Mohon tunggu...
Icha Sanista
Icha Sanista Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya merupakan mahasiswi semester 3, Prodi S1 Keperawatan dari Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemimpin Muda yang Berintelek Menghadapi Tantangan Zaman di Era 5.0

20 Juli 2023   13:45 Diperbarui: 20 Juli 2023   13:48 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemimpin Muda yang Berintelek Menghadapi Tantangan Zaman di Era 5.0.

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh, izin memperkenalkan diri nama saya Icha Sanista Agustin dari Prodi S1 Keperawatan angkatan 2022. Disini saya akan menyampaikan sebuah pendapat saya dalam bentuk Essay dengan tema "Pemimpin Muda yang Berintelek Menghadapi Tantangan Zaman di Era 5.0.". Semua makhluk yang hidup pasti mati. Kalau tidak sekarang berarti besok, kalau bukan besok berarti lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau sekian tahun lagi, yang pasti kematian akan tiba pada makhluk yang bernyawa. Itu adalah salah satu penemuan terbaik manusia tentang dirinya sendiri, kata Steve Jobs, dalam salah satu ceramahnya di Stanford University tanggal 12 Juni 2005.

Saya sepakat dan ingin menambahkan, dalam hal teknologi, penemuan terbaik manusia adalah internet. Berkat internet kehidupan kita bisa berkembang sejauh sekarang. Ada begitu banyak manfaat internet, salah satu yang paling jelas namun sering diabaikan adalah bagaimana akses informasi menjadi mudah dan murah. Orang-orang zaman sekarang tidak perlu memesan tiket pesawat dan mengeluarkan banyak uang untuk melihat 7 Keajaiban Dunia secara lebih nyata. Cukup buka aplikasi Google Earth, 7 Keajaiban Dunia ada di depan mata, di dalam genggaman tangan kita. Tetapi betapa pun internet sangat hebat, seperti kita ketahui bersama, saat ini masih ada banyak industri yang baru beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0. Dan sementara masih banyak yang beradaptasi, wacana tentang Revolusi Industri 5.0 sudah mulai marak berjalan, dan menurut saya hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperbincangkan.

Apa sih, sebenarnya Revolusi Industri 5.0 itu? Secara singkat, ini adalah konsep yang mengacu pada digitalisasi dan otomatisasi dalam industri dan sektor produksi. Revolusi Industri 5.0 berfokus pada Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), teknologi robot, serta inovasi-inovasi baru yang dapat mendorong perkembangan sistem produksi yang lebih efisien, fleksibel, berkelanjutan, dan tentunya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semua ini bertujuan untuk menciptakan sistem produksi yang lebih adaptif terhadap permintaan pasar, mengutamakan pengalaman pelanggan, dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang terbatas. Tentu saja, sebagaimana hal-hal baru lainnya, gagasan Revolusi Industri 5.0 juga datang dengan segudang perdebatan. Namun menurut pandangan saya, sebagian besar kecemasan yang timbul di masyarakat hanyalah ketakutan dari ketidaktahuan. Untuk itu saya akan mencoba menjelaskan sikap yang harus kita ambil dalam menghadapi Revolusi Industri 5.0, khususnya dalam menyikapi teknologi AI.

Kecemasan yang Timbul dari Ketidaktahuan

Salah satu kecemasan yang terdengar nyaring di masyarakat adalah wacana teknologi yang terlalu maju akan membahayakan manusia. Seperti berita hoaks tentang Chip-Vaksin yang ditanam ke dalam tubuh untuk memata-matai korban Covid-19. Ketakutan semacam itu mungkin valid, tetapi pandangan tersebut seperti melihat seseorang membunuh dengan pisau dan menyalahkan pisaunya. Alat hanya alat. Perkakas. Baik buruknya sebuah teknologi kembali lagi pada bagaimana kita menggunakannya. Dalam kasus AI, kekhawatiran yang cukup sering kita dengar adalah gagasan AI akan menggantikan manusia. Orang-orang, terutama yang bergerak di bidang seni, seperti penulis, pelukis, dan desainer grafis, takut kehilangan lapangan pekerjaan. Nuansanya sangat horor serupa yang digambarkan film-film distopia. Akankah kita kehilangan pekerjaan karena munculnya AI? Jawaban pendeknya, menurut saya, tidak.

Saya akui teknologi AI memang hebat. Ambil contoh Chat-GPT, mesin AI yang sedang naik daun hari-hari ini. Ia mampu menulis puisi, esai, cerita pendek, bermain tebak-tebakan, dan yang paling ekstrem, menulis kode untuk membuat situs web. Dilihat dari beberapa ulasan yang dibagikan orang-orang di internet, hasilnya pun lumayan. Chat-GPT mampu menulis kode untuk situs web tingkat dasar dalam waktu sekitar lima menit, yang barangkali jika ditulis manual membutuhkan waktu antara satu hingga dua jam. Nah, apa yang sekarang harus kita ketahui adalah bagaimana cara kerjanya. Bagaimana cara kerja Chat-GPT? Ia memanfaatkan Big Data dari sejumlah sumber, yang kemudian diolah, dipadukan, sampai mendapatkan hasil yang optimal. Setiap kali Chat-GPT menghasilkan keluaran yang dianggap belum memadai, pengguna bisa memintanya untuk mengulang proses. Perulangan inilah yang menjadi "sistem belajar" sebuah AI. Yang artinya, sepintar-pintarnya Chat-GPT, ia tetap membutuhkan bantuan manusia.

Lebih lanjut, yang juga harus kita garis bawahi, Chat-GPT hanya mampu menghasilkan keluaran, tanpa punya kapasitas memvalidasi. Memang, ia bisa menulis kode untuk situs web tingkat dasar. Tetapi apakah kinerja kodenya optimal untuk kasus penggunaan dunia nyata? Apakah kodenya tahan lama? Bagaimana jika ada celah kerentanan dalam kode yang dihasilkan? Pekerjaan-pekerjaan rumit ini, tentu saja, tetap membutuhkan keterampilan manusia, keterampilan seorang pemrogram. Jadi dari kaca mata saya, alih-alih AI akan menggantikan manusia, ia sebenarnya akan membantu manusia. AI akan berguna untuk mengerjakan tugas-tugas berulang tingkat dasar, seperti membuat template awal, dan sisanya tetap harus dipoles oleh seorang pemrogram yang terampil. Kita tidak akan kehilangan pekerjaan. Sebaliknya, AI berpotensi membantu kita menghemat waktu dan biaya operasional.

Kita, sebagai generasi yang akan memasuki Revolusi Industri 5.0, harus mampu berjalan beriringan dengan perkembangan zaman. Kita harus sanggup melihat peluang dan memanfaatkan potensi teknologi. Karena perubahan zaman bisa terasa secepat kilat jika kita tidak sigap, sehingga membuat kita merasa ketinggalan jauh. Ambil contoh mobil berteknologi AI yang bisa berkendara sendiri. Siapa yang dua puluh tahun lalu terpikirkan hal ini akan menjadi kenyataan? Dua puluh tahun silam, ide mobil yang bergerak sendiri mungkin hanya sebatas gurauan tongkrongan, ide yang ditertawakan para pebisnis. Tapi nyatanya, saat ini, mobil berteknologi AI sudah mulai jamak beredar di negara-negara bagian Barat, menjadi salah satu terobosan yang diidam-idamkan banyak orang.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Di sisi seberang, di kubu para pendukung AI, ada sebuah seruan yang terdengar cukup gahar. "Anda harus belajar AI sekarang". Saya pikir tidak harus begitu. AI masih menjadi hal baru yang sangat jauh dari kata matang. Memang benar ia sudah sanggup melakukan berbagai tugas-tugas canggih, tetapi ini masih dalam tahap uji coba. Kita bisa mempelajari AI nanti.

Sebaliknya, apa yang menurut saya lebih penting untuk saat ini adalah membekali diri kita. Dalam arti, sembari menunggu matangnya AI, kita bisa mengasah keterampilan di bidang-bidang yang kita tekuni, agar kelak ketika AI sudah siap menjadi pendamping kerja kita, kapabilitas kita pun sudah mumpuni. Jangan sampai kita malah bermalas-malasan karena berpikir semuanya akan dikerjakan oleh mesin. Sebagai contoh, jika saya seorang jurnalis, saya akan tetap rajin membaca buku-buku bermutu untuk memperluas pandangan, wawasan, dan memperkaya gaya tulisan. Jika kelak AI sudah siap mendampingi saya,  saya akan memanfaatkannya untuk tugas-tugas berulang sederhana seperti membuat templat selebaran dan semacamnya, sambil tetap melakukan sisanya secara manual.

Kenapa? Jawabannya mudah saja. Karena meskipun Chat-GPT mampu mengalahkan saya dalam hal stok informasi dan kecepatan menulis, ia tidak akan bisa menulis berita isu terkini karena tidak diprogram untuk itu, dan ia hanya punya informasi sampai akhir 2021. Lebih penting, Chat-GPT juga tidak mampu memberi pandangan tentang seorang sosok, seperti misalnya menjelaskan ekspresi gubernur dalam sesi wawancara, sesuatu yang selama ini menjadi makanan seorang jurnalis. Ya, memang bisa saja kita mengajari Chat-GPT untuk menulis berita, atau mencoba memaksanya menyajikan kabar terkini, tapi itu tidak akan banyak membantu karena bagaimanapun Chat-GPT tidak punya kemampuan memverifikasi informasi. Bukankah validasi itu bagian dari tugas seorang jurnalis? Jika saya bermalas-malasan karena berpikir tugas ini bisa diserahkan pada AI, atau saya jadi murung karena khawatir pekerjaan saya direbut AI, bagaimana bentuk informasi yang akan kita terima nanti?

Itulah yang akan membawa kita pada narasi "AI akan menggantikan manusia". Bukan karena AI itu cerdas, tetapi karena kita malas. Maka dari itu, kita harus membekali diri kita dengan pengetahuan dan keterampilan yang cakap. Teknologi tidak akan memakan lowongan pekerjaan kita. Para pekerja, pelaku seni, dan industri, justru akan terbantu oleh Revolusi Industri 5.0. Dengan catatan, kita sebagai manusia harus siap dan mampu memanfaatkannya. Tetapi, apa sih, hal-hal yang bisa kita lakukan untuk mencapai itu? Dalam hemat saya, salah satu aspek yang paling penting adalah menumbuhkan sikap kritis dan skeptis. Jangan hanya karena AI itu sebuah program yang memiliki tingkat akurasi tinggi, kita jadi berpikir hasil pekerjaannya tidak mungkin salah. Seperti yang sempat saya singgung di bagian sebelumnya, kita harus tetap awas dan teliti, terutama dalam hal validasi dan verifikasi, karena itu adalah ranahnya manusia. Seperti, memang, grup WhatsApp dan media sosial membantu kita mendapatkan informasi lebih cepat, tetapi seberapa sering kita memfilter dan melakukan pengecekan ulang atas kebenaran informasi yang kita dapatkan? Seberapa sering kita terlalu terburu-buru menyebarkan ulang suatu informasi hanya karena kita yakin sumbernya benar? Sikap kritis inilah yang harus lebih diasah dalam menyambut Revolusi Industri 5.0.

Pada tingkat yang lebih jauh, kita juga harus selalu ingat terhadap "siapa memiliki kuasa sebesar apa dan menggunakannya untuk apa". Dari sudut AI versus pengguna, kita memiliki kontrol sepenuhnya. Kendali ada pada kita. Bagaimana AI akan membawa manfaat atau justru kerugian adalah kembali lagi kepada bagaimana kita menggunakannya. Contoh paling dekatnya adalah timbul rasa malas karena apa-apa sudah menjadi otomatis. Hal ini sangat bisa terjadi jika kita mulai melupakan fungsi utama teknologi. Menurut saya pribadi, hal terbaik yang bisa dilakukan mesin adalah mengerjakan tugas-tugas berulang yang membosankan. Membuat templat, mendesain poster sederhana, merancang kode untuk mockup. Sebatas itu. Bagian kreativitas tetap dilakukan secara manual untuk meningkatkan neuroplatisitas serta menjaga sisi humanisme diri kita.

Terakhir, siapa "kita" yang saya maksud di sepanjang tulisan ini? Tentu saja masyarakat umum secara luas, tetapi khususnya para mahasiswa, calon-calon pemimpin generasi berikutnya. Saya memiliki harapan yang sangat besar kepada para calon pemimpin generasi berikutnya. Jika kita mampu menjadi pemimpin yang intelek dan berkualitas, saya yakin Revolusi Industri 5.0 akan membawa kita ke arah yang lebih baik, mungkin sesuatu yang bahkan kita sendiri belum terbayang seperti apa. Sebab sebuah revolusi baru bisa sah disebut revolusi ketika satu generasi mampu menjadi lebih baik daripada generasi sebelumnya. Revolusi Industri 5.0, betapa pun itu menantang imajinasi kita, adalah sebuah revolusi yang sangat layak diperjuangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun