Belum juga aku memfokuskan diriku pada hal yang kuinginkan, tiba-tiba saja pemandangan yang kulihat mulai memudar perlahan. Chloe tiba-tiba menghilang. Gambar-gambar mimpi pun semakin memudar hingga sosok Theo yang berada di sampingku juga tak nampak lagi dalam pandanganku. Semua akhirnya berubah menjadi putih total. Semakin terang, semakin menyilaukan, dan sebuah suara berkata, “Akhirnya kamu bangun juga, Nak. Cepat mandi dan siap-siap ke sekolah.”
***
Aku menengok ke segala penjuru untuk mencari sosok temanku, Amel dan Theo. Keduanya belum terlihat setelah lima menit lalu aku menginjakkan kaki di sekolah. Biasanya mereka akan menungguku di depan pintu kelas, tetapi hari ini pemandangan tersebut tidak ada. Tak nampak satu pun dari mereka. Bahkan, tas mereka pun tak terlihat secuil pun. Aku duduk semeja dengan Amel, sementara Theo duduk di belakang kami berdua. Theo semeja dengan temannya yang berasal dari suku Batak. Logat Sumatera yang ia miliki sangat terdengar khas ketika ia berbicara. Biasanya di waktu ini kami akan mengobrol bersama hingga bertukar bekal. Bekal makanan kami sangat berbeda satu sama lain mengingat kami juga berasal dari suku yang berbeda. Aku sangat suka mencicipi seluruh makanan mereka karena rasanya seperti aku mendadak keliling Indonesia. Namun, sekarang mereka tidak ada di hadapanku. Aku hanya sendirian dan menatap kosong ke depan kelas.
Hari di sekolah berlangsung membosankan bagiku hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi. Entah ke mana Amel dan Theo hari ini. Padahal, sehari lalu mereka terlihat sehat dan tak berkata padaku bahwa hari ini mereka tak akan sekolah. Biasanya ketika jam istirahat, aku dan mereka selalu ke kantin bersama, mengobrol bersama di sana, dan membeli makanan yang sama. Tapi hari ini, aku hanya terduduk seorang diri di kantin, seorang diri sejak aku menginjakkan kaki di sekolah hingga pelajaran di sekolah usai. Tak akan ada yang spesial dari hari ini jika tidak ada kehadiran mereka.
Sepulang sekolah, ketika aku berjalan di trotoar menuju rumahku, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingku. Kemudian, kaca mobil tersebut tebuka, menunjukkan seorang perempuan berusia sekitar 35 tahun dengan rambut yang halus dan tertata rapi. Ia kemudian menyapaku. Aku hanya bisa tersenyum. Ia kemudian bertanya sesuatu yang terlihat sangat penting, seperti apakah aku baik-baik saja? Apakah segala hal terkontrol dengan baik? Apakah aku mendapat mimpi indah semalam? Perempuan ini sangat aneh. Mengapa ia bertanya tentang mimpiku? Apakah mimpiku itu sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap hidupnya? Tentu saja, aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan saja agar ia tidak bertanya yang lain lagi.
Setelah perempuan itu merasa responku kurang ramah, ia beranjak pergi. Ia menutup kaca mobilnya dan meninggalkanku. Aku sendiri masih terjebak dengan pikiran mengapa kedua sahabatku tidak datang ke sekolah hari ini. Mereka tidak bilang apa pun. Mengapa mereka tidak berangkat sekolah? Apakah mereka bekerjasama? Tidak mungkin mereka melakukan itu tanpaku. Kami telah berteman sejak lama. Kami selalu memberitahu satu sama lain.
***
Aku kembali ke rumah tanpa semangat sedikit pun. Ketika aku sampai di depan pintu rumah, keadaan sekitar tampak sepi. Tak ada tanda-tanda ayahku atau ibuku yang akan menyambut kepulanganku. Tanpa perlu izin apa pun, aku lantas menggapai knop pintu dan mendorongnya agar pintu terbuka. Yang terlihat di mataku hanyalah ruangan gelap. Seluruh gorden dalam keadaan tertutup rapat. Kondisi lampu tidak menyala. Hanya keheningan dan kegelapan yang bisa aku rasakan.
Saat aku sudah berada di tengah ruangan, aku melihat Chloe menatapku lekat. Aku sangat terkejut. Bukankah dia hanya muncul saat aku sedang bermimpi? Bukankah ini dunia nyata? Tidak mungkin aku bermimpi untuk bersekolah. Atau bagaimana? Aku sangat kebingungan. Sepuluh detik berlalu. Chloe tidak seperti biasanya yang selalu menjawab semua pertanyaanku meski aku mengatakannya dalam pikiranku.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku mencengkeram bajuku karena ketakutan. Ketika aku menyentuh pakaianku, aku merasa memakai pakaian yang berbeda. Aku menundukkan kepalaku, dan ternyata diriku tidak memakai seragam sekolah lagi. Sekarang, aku mengenakan kebaya merah panjang yang aku kenal baik sebagai kebaya Kartini. Aku berbalik ke arah Chloe. Apa yang kamu maksud dengan ini? Aku bertanya sambil menunjuk kebaya yang kupakai. Aku tidak memintamu mengganti pakaianku saat ini. Apakah kamu mulai melupakan apa yang kamu katakan?
Lampu tiba-tiba menyala. Seluruh dinding dipenuhi dengan dekorasi indah. Di beberapa sudut terdapat poster bertuliskan “Selamat ulang tahun”. Di depanku ada ayahku dan ibuku yang sedang memegang kue dengan lilin nomor tujuh belas di atasnya. Wajah mereka berdua sangat berseri-seri. Di wajah mereka tak ada kesedihan sama sekali.