Istilah meritokrasi pertama kali ditulis oleh Michael Young dalam buku lamanya, Ascent of the Meritocracy (1958). Dalam dunia kerja nyata, meritokrasi adalah praktik mempromosikan dan merekrut karyawan berdasarkan kemampuan mereka menyelesaikan tanggung jawabnya, bukan berdasarkan koneksi mereka dengan perusahaan. Semuanya dievaluasi berdasarkan prestasi dan kinerja karyawan.
Menurut Kim & Choi (2017), meritokrasi adalah sistem sosial yang memajukan masyarakat berdasarkan kemampuan dan prestasi setiap orang. Hal ini menyiratkan bahwa para pionir dipilih berdasarkan sejarah, pengetahuan, dan kapasitas untuk melayani kecenderungan semua orang.
Beberapa kajian juga mengungkap meritokrasi sebagai suatu kondisi yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua individu di sektor publik untuk memiliki posisi atau jabatan tertentu (Lipsey, 2014; Martin et al, 2014; Au, 2016).
Karena kompetensi individu menjadi dasar persamaan kesempatan ini, maka hanya kandidat terbaik yang akan dipertimbangkan untuk posisi atau jabatan tersebut. Penggunaan meritokrasi tidak hanya terbatas pada posisi tertentu, namun dapat diterapkan di semua lingkungan pekerjaan atau bantuan publik.
Dengan demikian, meritokrasi adalah kerangka kerja yang menekankan pada kapasitas individu untuk terlibat dalam posisi atau jabatan tertentu. Tidak peduli apa dasar etnis, asosiasi, atau posisi sosial mereka. Tetapi berdasarkan dengan rekam jejak, kecerdasan, prestasi individu dan kemampuan untuk melayani kepentingan semua orang.
Membangun budaya meritokrasi dalam kehidupan bernegara sangatlah penting. Dengan adanya budaya meritokrasi, kultur budaya kolonial maupun feodal yang masih mengakar kuat pada budaya kerja dan birokrasi di Indonesia dapat perlahan dikikis.
Budaya kerja dan birokrasi yang sarat akan nuansa korupsi, kolusi, nepotisme, suap-menyuap, menjilat, pilih kasih, pemaksaan, subversi, eksploitasi status, jual beli pangkat, dan praktik-praktik negatif lainnya, perlahan akan hilang.
Penerapan meritokrasi telah menjadi bahan perdebatan sepanjang perkembangannya, terutama mengingat hasil yang dicapai. Diskusi ini muncul atas dasar bahwa hasil dari penerapan meritokrasi dapat mengurangi ketidakseimbangan atau bahkan menghancurkan kesenjangan.
Saat ini, penerapan meritokrasi terus berkembang dengan tujuan menciptakan masyarakat yang adil. Upaya ini bergantung pada kesempatan yang setara di mata publik tanpa memperhatikan posisi sosial, kelas ekonomi, orientasi atau kebangsaan. Dari berbagai kajian yang memahami meritokrasi, ada dua faktor yang dipandang penting dalam pelaksanaannya, yaitu transparansi dan ketidakberpihakan.
Dalam membangun budaya meritokrasi Indonesia telah tertinggal lebih dari 40 tahun dengan Singapura. Dimana Singapura telah menerapkan budaya meritokrasi dalam dunia kerja dan birokrasi nya sejak tahun 1971. Sedangkan Indonesia baru mulai serius menerapkan budaya meritokrasi pada tahun 2014.
Tantangan terbesar dalam menerapkan budaya meritokrasi adalah belum setaranya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat. Dalam hal ini adalah masalah pendidikan dan pekerjaan. Tidak dipungkiri hingga saat ini pendidikan di Indonesia masih belum merata diterima oleh masyarakat. Padahal pendidikan merupakan hal yang penting dalam membangun budaya meritokrasi.
Pendidikan dapat berperan dalam membuka pintu bagi setiap anak untuk memperoleh pengetahuan dan kemampuan agar dirinya layak dan mampu mencapai posisi dan melakukan pekerjaan yang mereka dambakan.
Melalui pendidikan, anak-anak dari keluarga miskin dapat memiliki pintu masuk yang sama seperti remaja dari keluarga kaya untuk menciptakan masa depan mereka melalui kerja keras. Sehingga setiap anak bisa mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan bagus yang sesuai dengan kemampuannya. Meskipun sampai saat ini kualitas pendidikan di daerah masih belum merata dan masih terdapat ketimpangan antara kota dan daerah. Begitu pula dalam membuka peluang pekerjaan, masih banyak praktik keliru yang terjadi dalam proses penerimaan pegawai.
Oleh karena itu sangat penting untuk membangun budaya meritokrasi di segala lini kehidupan. Karena budaya meritokratis berpihak pada mereka yang lebih mampu dan berkompeten di bidang pekerjaannya, baik dalam hal pengakuan, perlakuan setara, penghargaan, status pekerjaan, maupun jenjang karier. Sehingga nantinya dapat terciptanya lingkungan kerja yang sehat, adil dan transparan karena dipegang oleh orang-orang pilihan yang memiliki prestasi dan kemampuan.
Referensi:
Kim, C. H., & Choi, Y. B. (2017). How meritocracy is defined today?: Contemporary aspects of meritocracy. Economics and Sociology, 10(1), 112--121. https://doi.org/10.14254/2071-789X.2017/10-1/8
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H