Mohon tunggu...
Ichan Lagur
Ichan Lagur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Asli

#YNWA. Felixianus Usdialan Lagur. Black Boy; suka kopi dan gitar. Cp: Lagurirsan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Andai Aku Jadi Menag

3 Agustus 2018   14:27 Diperbarui: 3 Agustus 2018   15:08 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dewasa ini, berbagai ujaran kebencian berbau suku, agama, dan ras berseliweran di media sosial. Kehadiran ujaran kebencian ini telah menyulut api konflik yang memicu perang saudara baik secara horizontal maupun vertikal. Aksi pelarangan ibadah karena perbedaan pilihan politik, aksi persekusi, sweepping, dan lain sebagainya ialah sedikit dari sekian banyak persoalan yang hadir karena pengaruh ujaran kebencian yang dalam banyak konteks telah dikampanyekan melalui media sosial.

Salah satu latar belakang yang menyebabkan lahirnya permusuhan dan perpecahan bangsa kita ialah kehadiran ujaran-ujaran kebencian yang menghiasi dinding media sosial. Kementerian Agama sebagai ujung tombak yang mengatasi berbagai persoalan keagamaan tentu memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat berat dalam mengatasi persoalan ini.

Sebagai garda terdepan, Kemenag memainkan salah satu peran paling vital guna meminimalisir berbagai konflik yang terjadi. Melalui catatan singkat ini, penulis berandai-andai bila penulis menjadi seorang menteri agama. Andaikan penullis menjadi menteri agama, beberapa hal yang akan diambil guna meminimalisir berbagai ujaran kebencian antara lain:

1. Program sertifikasi bagi guru agama

Tentu kita memahami, berbagai ujaran kebencian diproduksi dan diteruskan oleh para pengguna medsos (user) yang memiliki pemahaman dan sikap saling menghargai perbedaan keyakinan yang rendah. Rendahnya perasaan saling menghargai ini didasari oleh pemahaman keagamaannya yang rendah. Rendahnya pemahaman keagamaan ini lahir karena ketidakmampuan memamahi ajaran-ajaran agama, juga karena pengaruh proses penerimaan pengetahuan keagamaan dari sumber informasi (guru, pastur, ustad, pendeta) yang menyimpang. 

Pengetahuan nilai-nilai agama masyarakat Indonesia pada umumnya berawal dari kotbah, renungan, ataupun ceramah para guru agama. Karena itu, pemahaman keagamaan masyarakat sangat ditentukan oleh pemahaman dan pengajaran para guru agama itu sendiri (pastur, ustad, pendeta, dll). Jika guru agamanya baik makanya pemahaman masyarakat akan baik; sebaliknya jika guru agamanya tidak baik maka masyarakatnya juga akan ikutan tidak baik.

Dewasa ini ada begitu banyak konten-konten video penceramah yang dapat dengan mudah kita temukan pada akun media sosial yang memandang rendah keyakinan lain, mengkafirkan pandangan agama lain, dan bahkan mengajak tuk memusnahkan pandangan agama lain. Pemahaman seperti inilah yang bisa memicu konflik dalam masyarakat yang berujung pada rusaknya kebhinekaan. 

Dalam video-video yang beredar, dapat dipastikan bahwa para guru agama tersebut gagal memahami esensi ajaran agama yang pada hakikatnya selalu mengedepankan kebaikan dan nilai-nilai luhur kemanusiaan. 

Video-video ini hanyalah sedikit dari sekian banyak potret para guru agama "error" yang tersebar di wilayah Indonesia. Ada begitu banyak guru agama di luar sana yang pemahaman keagamaannya masih lemah; yang hanya mengandalkan peci, jubah, dan jenggot, kemudian didaulat sebagai guru agama. Tak mengherankan bila pengajarannya cenderung menyimpang dari paham-paham keagamaan dan kebhinekaan. 

Kehadiran guru-guru agama semacam ini merupakan biang permusuhan berbasis agama. Mereka merupakan agen-agen yang menanamkan dalil-dalil perusak dalam masyarakat. 

Masyarakat Indonesia pada umumnya ialah sekelompok orang yang cenderung menerima ajaran dan kotbah-kotbah keagamaan secara penuh tanpa peduli benar-salahnya, tanpa peduli logis-tidaknya, tanpa peduli layak-tidaknya. Imam atau guru agama cenderung dipandang sebagai sumber kebenaran absolut; dan apapun yang diucapkan oleh guru agama diterima sebagai suatu kebenaran.

Dari uraian ini kita melihat bagaimana guru agama memainkan peran penting dalam menentukan pemahaman, pengetahuan, dan mindset masyarakat beragama. Karena itu penulis berpikir, perlu untuk menetapkan standar guru agama yang baik. 

Guru agama yang baik akan memungkinkan lahirnya masyarakat beragama yang baik. Di sinilah peran kemenag. Andai penulis menjadi menteri agama, maka penulis akan menetapkan kebijakan sertifikasi sebagai prasyarat menjadi seorang guru agama. Dalam hal ini, seseorang layak menjadi guru agama (pastur, ustad, pendeta, dll) bila telah melalui semacam uji kelayakan dan sertifikat sebagai bukti valid. 

Uji kelayakan ini bisa mengenai rekam jejak pendidikan maupun analisis tingkat pengetahuan keagamaan, serta penilaian menyeluruh mengenai kapasitas calon guru agama terkait. Dengan kehadiran guru agama yang layak (baik dan benar) ini, maka setiap masyarakat akan memperoleh pemahaman keagamaan yang baik dan benar pula. Hal ini memungkinkan hilangnya pemahaman-pemahaman kelompok radikal yang bertentangan dengan kebhinekaan dan nilai-nilai pancasila. 

Hal ini juga memungkinkan lahirnya masyarakat yang cerdas dan berakhlak secara agama sehingga berbagai ujaran kebencian yang berseliweran di dunia maya dapat direspon secara bijak pula.

2. Pemblokiran dan kampanye damai

Pemblokiran yang penulis maksudkan pada poin ini ialah pemblokiran akun-akun, grup-grup medsos, ataupun website yang mengandung konten ujaran kebencian dan berpotensi memecah belah kebhinekaan. Kegiatan ini tentu kegiatan yang tidak mudah mengingat perkembangan akun dan website yang dapat dibuat dalam hitungan menit. 

Agar program ini dapat berjalan dengan baik, tentu perlu kerjasama yang baik dengan pihak Kominfo selaku ujung tombak urusan komunikasi. Selain itu, hal yang dapat dibuat ialah kampanye damai. Salah satu amunisi dalam perang melawan ujaran kebencian ialah kampanye damai. Kampanye damai dapat berupa slogan-slogan ataupun video-video yang mampu mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. 

Kampanye damai ini pun dapat dilakukan melalui iklan-iklan TV, radio, atau media massa lainnya. Kampanye damai juga ditekankan melalui pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah melalui kegiatan pembelajaran berbasis karakter. Dengan karakter yang baik, toleransi dan kebhinekaan akan diperkuat.

3. Perluas kegiatan lintas agama

Berbagai kegiatan lintas agama semisal diskusi, seminar, perkemahan, dan lain sebagainya merupakan kegiatan yang sangat baik dan mampu memperkuat tali silahturahmi antarpemeluk agama. 

Melalui kegiatan-kegiatan semacam ini, kita bisa belajar menerima perbedaan dan menghargai satu sama lain. Dengan kegiatan-kegiatan semacam ini, pemahaman keagamaan kita akan baik sehingga kita makin bisa menerima dan menghargai satu sama lain serta mampu menanggapai berbagai hoax dan ujaran kebencian secara matang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun