Tentu kita tidak asing dengan persoalan tilang-menilang. Persoalan ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak mengenakan helm, tidak memiliki SIM, tidak memiliki kelengkapan kendaraan, lawan jalur dan lain sebagainya. Dari sekian banyak masyarakat yang ditilang, beberapa dari antaranya terkadang lebih memilih proses yang mereka sebut sebagai jalur damai/tilang damai. Di saat-saat tilang, barangkali Anda tidak asing lagi dengan ungkapan "damai aja bos", "keluarga aja bos", atau apalah ungkapan/istilah yang dipakai di wilayah pembaca. Yang pasti ungkapan-ungkapan semacam sudah menjadi rahasia umum para pengendara; dan jalur damai ini cenderung ditempuh karena dianggap sebagai sebuah jalur yang mendamaikan.
Istilah atau penamaan jalur damai, tentu melahirkan pertanyaan baru bagi kita: entah siapa yang menelurkan ungkapan ini? Entah seperti apa sejarah dan proses kelahiran ungkapan ini? Lalu, dari sekian banyak pertanyaan itu, saya kira pertanyaan yang paling menyedihkan ialah, apakah penamaan ini menjadi semacam sebuah implikatur yang menegaskan bahwa mengikuti prosedur pertilangan sesuai dengan mekanisme yang berlaku bukanlah sebuah jalur yang damai dan mendamaikan? Â Terkait pertanyaan terakhir, saya mencoba memberikan sedikit uraian singkat yang kiranya dapat menjadi jawaban sekaligus solusi sederhana dalam dunia pertilangan.
. . .
Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, perkenankanlah saya untuk membagikan sedikit pengalaman saya terkait proses tilang-menilang yang saya alami. Setelah sebulan mengikuti serangkaian proses pertilangan sesuai mekanisme yang berlaku, saya mendapati sebuah simpulan yakni mekanisme dan birokrasi dalam dunia pertilangan di Indonesia terlalu berbelit-belit, untuk tidak menyebutnya menyebalkan.Â
Dari pengalaman yang saya alami, selama beberapa hari kita mesti bolak-balik Kantor Polisi -- Bank -- Kantor Polisi - Pengadilan Negeri-- Kejaksaan -- Bank, dengan segala tetek bengek dan langkah-langkahnya yang lumayan rumit dan memakan waktu. Ketika kita mengikuti mekanisme pertilangan yang baik dan benar, saya melihat kita "mesti" mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga ekstra untuk mengikuti tahapan demi tahapannya yang panjang.
Tekait dana, besaran dana yang distor ke bank bervariasi. Penyetorannya bisa 250 ribu, 500 ribu, 1 juta, 2 juta bahkan bisa lebih. Besaran denda yang harus diserahkan ke bank ini, bergantung pada jenis pelanggaran yang dibuat. Semuanya itu sudah diatur dalam undang-undang. Uang ini nantinya akan dikembalikan, tergantung besaran denda sesuai putusan pengadilan. Dalam hal ini, pengadilan-lah yang berhak menentukan jumlah denda yang harus kita bayar. Besar kemungkinan jumlah uang yang kita serahkan ke bank akan dikembalikan.
Beberapa waktu lalu saya dan beberapa teman ditilang karena tidak memiliki kaca spion. Kami yang tidak memiliki kaca spion harus membayar 250 ribu ke bank. Salah seorang kenalan saya juga harus membayar 1 juta hanya karena lupa membawa dokumen kendaraan (STNK). Pada saat itu saya berpikir, bukankah lebih bijak jika kami disuruh membeli spion lalu memasangnya di depan mata pak polisi?Â
Bukankah lebih mulia bila kenalan saya yang lupa membawa STNK itu disuruh pulang untuk mengambil STNK-nya yang ketinggalan? Itu menurut saya. Tapi, yah sudahlah. . Saya percaya ini dibuat untuk memberikan efek jera bagi kami, sekaligus menjadi bahan pelajaran yang berharga untuk kita semua.
Kembali ke persoalan biaya, satu bulan setelah penilangan dan pembayaran denda ke bank, putusan pengadilan mewajibkan kami untuk membayar denda 100 ribu. Dengan demikian kami bisa mengambil kembali uang yang tersisa sebesar 150 ribu. Saya kurang ingat, teman saya yang lupa membawa STNK didendai berapa. Yang pasti ia juga bisa mengambil kembalian dari sisa uang denda yang telah diserahkan ke bank. Tentu saja kami bersyukur, segala sesuatu berjalan dengan amant baik dan transparan.Â
Persoalannya, mengambil uang sisa ini bukanlah sebuah perkara mudah. Untuk ke sekian kalinya kita harus kembali menghabiskan banyak waktu di tempat antrian, terkandang harus bolak-balik sana-sini karena ketidaktahuan dan kekurangan informasi terkait mekanisme dan tahapan-tahapan yang harus dilewati. Jadi setelah mendengar putusan pengadilan, kami diarahkan ke kejaksaan, dari kejaksaan kami akan mendapatkan surat pengantar ke bank, dari bank kami harus ke kios karena kami harus menyiapkan sendiri meterai 6000 rupiah.
Tak jarang antrian panjang dan perjalanan bolak-balik ini membuat kami malas. Terkait perjalanan bolak-balik ini, untunglah saya punya motor. Kalau harus bolak-balik dari satu instansi ke instansi lain dengan naik ojek atau angkot: MATI SAYA! Di situ saya menyadari pengeluaran saya sudah bertambah besar mengingat biaya akomodasi dan persoalan teknis lain semisal foto kopi, meterai, rokok dan kopi di warung, atau apalah hal-hal remeh lainnya.Â
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila prosedur ini diikuti oleh orang-orang dari luar kota yang harus mengelurkan biaya tambahan untuk konsumsi dan akomodasi. Orang Manggarai, NTT dari wilayah Manggarai Timur misalnya; mereka harus menempuh perjalanan jauh dengan medan yang menjengkelkan lalu harus menginap di rumah sanak saudaranya selama satu atau dua hari untuk mengurusi persoalan tilang ini. Dibandingkan dengan saya yang berdomisili di dalam kota, tentu biaya dan waktu yang mereka keluarkan lebih besar.
Terkait persoalan waktu, seperti yang telah disinggung proses pengurusan dari satu instansi ke instansi lain tak kala menyebalkan. Yah, kita tentu memahami, karena melayani orang banyak, kita harus patuh pada budaya antri (panjang). Setelah antri di kantor polisi, kita harus antri di bank, lalu harus antri di kejaksaan.Â
Karena instanstinya yang banyak dan antriannya yang panjang-panjang, maka untuk mengurus proses tilang yang baik dan benar, kita membutuhkan waktu yang tak sedikit. Terkadang bisa sampai 2 atau 3 hari; otomatis, beberapa kegiatan kita harus digeser atau bahkan terpaksa harus ditunda. Bayangkan jika hal ini menimpa ojek atau supir angkot, entah berapa banyak penumpang dan rejeki yang sudah berlalu dengan percuma hanya karena persoalan kotak-kotak instansi? Itu sedikit curhatan saya setelah mengikuti langkah-langkah pertilangan yang baik dan benar sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku.
. . .
Nah, di sisi lain, jika mengikuti jalur yang mereka sebut sebagai jalur damai, dengan modal 50 ribu atau 100 ribu kita sudah bisa membawa pulang kendaraan dengan aman, nyaman, santai dan cepat tanpa harus antri panjang dan bolak-balik sana-sini. Besaran uang yang diberi sebagai pelicin jalur damai bervariasi, tergantung bagaimana kelihaian Anda dalam melobi, memasang wajah memelas dan mengatur nada suara sendu.
Sewaktu SMA, sebelum memiliki SIM, saya pernah 2 kali ditilang. Seingat saya, saya membayar 50 ribu untuk tilang yang pertama, lalu membayar  dengan sebuah kipas angin laptop seharga 90 ribu untuk tilang kedua. Saya tahu itu salah, tetapi saya sungguh amat percaya jalur damai lebih efisien. Pada kasus tilang yang ketiga, saya sengaja mengikuti tahapan-tahapan yang berlaku karena saya percaya itu langkah yang baik sekaligus untuk mendapatkan perbandingan antara jalur damai dan jalur yang katanya tidak damai.
Setelah mengikutinya, jujur saya agak malas dengan langkah-langkah dan mekanisme pengurusan tilang yang baik dan benar. Prosesnya terlalu lama dan berbelit-belit; biaya, waktu dan tenaga yang dikeluarkan pun lebih besar. Dari kedua pengalaman itu saya menilai jalur yang mereka sebut sebagai jalur damai (memang) sebuah proses dan cara yang lebih mendamaikan hati. Â
Setelah mencermati fenomena ini, barangkali kita pun pelan-pelan mulai bisa memahami alasan penamaan jalur damai dan jalur tidak damai. Memang, mungkin sedari awal proses dan mekanisme yang berbelit-belit dan panjang ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi setiap pelaku pelanggaran, tetapi ayolah bukankah setiap kita lebih menyukai sesuatu yang sederhana?Â
Sampai pada bagian ini, saya berpikir ada baiknya mekanisme tilang-menilang ini disederhanakan, atau akan lebih banyak dari kita yang memilih mengikuti jalur damai. Bukankah setiap kita mencintai kedamaian dengan cara yang sederhana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H