Mohon tunggu...
Icha Bilal
Icha Bilal Mohon Tunggu... -

Love traveling. Love reading. Love languages. Love writing.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Persatuan yang "Hampir" Tergeser oleh Bahasa Asing

28 Oktober 2011   02:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:24 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13197679001432360365


Suatu siang di dalam toilet sebuah mall kawasan Jakarta Selatan, saya mendengar percakapan baby sitter dengan anak asuhnya menggunakan bahasa Inggris. Saya sempat tergelitik dengan fenomena ini. Para orangtua berbondong-bondong mengajari anaknya bercas cis cus bahasa Inggris sedini mungkin. Memang tidak salah untuk melakukannya karena belajar bahasa harus dilakukan sedini mungkin agar terserap lebih baik. Tapi bagaimana dengan nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa yang dikaruniai bahasa nasional sendiri? Karena tidak semua Negara mempunyai bahasa sendiri seperti kita, ada sebuah Negara yang asal ‘comot’ bahasa Negara lain.

Harusnya kita sebagai sebuah bangsa yang besar bisa menyebarkan bahasa Indonesia ke seluruh dunia. Namun, yang saya lihat belakangan ini orang “kita” yang notabene telah dijejali oleh pelajaran Bahasa Indonesia semasa sekolah sangat mengagungkan bercakap-cakap dengan bahasa asing yang nampak lebih keren.

Saya bukannya menafikan diri untuk tidak kadang-kadang sok Inggris tetapi saya masih menggunakan 100% bahasa Indonesia dan saya juga masih berbahasa daerah. Jika dari kecil anak diajarkan bahasa Inggris kemungkinan mereka akan menjadi bingung sebenarnya apa bahasa saya? Boro-boro nanti bisa lancar bahasa daerah orang bahasa Indonesia saja bakalan belepotan. Banyak anak dari hasil pernikahan campur yang dimasukkan ke sekolah internasional dan tinggal di Indonesia tetapi mengalami kesulitan berbahasa Indonesia. Sungguh suatu keajaiban. Karena menurut saya, lingkungan pasti mempengaruhi perkembangan bahasanya. Apakah mereka tidak pernah bergaul dengan orang kita? Mengapa orangtua mereka yang berdarah Indonesia tidak mengajarkan bahasanya?

Bahasa sendiri dapat menjadi sebuah pemersatu sebuah bangsa ataupun penghubung manusia yang satu dengan yang lainnya. Menurut Wikipedia, Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia, dinyatakan bahwa bahasa adalah fungsi kognis tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan. Ilmu yang mengkaji bahasa ini disebut sebagai linguistik.

Kita boleh bangga bahwa Bahasa Indonesia dituturkan tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Malaysia, Timor Leste, Brunei, dan Singapura. Jumlah penutur bahasa dengan tata bahasa yang relatif lebih mudah dari bahasa-bahasa Eropa ini pun sebanyak 17–30 juta penutur asli
total 140–220 juta dan menduduki
peringkat 56 Rumpun bahasaAustronesia.

Bahasa Indonesia telah ditasbihkan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia yang diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,

"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Lantas, mengapa mereka harus bangga dengan bahasa bangsa lain? Tidak tahukah mereka perjuangan untuk menggapai bahasa persatuan ini?

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Dari abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuno yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sansekerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.

Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi, misalnya dalam upacara dan kemiliteran, dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.

Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa daerah yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Penamaan "Bahasa Indonesia" untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Karena keterbukaan inilah kuantitas penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa ibu pertiwi ini sangat banyak. Berikut daftar jumlah kata yang dipinjam dari istilah asing :

Asal Bahasa

Jumlah Kata

Belanda

3.280 kata

Inggris

1.610 kata

Arab

1.495 kata

Sanskerta-Jawa Kuno

677 kata

Tionghoa

290 kata

Portugis

131 kata

Tamil

83 kata

Parsi

63 kata

Hindi

7 kata

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:


  1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
  2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.


Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:


  1. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
  2. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Saya hanya ingin menghimbau bahwa memang bagus untuk mengajarkan bahasa asing kepada anak usia belia. Pengajaran pada usia dini sangat dianjurkan karena pada usia 1,5 - 2,5 tahun, dimana bayi dan balita mulai menggabungkan dua atau tiga buah kata dan mulai belajar memahami sintaks. Tahapan selanjuutnya muncul pada usia 4 tahun karena ditunjang oleh pertambahan perolehan kosa kata yang meningkat secara signifikan. Keinginan untuk mendidik anak lebih dari satu bahasa juga tidak dilarangtetapi jangan sampai merusak jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Kita tetap harus wajib menghormati dan melestarikan kebudayaan sendiri. Seperti yang dikatakan Alif Danya Munsyi dalam buku yang berjudul “Bahasa Menunjukkan Bangsa”. Jika bukan kita yang menjaga bahasa ibu pertiwi kita ini siapa lagi yang akan meneruskannya ke generasi selanjutnya?

Reference :

Wikipedia dan berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun