berlaku. Fenomena ini mencerminkan bahwa budaya konsumtif masyarakat dalam membeli mobil belum sepenuhnya diiringi dengan kesadaran tanggung jawab terhadap lingkungan tempat tinggal.
Mengubah Pola Pikir
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan pola pikir dalam masyarakat. Edukasi tentang pentingnya perencanaan matang sebelum membeli kendaraan menjadi langkah awal. Pembeli mobil harus memahami bahwa memiliki kendaraan tidak hanya melibatkan biaya pembelian, tetapi juga tanggung jawab menyediakan fasilitas pendukung seperti garasi.
Pemerintah juga memiliki peran penting. Penegakan aturan terkait parkir dan ruang manfaat jalan harus lebih tegas. Selain itu, insentif untuk pengembangan tata kota yang mendukung kendaraan multifungsi atau fasilitas parkir bersama dapat menjadi solusi jangka panjang.
Produsen kendaraan juga dapat berkontribusi dengan mempromosikan kendaraan yang sesuai dengan kebutuhan ruang dan kondisi masyarakat, khususnya di perkotaan.
Budaya membeli mobil tanpa memikirkan bagasi atau lahan parkir mencerminkan konsumtivisme tanpa perencanaan yang matang. Kebiasaan ini tidak hanya menimbulkan masalah praktis dan sosial, tetapi juga melanggar hukum yang telah ditetapkan. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, menegakkan aturan yang ada, dan mendorong inovasi dalam tata kota, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih teratur dan harmonis. Mobil seharusnya menjadi alat yang memudahkan, bukan sumber masalah di tengah masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H