Akhir-akhir ini, di jagad media sosial Twitter (baca: X), berseliweran video yang menampilkan seorang mahasiswi dari Universitas Azad, Iran, melakukan protes dengan hanya memakai pakaian dalam di luar ruangan kampus. Tindakan berani ini merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang menerapkan aturan ketat mengenai penggunaan hijab. Mahasiswi tersebut ingin menyoroti perlakuan kasar yang dialaminya dan banyak wanita lainnya yang merasa tertekan oleh norma-norma yang mengekang kebebasan individu. Aksi ini menggugah perhatian publik dan menambah suara dalam perjuangan hak asasi perempuan di Iran.
Jauh sebelum ini, pada 27 Desember 2017 silam, aksi Vida Movahead yang berdiri di atas kotak Utilitas di sudut Jalan Enghelab, Teheran, Seraya mengibarkan jilbab. Movahead melakukan itu sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Hassan Rouhani yang dinilai mengekang kebebasan perempuan Iran dengan pemberlakuan wajib jilbab.
Atas aksinya, Movahead diciduk aparat dan dijatuhi hukuman setahun penjara atas tuduhannya memprovokasi publik. Meski begitu aksi Movahead memantik perlawanan yang lebih luas di berbagai daerah yang ada di Iran. Sehingga ia mendapat julukan The Girl Of Enghelab, dalam bahasa Iran yang Enghelab sendiri bermakna revolusi. Saking luasnya pergolakan tersebut, polisi Iran menangkap puluhan perempuan yang melakukan hal yang sama dengan melepas jilbab sebagai bentuk protes.
Pasca peristiwa Movahead, 4 tahun setelahnya situasi di Iran seperti berjalan di tempat, bahkan lebih parah lagi. Mahsa Amini perempuan 22 tahun tewas di tahanan polisi moral karena dianggap melanggar aturan berbusana jilbab. Kematiannya melahirkan demonstrasi berskala besar yang muncul di berbagai kota di Iran. Para perempuan turun ke jalan dan membakar jilbabnya sebagai simbol pertarungan. Di Iran urusan jilbab begitu rumit, bukan hanya manifestasi dari ritual keagamaan melainkan juga kuasa negara wujud pengekangan hingga makna kebebasan.
Kilas Balik Negara Republik Islam Iran
Untuk memahami konteks jilbab di Iran, kita harus menelusuri kembali ke era Shah Pahlavi yang mengedepankan monarki absolut. Selama masa pemerintahannya, perempuan dilarang mengenakan jilbab dan cadar sebagai bagian dari upaya untuk memodernisasi masyarakat Iran, yang diwujudkan melalui aturan resmi yang mewajibkan penggunaan jas dan topi ala Barat.
Pada Desember 1935 M larangan jilbab resmi diberlakukan dan diterapkan ke seluruh provinsi di Iran selama 1 bulan setelahnya. Ini membuat para ulama marah atas kebijakan Shah yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi Shah tidak mengambil pusing terkait ulama yang vokal yang melakukan pertentangan. Ulama yang melakukan pertenangan dibungkam dan diasingkan. Rezim Shah percaya bahwa melarang pengguna jilbab dapat membawa Iran maju secara ekonomi serta tidak tertinggal dari modernitas barat.
Setelah Shah menyerahkan estafet kekuasaan ke anaknya Reza Pahlavi situasi sosial politik di Iran begitu Kompleks. Â Terdapat PM mozadex yang digulingkan lewat operasi ajax CIA-MI6 setelah menasionalisasi British Petroelum, penangkapan besar-besaran aktivis dan simpatisan kiri oleh Safax polisi intelijen Iran yang terkenal kejam. Lalu revolusi putih proyek modernisasi besar-besaran di era Pahlevi yang sayangnya justru makin bikin ketimpangan melebar karena hanya mengandalkan boom minyak dan cuma mengejar pertumbuhan ekonomi. Kemiskinan makin terlihat jelas imbas inflasi yang tinggi pabrik banyak tutup sementara Pahlavi getol sekali berfoya-foya. Kondisi ini meletupkan gelombang anti Shah yang muncul sepanjang 1970-an dengan tokoh utamanya Ayatollah Ruhollah Khomeini.
Puncaknya pada 1979 kekuasaan Pahlavi dilucuti menandai berakhirnya dinasti Shah dan membuka lembaran baru di bawah revolusi Islam. Bergantinya pemerintahan, berganti pula kebijakan, jilbab yang dulunya dilarang, sekarang di era Khomeini wajib dikenakan oleh perempuan. Perempuan yang tidak memakai jilbab sama saja menodai agama. Adapun satu-satunya bagian tubuh perempuan yang boleh terlihat hanyalah wajah dan telapak tangan.
Negara dan agama seketika bersekutu mengatur mana yang boleh dilakukan perempuan dan mana yang tidak. Pemberlakuan kebijakan ini dilakukan secara otoriter diikuti dengan aksi persekusi kepada perempuan yang enggan memakai jilbab, protes dilakukan tapi nggak mengubah apapun kecuali cengkraman rezim teokrasi yang kian kuat dan tergambarkan dengan hukuman penjara hingga cambukan untuk mereka yang langgar aturan jilbab.
Warisan Khomeini ini dan revolusi Islam terus dipelihara sekalipun ia meninggal pada tahun 1989 M, yang membedakan adalah bentuk hukumannya bahwa tidak ada lagi pemberlakuan cambuk. Aturan jilbab adalah wajah dari diskriminasi terhadap perempuan di Irak, bersanding dengan gambaran lainnya seperti larangan bekerja tanpa seizin laki-laki hingga akses yang sempit terhadap ekonomi dan pekerjaan. Kondisi itu nyaris tidak banyak berubah dan kematian Masha Amani hingga protes dari mahasiswi Universitas Azad karena aturan hijab merupakan penanda betapa hidup sebagai perempuan di Iran jauh dari kata baik-baik saja.
Perjuangan para perempuan di Iran menunjukkan bahwa kebebasan dan hak asasi manusia adalah nilai-nilai yang akan terus diperjuangkan, meski berhadapan dengan segala bentuk penindasan. Aksi-aksi berani mereka adalah bukti bahwa suara yang tertindas tak akan pernah sepenuhnya bisa dibungkam. Semoga dunia tidak hanya melihat, tetapi juga mendukung langkah-langkah mereka menuju kehidupan yang lebih bebas dan bermartabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI