Suara gaduh yang dihasilkan oleh benturan sendok dengan piringku sudah tak terdengar lagi. Piring ini kutaruh dengan rapi ke tempatnya kembali sesaat setelah piring itu bersih. Ayah dan ibuku yang masih menyantap makanannya hanya menyuruhku untuk beristirahat. Aku menolaknya dengan alasan tidak boleh tidur setelah makan. Namun, mereka malah terkikik dan menjelaskanku bahwa beristirahat itu bukan hanya tidur. Walau begitu, tak lama kemudian, aku beranjak ke kamarku.
Aku bersandar di ujung kasurku. Kulihat foto-foto yang menempel di dinding. Ada banyak sekali foto. Foto favoritku adalah foto seminggu lalu, saat aku genap berumur tujuh belas tahun. Di foto itu, aku sedang memakai kebaya merah panjang dengan rambut dihias sedemikian rupa hingga menyerupai Kartini, juga dengan tanganku yang memegang erat kue dengan lilin angka tujuh belas di atasnya. Selain foto tersebut, ada juga foto keluarga yang terdiri dari aku, ayahku, dan ibuku, yang mana kami semua bersama-sama memegang kue tersebut. Mataku beralih ke sisi lain dinding. Di sana ada fotoku yang sedang duduk di tepi sungai bersama dengan sahabat-sahabatku, Amel dan Theo. Di tepi sungai itulah kami selalu berkumpul dan mengadakan piknik kecil-kecilan. Amel merupakan keturunan Suku Sunda. Ia sangat lancar berbahasa Sunda. Sementara Theo merupakan keturunan Tionghoa yang besar di lingkungan Suku Jawa. Ia terkadang berbicara dengan bahasa Jawa meskipun tidak selancar orang asli Suku Jawa. Kedua orang ini sudah lama kenal denganku.
Kurebahkan tubuh ini ke kasur yang telah kududuki sejak tadi. Kupejamkan mata ini, menikmati damainya malam hari yang sejuk dengan anginnya yang tak dapat menembus jendela kamarku karena tertutup rapat. Sekilas, aku mendengar suara krasak-krusuk dari seprai kasurku. Tapi tunggu, kakiku, tanganku, dan semua anggota tubuhku telah pada posisinya masing-masing. Tak ada yang bergerak satu pun, kecuali organ-organ yang berfungsi sebagaimana mestinya. Kubuka mataku untuk melihat keadaan di sekitarku.
'DUG'
Hatiku terenyak sesaat setelah mataku terbuka. Di pojok kasurku telah ada seorang anak kecil duduk membelakangiku. Entah siapa anak itu, aku tak pernah memiliki seorang adik ataupun kakak. Dari rambut panjangnya aku dapat menebak bahwa anak itu seorang perempuan. Refleks aku bangun dari posisi rebahanku, menatap takut ke arah anak kecil yang kelihatannya berumur enam tahun. Perlahan, aku memundurkan diriku untuk menjauh dari anak kecil tersebut.
Aku melirik jam dinding kamarku. Waktu menunjukkan pukul 02.00 pagi. Aku menggeleng, tak mengerti. Baru saja aku selesai makan malam bersama kedua orang tuaku, lalu aku memasuki kamarku, terpejam selama beberapa detik, dan saat membuka mata tiba-tiba waktu menunjukkan pukul dua pagi. Ini sungguh mustahil. Dengan rasa panik yang mulai menjalari tubuhku, kupaksakan tangan ini mencari ponsel hanya untuk memastikan waktu saat ini. Sayangnya, aku lupa tempat menyimpan ponselku. Kuraba seprai kasur, barangkali ponselku ada di sana, ternyata nihil. Aku bingung sekaligus takut.
“Tak ada yang salah dengan jam dindingmu.” Anak kecil dengan rambut panjang keriting itu tiba-tiba berbicara sambil menoleh ke arahku.
Hatiku kembali mencelos. Seluruh tubuhku bermandikan keringat ketakutan. Tak ada yang aneh dari wajahnya. Ia memiliki wajah yang imut dengan hidungnya yang mancung, berkulit putih, dan mata abu-abu yang menawan. Hanya saja, gerakan menolehnya yang mendadak membuatku sangat terkejut.
“Kenapa kau kaget? Ada yang salah dengan penampilanku?” tanyanya sambil melirik tubuhnya yang bergaun merah panjang. “Aku tidak bermaksud menakutimu.”
Aku memaksakan diriku untuk kembali mundur meskipun antara aku dan dinding kamarku sudah tak ada jarak lagi. Siapa anak kecil ini?
Anak itu mendekat. Ia menjulurkan tangannya. “Perkenalkan namaku Chloe.”
Apa yang dilakukan anak itu? Ia mengajakku berkenalan.
“Aku adalah pemandu dalam mimpimu. Aku akan menemanimu selagi kamu bermimpi. Yang kaubutuhkan saat ini adalah tidur. Maka aku akan menjadi pemandu dalam mimpimu itu.”
Apa yang ia maksud?
“Kau hanya bisa melihatku ketika kau bermimpi. Kau bisa menganggapku teman mimpimu.”
Jadi, sekarang aku sedang bermimpi?
Anak itu menggeleng.
Wow! Ia bahkan bisa membaca pikiranku.
“Selama lima menit ke depan, kau bisa melihatku di dunia nyata. Setelah itu, kau bisa menemuiku di dalam mimpimu. Kuharap kau mau berteman baik denganku. Selama mimpi, aku akan membuatkanmu majalah yang mengandung seluruh alur mimpimu. Chloe is ready to process magazines.” Dia tersenyum.
Senyumannya terlihat sangat hangat. Wajah imutnya tidak menunjukkan ia seorang hantu atau seseorang yang ingin mencelakaiku. Aku melihatnya mencoba menggenggam tanganku dengan sangat lembut dan hati-hati. Rasa takutku mulai hilang, digantikan dengan rasa penasaran pada anak itu. Dari senyumnya, aku merasa dia memang benar-benar baik. Aku menduga ia dibesarkan di keluarga blasteran. Biasanya di daerahku lebih banyak penutur bahasa daerah, baru kali ini aku melihat anak kecil yang mengobrol dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Meski begitu, aku sangat suka sekali dengan keberagaman ini.
Belum sempat tangan kami saling menggenggam, ia pun menghilang dari pandanganku. Aku memutuskan untuk kembali berbaring. Jika perkataannya benar, aku akan menemuinya dalam mimpiku. Mataku mulai terpejam. Tak lama, sebuah gambar muncul. Yang kulihat itu seperti kamarku.
Halo? Inikah mimpiku? Rasanya aneh bertanya kepada diri sendiri dengan pertanyaan itu. Jika benar ini mimpiku, aneh juga bisa menyadari bahwa ini adalah mimpi. Aku berjalan untuk membuka pintu kamarku. Aku terkaget melihat Amel dan Theo sudah berada di ruang tamu, menungguku untuk melakukan piknik bersama di pinggir sungai seperti biasanya. Lalu, aku meminta izin pada keduanya untuk mandi terlebih dahulu dan bersiap-siap. Sangat mustahil bagiku untuk pergi ke pinggir sungai dengan pakaian yang bau seperti ini. Amel menjawab, “Sok mangga. Aku tunggu di sini ya.” Aku mengangguk dan kemudian Theo berkata dengan logat jawanya, “Sing bersih yo. Aku wedi ada orang jijik melihatmu.” Aku kembali mengangguk. Meski begitu, aku mengakui bahwa tidak mandi pun tidak akan mempengaruhi hidupku. Orang yang merasa jijik terhadapku tidak akan membuatku gila. Lagi pula, ini hanyalah mimpi. Hal buruk apa pun yang aku perbuat atau yang mereka perbuat padaku, tidaklah penting. Aku akan selalu ingat ini hanyalah mimpi. Mimpi yang membuatku memiliki seorang pemandu. Oh, tapi, di mana dia sekarang?
“Chloe di sini. Chloe is ready to process magazines.” Seakan ia tahu yang kupikirkan, anak kecil itu tiba-tiba berada di hadapanku. Wajah imutnya tidak berubah.
Apa yang ia lakukan di sini? Aku akan mandi. Meskipun kami sama-sama perempuan, ia tidak diizinkan untuk mengintipku mandi.
Chloe menggelengkan kepalanya. “Kenapa mandi? Apakah kamu ingin menghabiskan mimpimu malam ini hanya untuk mandi? Bukankah banyak hal yang kamu inginkan, hal yang lebih indah dari mandi?” Suaranya sangat kencang hingga aku kuatir Amel dan Theo akan mendengarnya.
Aku menatapnya. Aku tidak ingin Amel dan Theo mendengarnya.
“Ini mimpimu. Kau bebas melakukan yang kamu inginkan.”
Aku berpikir sejenak. Apakah aku bisa membuat diriku terlihat bersih, rapi, dan wangi seketika?
Chloe mengangguk. “Ini mimpimu.”
Sedetik kemudian secercah cahaya datang menghampiriku dan refleks membuatku memejamkan mata karena silaunya. Semakin dekat cahaya itu datang, rasanya angin sepoi-sepoi ikut datang juga menghampiriku. Namun, perlahan cahaya tersebut bersama dengan angin sepoi-sepoinya mulai hilang. Pakaianku sudah berganti dengan sendirinya. Di depanku terlihat rerumputan hijau di tepi sungai, Amel yang sedang duduk di karpet sambil menyendok nasi, serta Theo yang sedang menyiapkan piring untuk membuat salad. Bagaimana ini bisa terjadi, Chloe?
“Ini mimpimu. Kau bebas melakukan yang kamu inginkan. Chloe is ready to process magazines.”
Kemudian, aku bergabung dengan sahabat-sahabatku. Kami mengobrol, bercanda, tertawa, dan berbagi makanan bersama. Setelah merasa kenyang, kami memutuskan untuk duduk di dekat sungai seperti biasa. Kami duduk dengan posisi kaki menjuntai ke arah air sungai. Posisiku berada di tengah di antara Amel dan Theo. Keseruan kami terus berlanjut. Kami mengambil foto menggunakan kamera, menertawai foto yang hasilnya buruk, lalu kami memutuskan untuk bermain air. Kami menyipratkan air satu sama lain. Teriakan kami mengisi penuh tempat ini. Beruntung, tempat ini memang tidak pernah ramai. Saat ini, hanya kami bertiga yang datang ke tempat ini. Aku terlalu asyik bermain dengan mereka hingga aku tidak sadar kakiku mendorong punggung Amel yang sedang merunduk untuk mengambil air yang akan dicipratkan ke arahku dan Theo. Hal itu membuat Amel jatuh ke sungai. Aku dan Theo sangat panik. Kepanikan bertambah saat Amel berteriak bahwa ia tidak bisa berenang. Kepalanya terkadang muncul ke permukaan dan terkadang tenggelam. Ia berusaha berkata hal lain, namun kami berdua tidak ada yang dapat memahami perkataannya karena kepalanya kembali tenggelam.
Di tengah kepanikan, aku teringat pemandu mimpiku. Bagaimana ini, Chloe?
“Jangan kuatir. Ingat, ini mimpimu. Kau bebas melakukan yang kamu inginkan. Chloe is ready to process magazines.”
Ya, benar juga. Kenapa aku harus kuatir? Ini mimpiku, bukan? Tidak ada yang perlu dikuatirkan saat ini. Aku bebas menentukan seperti apa mimpiku, bukan? Aku ingin Amel bisa berenang agar ia tidak tenggelam.
“Tidak bisa. Seseorang membangunkanmu di dunia nyata,” kata Chloe.
Belum juga aku memfokuskan diriku pada hal yang kuinginkan, tiba-tiba saja pemandangan yang kulihat mulai memudar perlahan. Chloe tiba-tiba menghilang. Gambar-gambar mimpi pun semakin memudar hingga sosok Theo yang berada di sampingku juga tak nampak lagi dalam pandanganku. Semua akhirnya berubah menjadi putih total. Semakin terang, semakin menyilaukan, dan sebuah suara berkata, “Akhirnya kamu bangun juga, Nak. Cepat mandi dan siap-siap ke sekolah.”
***
Aku menengok ke segala penjuru untuk mencari sosok temanku, Amel dan Theo. Keduanya belum terlihat setelah lima menit lalu aku menginjakkan kaki di sekolah. Biasanya mereka akan menungguku di depan pintu kelas, tetapi hari ini pemandangan tersebut tidak ada. Tak nampak satu pun dari mereka. Bahkan, tas mereka pun tak terlihat secuil pun. Aku duduk semeja dengan Amel, sementara Theo duduk di belakang kami berdua. Theo semeja dengan temannya yang berasal dari suku Batak. Logat Sumatera yang ia miliki sangat terdengar khas ketika ia berbicara. Biasanya di waktu ini kami akan mengobrol bersama hingga bertukar bekal. Bekal makanan kami sangat berbeda satu sama lain mengingat kami juga berasal dari suku yang berbeda. Aku sangat suka mencicipi seluruh makanan mereka karena rasanya seperti aku mendadak keliling Indonesia. Namun, sekarang mereka tidak ada di hadapanku. Aku hanya sendirian dan menatap kosong ke depan kelas.
Hari di sekolah berlangsung membosankan bagiku hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi. Entah ke mana Amel dan Theo hari ini. Padahal, sehari lalu mereka terlihat sehat dan tak berkata padaku bahwa hari ini mereka tak akan sekolah. Biasanya ketika jam istirahat, aku dan mereka selalu ke kantin bersama, mengobrol bersama di sana, dan membeli makanan yang sama. Tapi hari ini, aku hanya terduduk seorang diri di kantin, seorang diri sejak aku menginjakkan kaki di sekolah hingga pelajaran di sekolah usai. Tak akan ada yang spesial dari hari ini jika tidak ada kehadiran mereka.
Sepulang sekolah, ketika aku berjalan di trotoar menuju rumahku, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingku. Kemudian, kaca mobil tersebut tebuka, menunjukkan seorang perempuan berusia sekitar 35 tahun dengan rambut yang halus dan tertata rapi. Ia kemudian menyapaku. Aku hanya bisa tersenyum. Ia kemudian bertanya sesuatu yang terlihat sangat penting, seperti apakah aku baik-baik saja? Apakah segala hal terkontrol dengan baik? Apakah aku mendapat mimpi indah semalam? Perempuan ini sangat aneh. Mengapa ia bertanya tentang mimpiku? Apakah mimpiku itu sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap hidupnya? Tentu saja, aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan saja agar ia tidak bertanya yang lain lagi.
Setelah perempuan itu merasa responku kurang ramah, ia beranjak pergi. Ia menutup kaca mobilnya dan meninggalkanku. Aku sendiri masih terjebak dengan pikiran mengapa kedua sahabatku tidak datang ke sekolah hari ini. Mereka tidak bilang apa pun. Mengapa mereka tidak berangkat sekolah? Apakah mereka bekerjasama? Tidak mungkin mereka melakukan itu tanpaku. Kami telah berteman sejak lama. Kami selalu memberitahu satu sama lain.
***
Aku kembali ke rumah tanpa semangat sedikit pun. Ketika aku sampai di depan pintu rumah, keadaan sekitar tampak sepi. Tak ada tanda-tanda ayahku atau ibuku yang akan menyambut kepulanganku. Tanpa perlu izin apa pun, aku lantas menggapai knop pintu dan mendorongnya agar pintu terbuka. Yang terlihat di mataku hanyalah ruangan gelap. Seluruh gorden dalam keadaan tertutup rapat. Kondisi lampu tidak menyala. Hanya keheningan dan kegelapan yang bisa aku rasakan.
Saat aku sudah berada di tengah ruangan, aku melihat Chloe menatapku lekat. Aku sangat terkejut. Bukankah dia hanya muncul saat aku sedang bermimpi? Bukankah ini dunia nyata? Tidak mungkin aku bermimpi untuk bersekolah. Atau bagaimana? Aku sangat kebingungan. Sepuluh detik berlalu. Chloe tidak seperti biasanya yang selalu menjawab semua pertanyaanku meski aku mengatakannya dalam pikiranku.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku mencengkeram bajuku karena ketakutan. Ketika aku menyentuh pakaianku, aku merasa memakai pakaian yang berbeda. Aku menundukkan kepalaku, dan ternyata diriku tidak memakai seragam sekolah lagi. Sekarang, aku mengenakan kebaya merah panjang yang aku kenal baik sebagai kebaya Kartini. Aku berbalik ke arah Chloe. Apa yang kamu maksud dengan ini? Aku bertanya sambil menunjuk kebaya yang kupakai. Aku tidak memintamu mengganti pakaianku saat ini. Apakah kamu mulai melupakan apa yang kamu katakan?
Lampu tiba-tiba menyala. Seluruh dinding dipenuhi dengan dekorasi indah. Di beberapa sudut terdapat poster bertuliskan “Selamat ulang tahun”. Di depanku ada ayahku dan ibuku yang sedang memegang kue dengan lilin nomor tujuh belas di atasnya. Wajah mereka berdua sangat berseri-seri. Di wajah mereka tak ada kesedihan sama sekali.
Aku masih diam, memikirkan maksud dari semua ini. Aku melirik baju yang kukenakan, aku masih memakai kebaya itu. Ibu mendatangiku sambil mengucapkan selamat ulang tahun, lalu memelukku. Bukankah aku sudah berumur 17 tahun? Mengapa aku merayakan ulang tahunku lagi pada usia itu?
“Kau bebas melakukan yang kamu inginkan. Chloe is ready to process magazines,” kata Chloe tiba-tiba.
Ibuku melepaskan pelukannya dan berkata, “Setelah ini, ganti bajumu. Kita harus menghadiri pemakaman sahabatmu.”
Apa? Aku lantas terjatuh pingsan. Ayahku dengan sigap menangkapku.
***
Aku membelalakkan mataku karena kaget dan langsung terduduk. Aku melihat sekeliling dengan panik. Kamar yang kulihat adalah kamar tidurku sendiri. Akhirnya aku terbangun dari mimpiku. Aku bersandar di tepi tempat tidurku. Aku melihat gambar-gambar menempel di dinding. Dalam salah satu foto, aku mengenakan kebaya panjang berwarna merah dengan rambut ditata menyerupai Kartini, sambil memegang erat kue bergambar lilin nomor tujuh belas di atasnya. Pada gambar lainnya, terdapat foto keluarga yang terdiri dari aku, ayahku, dan ibuku. Semuanya sedang memegang kue. Gambar itu membuatku merasa sensitif, mengingat mimpi yang baru saja kualami. Mataku beralih ke sisi lain tembok di mana ada fotoku sedang duduk di tepi sungai bersama sahabat-sahabatku, Amel dan Theo. Foto ini juga mengingatkanku pada mimpi yang pernah kualami.
Samar-samar aku mendengar suara gemerisik dari bawah seprai. Tapi tunggu dulu, kakiku, tanganku, dan seluruh bagian tubuhku ada pada posisinya masing-masing sesuai dengan yang seharusnya. Tidak ada yang bergerak, kecuali organ yang berfungsi sebagaimana mestinya. Aku membuka mata untuk melihat situasi di sekitarku.
Jantungku menegang dan detak jantungku semakin cepat. Di sudut tempat tidurku, ada seorang gadis kecil duduk membelakangiku. Dia memiliki rambut keriting panjang. Dari lekuk tubuhnya yang kulihat, aku yakin anak itu adalah Chloe. Tapi, bukankah ini dunia nyata? Tidak mungkin bagiku untuk melihatnya di kehidupan nyata. Aku melirik jam di dinding kamarku. Saat itu pukul 02.00 pagi. Aku menggelengkan kepalaku, tidak percaya. Aku merasa seperti pernah mengalami hal ini sebelumnya. Ya, pertama kali aku bertemu Chloe. Mengapa ini terjadi lagi? Ini sungguh mustahil. Dengan perasaan panik yang mulai menjalari tubuhku, aku memaksakan tanganku untuk mencari ponselku sekedar untuk memastikan waktu saat ini. Sayangnya aku lupa tempat aku menyimpan ponselku. Aku meraba-raba seprai kalau-kalau ponselku ada di sana, tapi tidak ada apa-apa. Aku bingung dan takut disaat yang bersamaan.
“Tak ada yang salah dengan jam dindingmu.” Gadis kecil itu tiba-tiba berbicara sambil berbalik ke arahku.
Hatiku mencelos. Bahkan kalimat pertama yang diucapkannya sama persis dengan kalimat pertama yang diucapkannya saat itu. Kenapa kamu terlihat di dunia nyata, Chloe?
Chloe menarik ujung bibirnya, dia tersenyum sinis ke arahku. “Apakah kamu ingin tahu sesuatu?”
Aku terdiam, bingung harus berkata apa.
Chloe berjalan ke arahku. Aku segera melangkah mundur. “Kalau kamu bertanya kenapa Amel tidak masuk sekolah hari ini, sebaiknya kamu tidak perlu bertanya. Kamu sudah tahu jawabannya.”
Aku terdiam, mendengarkan kata-kata yang akan diucapkan Chloe selanjutnya.
“Kamu ingat apa yang terjadi di sungai? Apa yang terjadi pada Amel? Kamu tahu, kan? Maka kamu sudah tahu jawabannya,” kata gadis kecil itu dengan tenang.
Apakah yang dia katakan itu benar? Aku ternganga dan memelototinya.
“Apakah kamu ingat foto itu?” Chloe menunjukkan foto aku, Amel, dan Theo sedang duduk di tepi sungai. “Apakah kamu melihat foto itu? Bukankah foto itu adalah momen terakhir sebelum salah satu dari mereka meninggalkan dunia ini?”
Tidak. Itu hanya mimpi.
“Kau bebas melakukan yang kamu inginkan. Chloe is ready to process magazines,”
Chloe is ready to process magazines.
Chloe is ready to process magazines.
Chloe is ready to process magazines.
Chlorpromazine.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI