Menikah muda di Indonesia umumnya merujuk pada pernikahan yang terjadi di bawah usia yang dianggap ideal untuk memulai kehidupan pernikahan. Berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas minimal usia untuk menikah adalah 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, menikah muda mengacu pada pernikahan yang dilakukan sebelum atau di sekitar usia ini.Â
Tetapi , Menikah muda karena tekanan keluarga merupakan fenomena yang masih sering terjadi di beberapa wilayah, terutama di negara-negara berkembang. Meskipun pernikahan sering kali dianggap sebagai momen penting dalam kehidupan seseorang, menikah pada usia muda dengan paksaan membawa risiko yang signifikan bagi kesejahteraan fisik, emosional, dan sosial pasangan yang terlibat, terutama bagi perempuan.Â
Berikut adalah salah satu kasus nyata yang terjadi di Indonesia tentang pernikahan muda yang dipaksa oleh keluarga:
Kasus Siti, Gadis Asal Jawa Timur
Siti (bukan nama sebenarnya) adalah seorang gadis asal sebuah desa di Jawa Timur yang berusia 16 tahun. Ia berasal dari keluarga yang sederhana dan baru saja menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah pertama (SMP). Orang tua Siti tidak mampu membiayai pendidikan lebih lanjut, dan mereka merasa anak perempuan sebaiknya segera menikah agar bisa membantu keluarga secara ekonomi.
Keluarga Siti memiliki keyakinan bahwa menikah di usia muda adalah hal yang wajar dan sering kali dilakukan di desanya. Mereka khawatir jika Siti tidak segera menikah, ia akan dianggap sebagai beban keluarga, dan mereka akan kesulitan mencari calon suami yang baik di kemudian hari.
Tekanan Keluarga:Orang tua Siti mulai mendesak agar dia menikah dengan seorang pria yang usianya 10 tahun lebih tua, yaitu seorang petani setempat yang dianggap "mampu" oleh keluarganya. Meskipun Siti tidak mengenal baik pria tersebut, keluarganya terus mendesak dengan alasan bahwa ini adalah kesempatan baik baginya untuk mendapatkan keamanan finansial dan kehidupan yang lebih baik.
Siti sebenarnya ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMA dan meraih cita-citanya sebagai perawat. Namun, karena tekanan dari orang tuanya yang mengancam akan memutuskan dukungan dan menempatkannya dalam posisi yang sulit, Siti akhirnya menyerah pada keputusan keluarganya. Orang tuanya percaya bahwa menikah lebih awal adalah langkah yang tepat untuk melindungi Siti dari "pengaruh buruk" yang mungkin didapatkan jika ia tetap bersekolah di luar desa.
Dampak Pernikahan Muda:Setelah menikah, Siti mengalami berbagai kesulitan dalam menjalani peran sebagai istri. Ia merasa belum siap secara emosional untuk menjalani kehidupan rumah tangga, terlebih lagi karena suaminya lebih dominan dalam pengambilan keputusan. Di usia yang sangat muda, Siti juga mengalami tekanan untuk segera memiliki anak, meskipun ia belum siap secara fisik dan mental.
Setelah beberapa bulan menikah, Siti hamil. Namun, karena usia yang masih muda dan kondisi kesehatannya yang belum sepenuhnya berkembang, ia mengalami komplikasi selama kehamilan. Siti juga merasa terisolasi karena tidak memiliki banyak teman atau dukungan sosial, mengingat ia harus meninggalkan lingkungan sekolah dan teman-teman sebayanya.
Selain itu, impiannya untuk melanjutkan pendidikan kandas, dan ia bergantung sepenuhnya pada suami dan keluarganya. Dalam beberapa tahun, pernikahan tersebut menjadi semakin sulit karena perbedaan pandangan dan kurangnya dukungan emosional dari suaminya. Siti merasa terjebak dalam hubungan yang tidak sehat, namun tidak memiliki banyak pilihan untuk keluar dari situasi tersebut.