Mohon tunggu...
Ichan Lagur
Ichan Lagur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Asli

#YNWA. Felixianus Usdialan Lagur. Black Boy; suka kopi dan gitar. Cp: Lagurirsan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Corona dan Fenomena Bahasa Media

21 April 2020   15:16 Diperbarui: 21 April 2020   15:15 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Akhir-akhir ini kita sedang berada dalam situasi yang mencemaskan. Betapa tidak, kehadiran virus corona mengancam dan mengintai kehidupan kita. Keberadaan virus yang kini telah menyebar ke berbagai penjuru dunia ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. 

Dalam dunia pendidikan misalnya, kampus-kampus dan sekolah-sekolah perkotaan tidak melakukan kegiatan tatap muka secara langsung. Mereka melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan media dan aplikasi penunjang. 

Sementara sekolah-sekolah di pedesaan terpaksa hanya diberi tugas, bahkan terpaksa diliburkan total karena sarana prasarana penunjang, situasi, dan kondisi yang tidak sesuai dengan slogan #belajardarirumah yang dicanangkan pemerintah. Dalam kehidupan beragama, terjadi perubahan yang besar. 

Kegiatan ibadah di rumah ibadah tidak lagi dilakukan. Saya tidak tahu dalam agama lain, tetapi dalam agama katolik, misa kini dilakukan secara online. Konteks ekonomi pun demikian, terjadi perubahan dan pergeseran pola-pola ekonomi dalam masyarakat baik menyangkut pola konsumsi maupun menyangkut cara pemenuhan kebutuhannya. Begitu pun halnya dengan aspek-aspek kehidupan yang lain.

Media dan Fenomena Bahasa Media

Di tengah kondisi penyebaran virus yang kian mencekam, media massa memegang peranan penting. Dikatakan demikian sebab keberadaan media massa menjadi semacam jembatan penghubung  antara segala hal tentang corona dengan masyarakat. 

Karena itu, persepsi masyarakat tentang virus corona sangat dipengaruhi oleh cara media memberitakan virus ini. Pemahaman yang baik ataupun penyimpangan informasi yang terjadi di tengah masyarakat sangat bergantung pada cara media menyampaiakan informasinya, sangat bergantung pada bagaimana cara media berbahasa di ruang publik.

Berbicara mengenai bahasa media, sejauh pengamatan saya, saya melihat ada dua fenomena menarik yang selama ini terjadi pada media massa kita. Pertama, banjirnya istilah-istilah asing dalam pemberitaan. 

Dalam pemberitaan, wawancara dengan para pakar, maupun dalam berbagai kampanye dan himbauan, kita mendapatkan banyak istilah asing semisal lockdown, hand sanitizer, disinfactant,social distancing, physical distancing, suspect, rapid test,#stayathome, dan lain sebagainya. 

Bagi sebagian orang mungkin ini istilah yang biasa-biasa saja dan tidak ada masalah. Namun, bagi sebagian besar masyarakat, saya kira deretan istilah ini merupakan deretan istilah yang sama sekali tidak dipahami. Imbasnya, esensi pesan-pesan yang disampaikan pemerintah dan pihak terkait menjadi tidak tersampaikan.

Saya kira sebagai jembatan informasi, media massa semestinya menyederhanakannya dengan menggunakan padanan kata atau padanan istilah yang mudah dipahami oleh masyarakat. Bukankah inti dari kegiatan komunikasi ialah soal bagaimana pesan yang disampaikan komunikator dapat diterima dengan baik oleh komunikan? 

Saya kira keberadaan istilah-istilah ini pada banyak golongan masyarakat (untuk tidak menyebut mayoritas masyarakat) bisa menyebabkan suatu miskomunikasi. Istilah-istilah di atas kan bisa dipadankan dalam bahasa Indonesia yang lebih mudah dipahami oleh berbagai golongan masyarakat. 

Beberapa padanan bahasa Indonesia yang dapat media massa gunakan dalam menyampaikan informasi semisal: Lockdown dapat dipadankan dengan istilah solotif (disendirikan, dipisahkan) , hand sanitizer dipadankan dengan istilah cairan atau larutan pembersih tangan, disinfectant dipadankan dengan istilah anti-infeksi, social distancing dipadankan dengan istilah menjaga jarak,dan lain sebagainya. 

Contoh salah satu artikel yang baik yang dapat dijadikan sebagai rujukan proses pemadanan istilah ini dapat kita baca di FloresPos.id pada tanggal 2 April 2020 dengan judul Wabah Corona dan Persoalan Diksi. Artikel ditulis oleh Ketua Prodi PBSI UNIKA Santu Paulus Ruteng, Bonefasius Rampung.

Kedua, kekurangtepatan penggunaan diksi mudik. Diksi ini dipakai oleh banyak pejabat publik, dipakai oleh banyak media, dan tentu saja dipakai juga oleh publik. 

Diksi ini kelihatannya sederhana, tidak penting, dan sepele, tetapi sebetulnya dapat memberikan pengaruh yang sangat besar. Bagi saya, dalam konteks wabah corona, diksi mudik ini bukanlah pilihan diksi yang tepat, karena itu media massa mesti jeli memilah dan memilih bahasa. 

Pemilihan bahasa yang salah --yang dianggap sederhana, tidak penting, dan sepele- dapat memberikan pengaruh yang sangat besar pada persepsi masyarakat. 

Pada banyak media massa, kita mengetahui informasi mengenai ada begitu banyak orang yang harus pulang ke kampung halamannya akibat wabah virus corona. Beberapa perusahan dan tempat kerja mereka ditutup, hal ini berimbas pada pendapatan para pekerja.

Banyak buruh-buruh perusahaan yang memilih untuk pulang ke kampung halamannya karena persoalan ekonomi; mereka tidak memiliki uang yang cukup dan tidak memiliki persediaan bahan makanan untuk batas waktu yang tidak menentu.Oleh banyak media, proses pemulangan para karyawan dan buruh ini dianggap sebagai kegiatan mudik. 

Mudik dalam KBBI didefinisikan sebagai: (1) "(berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman)", (2) "pulang ke kampung halaman". Mudik dalam konteks ini dipahami sebagai suatu kegiatan perantau pekerja untuk kembali ke kampung halaman. 

Barangkali diksi ini kelihatan sederhana dan sepele, tetapi saya kira diksi sederhana ini dapat mempengaruhi bagaimana cara masyarakat memandang objek dalam berita sekaligus mempengaruhi bagaimana cara masyarakat mengambil sikap.

Disadari atau tidak, pada golongan masyarakat umum pemilihan diksi mudik dapat  memberikan kesan seolah-olah kelompok masyarakat yang pulang ke kampung halamannya hanya untuk sekadar menghabiskan waktu liburan, atau hanya untuk sekadar menunggu perusahaan kembali beroperasi.

Dalam konteks pulang kampung akibat corona, orang-orang yang memilih untuk pulang kampung harus dipandang sebagai korban. Penting bagi kita untuk menempatan terminologi korban tidak hanya bagi pasien atau orang yang meninggal, tetapi juga bagi semua pihak yang mendapatkan imbas dari wabah besar ini. 

Orang-orag yang pulang kampung juga merupakan korban dari sebuah wabah besar. Mereka pulang bukan dalam konteks pemahaman mudik yang selama ini kita pahami, tetapi dalam konteks upaya untuk dapat menyambung nyawa dan agar dapat tetap bertahan hidup. 

Karena itu, istilah yang tepat dalam konteks ini ialah mengungsi. "Ungsi", "mengungsi" dalam KBBI dikategorikan sebagai kata kerja dan memiliki arti "pergi menghindarkan (menyingkirkan) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang dirasa aman)". 

Corona adalah wabah yang membahayakan dan terbukti telah memberikan dampaknya baik secara langsung maupun secara tidak langsung kepada masyarakat, karena itu orang-orang yang memilih pulang kampung merupakan korban yang sedang berusaha untuk menyelamatkan diri dari wabah yang sedang melanda (dalam konteks ini rumah dan kampung halaman adalah tempat yang dirasa aman karena memberikan perasaan aman baik secara psikis maupun secara ekonomi).

Pemilihan istilah ini memang kelihatan sederhana tapi sebetulnya memberikan dampak yang sangat besar terhadap bagaimana cara masyarakat membangun persepsinya, termasuk bagaimana cara memperlakukan para korban. 

Berkaitan dengan ini, salah satu contoh sederhana yang mungkin yang dapat kita ambil ialah kisah dari Sikka, Flores tentang penolakan ZL sekeluarga. ZL adalah pemuda yang baru saja pulang dari Batam. Ia ditolak oleh warga. 

Ia bersama ibu, saudari kandung, dan keponakannya diusir dari kampung halamannya di Paule. Kisah penolakan ini lahir karena pemahaman masyarakat yang lemah tentang virus corona, juga karena berbagai persepsi yang terlanjur terbangun melalui media. 

ZL atau orang-orang yang pulang kampung lainnya dipandang sebagai pemudik, bukan sebagai pengungsi yang terpaksa harus menghijrahkan dirinya demi bertahan hidup. Tentu masih banyak kisah lain yang dapat dengan mudah kita temukan pada berbagai pemberitaan media massa. 

Sampai pada titik ini kita melihat bagaimana penggunaan istilah oleh media mempengaruhi kontruksi pikiran masyarakat juga mempengaruhi bagaimana cara masyarakat menerima para pengungsi yang dicap sebagai pemudik.

Penutup

Wabah corona memang kian meresahkan dan kian mencemaskan. Corona adalah musuh kita bersama. Perlawanan terhadap corona bukan hanya tugas pemerintah atau pun tenaga medis. 

Setiap orang, setiap kita, dapat berkontribusi positif dengan cara masing-masing. Sebagai media, kita pun secara tidak langsung bisa membantu perang melawan virus ini: kita bisa memberikan edukasi kepada masyarakat, membangun narasi-narasi positif yang menumbuhkan optimisme, dan menempatkan diri sebagai penyalur informasi yang baik dan benar kepada masyarakat dengan bahasa yang baik dan benar pula.

Semoga wabah yang melelahkan ini dapat segera berlalu! Kita merindukan senyum dan tawa bumi.

Salam hormat.

*Felixianus Usdialan Lagur; esais dan blogger yang masih belajar, pendukung Liverpool FC, penyuka puisi dan kopi. Tinggal di Ruteng, Flores.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun