Mohon tunggu...
Ichan Lagur
Ichan Lagur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Asli

#YNWA. Felixianus Usdialan Lagur. Black Boy; suka kopi dan gitar. Cp: Lagurirsan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalur Damai

9 Februari 2018   19:29 Diperbarui: 9 Februari 2018   19:34 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena instanstinya yang banyak dan antriannya yang panjang-panjang, maka untuk mengurus proses tilang yang baik dan benar, kita membutuhkan waktu yang tak sedikit. Terkadang bisa sampai 2 atau 3 hari; otomatis, beberapa kegiatan kita harus digeser atau bahkan terpaksa harus ditunda. Bayangkan jika hal ini menimpa ojek atau supir angkot, entah berapa banyak penumpang dan rejeki yang sudah berlalu dengan percuma hanya karena persoalan kotak-kotak instansi? Itu sedikit curhatan saya setelah mengikuti langkah-langkah pertilangan yang baik dan benar sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku.
. . .
Nah, di sisi lain, jika mengikuti jalur yang mereka sebut sebagai jalur damai, dengan modal 50 ribu atau 100 ribu kita sudah bisa membawa pulang kendaraan dengan aman, nyaman, santai dan cepat tanpa harus antri panjang dan bolak-balik sana-sini. Besaran uang yang diberi sebagai pelicin jalur damai bervariasi, tergantung bagaimana kelihaian Anda dalam melobi, memasang wajah memelas dan mengatur nada suara sendu.

Sewaktu SMA, sebelum memiliki SIM, saya pernah 2 kali ditilang. Seingat saya, saya membayar 50 ribu untuk tilang yang pertama, lalu membayar  dengan sebuah kipas angin laptop seharga 90 ribu untuk tilang kedua. Saya tahu itu salah, tetapi saya sungguh amat percaya jalur damai lebih efisien. Pada kasus tilang yang ketiga, saya sengaja mengikuti tahapan-tahapan yang berlaku karena saya percaya itu langkah yang baik sekaligus untuk mendapatkan perbandingan antara jalur damai dan jalur yang katanya tidak damai.

Setelah mengikutinya, jujur saya agak malas dengan langkah-langkah dan mekanisme pengurusan tilang yang baik dan benar. Prosesnya terlalu lama dan berbelit-belit; biaya, waktu dan tenaga yang dikeluarkan pun lebih besar. Dari kedua pengalaman itu saya menilai jalur yang mereka sebut sebagai jalur damai (memang) sebuah proses dan cara yang lebih mendamaikan hati.  

Setelah mencermati fenomena ini, barangkali kita pun pelan-pelan mulai bisa memahami alasan penamaan jalur damai dan jalur tidak damai. Memang, mungkin sedari awal proses dan mekanisme yang berbelit-belit dan panjang ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi setiap pelaku pelanggaran, tetapi ayolah bukankah setiap kita lebih menyukai sesuatu yang sederhana? 

Sampai pada bagian ini, saya berpikir ada baiknya mekanisme tilang-menilang ini disederhanakan, atau akan lebih banyak dari kita yang memilih mengikuti jalur damai. Bukankah setiap kita mencintai kedamaian dengan cara yang sederhana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun