Mohon tunggu...
Icha Sanista
Icha Sanista Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya merupakan mahasiswi semester 3, Prodi S1 Keperawatan dari Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemimpin Muda yang Berintelek Menghadapi Tantangan Zaman di Era 5.0

20 Juli 2023   13:45 Diperbarui: 20 Juli 2023   13:48 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebaliknya, apa yang menurut saya lebih penting untuk saat ini adalah membekali diri kita. Dalam arti, sembari menunggu matangnya AI, kita bisa mengasah keterampilan di bidang-bidang yang kita tekuni, agar kelak ketika AI sudah siap menjadi pendamping kerja kita, kapabilitas kita pun sudah mumpuni. Jangan sampai kita malah bermalas-malasan karena berpikir semuanya akan dikerjakan oleh mesin. Sebagai contoh, jika saya seorang jurnalis, saya akan tetap rajin membaca buku-buku bermutu untuk memperluas pandangan, wawasan, dan memperkaya gaya tulisan. Jika kelak AI sudah siap mendampingi saya,  saya akan memanfaatkannya untuk tugas-tugas berulang sederhana seperti membuat templat selebaran dan semacamnya, sambil tetap melakukan sisanya secara manual.

Kenapa? Jawabannya mudah saja. Karena meskipun Chat-GPT mampu mengalahkan saya dalam hal stok informasi dan kecepatan menulis, ia tidak akan bisa menulis berita isu terkini karena tidak diprogram untuk itu, dan ia hanya punya informasi sampai akhir 2021. Lebih penting, Chat-GPT juga tidak mampu memberi pandangan tentang seorang sosok, seperti misalnya menjelaskan ekspresi gubernur dalam sesi wawancara, sesuatu yang selama ini menjadi makanan seorang jurnalis. Ya, memang bisa saja kita mengajari Chat-GPT untuk menulis berita, atau mencoba memaksanya menyajikan kabar terkini, tapi itu tidak akan banyak membantu karena bagaimanapun Chat-GPT tidak punya kemampuan memverifikasi informasi. Bukankah validasi itu bagian dari tugas seorang jurnalis? Jika saya bermalas-malasan karena berpikir tugas ini bisa diserahkan pada AI, atau saya jadi murung karena khawatir pekerjaan saya direbut AI, bagaimana bentuk informasi yang akan kita terima nanti?

Itulah yang akan membawa kita pada narasi "AI akan menggantikan manusia". Bukan karena AI itu cerdas, tetapi karena kita malas. Maka dari itu, kita harus membekali diri kita dengan pengetahuan dan keterampilan yang cakap. Teknologi tidak akan memakan lowongan pekerjaan kita. Para pekerja, pelaku seni, dan industri, justru akan terbantu oleh Revolusi Industri 5.0. Dengan catatan, kita sebagai manusia harus siap dan mampu memanfaatkannya. Tetapi, apa sih, hal-hal yang bisa kita lakukan untuk mencapai itu? Dalam hemat saya, salah satu aspek yang paling penting adalah menumbuhkan sikap kritis dan skeptis. Jangan hanya karena AI itu sebuah program yang memiliki tingkat akurasi tinggi, kita jadi berpikir hasil pekerjaannya tidak mungkin salah. Seperti yang sempat saya singgung di bagian sebelumnya, kita harus tetap awas dan teliti, terutama dalam hal validasi dan verifikasi, karena itu adalah ranahnya manusia. Seperti, memang, grup WhatsApp dan media sosial membantu kita mendapatkan informasi lebih cepat, tetapi seberapa sering kita memfilter dan melakukan pengecekan ulang atas kebenaran informasi yang kita dapatkan? Seberapa sering kita terlalu terburu-buru menyebarkan ulang suatu informasi hanya karena kita yakin sumbernya benar? Sikap kritis inilah yang harus lebih diasah dalam menyambut Revolusi Industri 5.0.

Pada tingkat yang lebih jauh, kita juga harus selalu ingat terhadap "siapa memiliki kuasa sebesar apa dan menggunakannya untuk apa". Dari sudut AI versus pengguna, kita memiliki kontrol sepenuhnya. Kendali ada pada kita. Bagaimana AI akan membawa manfaat atau justru kerugian adalah kembali lagi kepada bagaimana kita menggunakannya. Contoh paling dekatnya adalah timbul rasa malas karena apa-apa sudah menjadi otomatis. Hal ini sangat bisa terjadi jika kita mulai melupakan fungsi utama teknologi. Menurut saya pribadi, hal terbaik yang bisa dilakukan mesin adalah mengerjakan tugas-tugas berulang yang membosankan. Membuat templat, mendesain poster sederhana, merancang kode untuk mockup. Sebatas itu. Bagian kreativitas tetap dilakukan secara manual untuk meningkatkan neuroplatisitas serta menjaga sisi humanisme diri kita.

Terakhir, siapa "kita" yang saya maksud di sepanjang tulisan ini? Tentu saja masyarakat umum secara luas, tetapi khususnya para mahasiswa, calon-calon pemimpin generasi berikutnya. Saya memiliki harapan yang sangat besar kepada para calon pemimpin generasi berikutnya. Jika kita mampu menjadi pemimpin yang intelek dan berkualitas, saya yakin Revolusi Industri 5.0 akan membawa kita ke arah yang lebih baik, mungkin sesuatu yang bahkan kita sendiri belum terbayang seperti apa. Sebab sebuah revolusi baru bisa sah disebut revolusi ketika satu generasi mampu menjadi lebih baik daripada generasi sebelumnya. Revolusi Industri 5.0, betapa pun itu menantang imajinasi kita, adalah sebuah revolusi yang sangat layak diperjuangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun