Nama: Yezharivina Nur Anisa
Nim:212121205
Mata kuliah: Hukum Perdata Islam di indonesia
Dosen pengampu: Bapak. Muhammad Julijanto, S.Ag.,M.Ag.
Judul: Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
Penulis: Umur Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih
penerbit: Gama Media Yogyakarta
Terbit: 2013
Cetakan: Pertama, Maret 2017
Halaman: v-xvii+205 halaman
Buku tulisan Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih yang berjudul Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia mendeskripsikan secara lengkap tentang sejarah singkat hukum perkawinan Indonesia, pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, prinsip yang ada di perkawinan, alasan melakukan perkawinan, hukum kawin dan sumber hukum kawin, rukun dan syarat perkawinan, perjanjian kawin, hasil kekayaannya dalam perkawinan, hukum walimah, putusan perkawinan, dan kajian hukum perkawinan Islam serta masala masalah yang ada di dalam perkawinan.Â
Hukum perkawinan di Indonesia sendiri pada awalnya terjadi pluralisme peraturan tentang perkawinan, hal ini bahkan terjadi setelah Indonesia merdeka. Terdapat 5 kategori ketentuan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai masalah perkawinan bagi warga di Indonesia. Kategori itu didasari atas 3 golongan penduduk seperti golongan eropa, golongan timur asing, golongan pribumi yang kemudian dibagi menjadi :
1. Hukum perkawinan bagi golongan eropa dan timur asing
2. Hukum perkawinan bagi golongan pribumi dan timur asing yang memeluk agama Islam
3. Hukum perkawinan bagi golongan pribumi yang memeluk agama kristen
4. Hukum perkawinan bagi golongan bukan pemeluk agama Islam maupun kristen
5. Hukum perkawinan bagi golongan yang melakukan perkawinan campuran.
Terhadap pluralisme hukum diatas, menjadi suatu persoalan bagi masyarakat pribumi yang menuntut adanya perubahan terhadap pengaturan masalah perkawinan. Hal ini penting untuk menjaga agar perilaku asing tidak masuk kepada warga pribumi dan mempengaruhi budaya perkawinan warga pribumi khususnya yang beragama Islam. Singkat cerita, Presiden Republik Indonesia mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan dengan no.R.02/PU/VII/1973 tertanggal 31 Juli tahun 1973 untuk disampaikan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Upaya ini tidak luput karena melihat gerakan masyarakat, yaitu maraknya gerakan dan saran-saran pemikiran oleh masyarakat Indonesia yang peduli pada materi hukum perkawinan yang kebanyakan adalah organisasi Perempuan Islam.
Pembahasan tentang Undang-Undang Perkawinan mengalami pasang surut didalam materi yang berisikan nilai keislaman pada pelaksanaan perkawinan. Rancangan Undang-Undang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah ternyata secara garis besar masih mengutip dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgelijk wetbook). Bahkan ada beberapa pasal yang secara jelas rumusanya hanya menterjemahkan dari burgelijk wetbook dan Huwelisk ordonantie christen inlanders.Â
Pengertian perkawinan dijelaskan di Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Undang-Undang ini tidak hanya mengatur masalah hubungan perdata saja tetapi peraturan ini menjadi dasar hukum yang sangat erat kaitannya dengan hak-hak dasar seorang anak manusia, atau lebih kepada perikehidupan masyarakat sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian ini tidak jauh berbeda dari pengertian yang didefinisikan didalam ajaran Islam, yaitu didefinisikan dengan akad yang kuat antara laki-laki dan perempuan demi mewujudkan ketentraman dan kebahagiaan hidup keluarga dengan diliputi penuh rasa kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.Â
pengertian perkawinan menurut Islam dijelaskan didalam bab Dasar-dasar perkawinan pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan "perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakah ibadah" Ditambahkan pada pada pasal 3 tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Artinya secara islam, pengertian perkawinan ditambahkan dengan kata akad mitssaqan ghalidzan yang pada prinsipnya adalah ungkapan dari ikatan lahir batin.Â
Tujuan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 terdapat pada pasal 1 yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Secara pengertian, rumusan pada pasal 1 Undang-Undang Perkawinan sudah dipaparkan pada babvpengertian perkawinan sebelumnya. Pada konteks bab tujuan perkawinan, akan diulas lebih kepada tujuan perkawinan sebagaimana ajaran Islam. Melihat pada Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan dirumuskan pada pasal 3 KHI yaitu mempunyai tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahma.Â
Sebuah perkawinan tentu memiliki prinsip yang harus dicapai agar terwujud perkawinan yang sesuai dengan tujuan. Mengingat tujuan sebuah perkawinan adalah membetuk rumah tangga yang kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa dengan terwujudnya sakinah, mawadah, dan rahmah maka itu semua memerlukan pijakan prinsip yang kuat. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak merumuskan prinsip mengenai perkawinan secara detail. Pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 hanya ada satu pasal yang jelas mengatakan perkawinan itu berazaskan monogami. yang perlu diperhatikan dalam perkawinan disamping pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, ada beberapa pendapat lain didalam islam tentang prinsip yang diperlukan yaitu: prinsip untuk memilih jodoh yang tepat, Prinsip mengawali dengan khitbah (peminangan), Prinsip menghindari larangan dalam perkawinan, Memenuhi syarat tertentu, suka rela atau persetujuan, ada saksi, bertanggung jawab, dan melakukan perbuatan yang baik.Â
Hukum kawin ada 5 (lima) macam yang pertama, mubah Mubah merupakan asal dari hukum sebuah perkawinan, yaitu hukum terhadap suatu perbuatan yang dibolehkan untuk mengerjakannya. Perbuatan mubah ini tidak diwajibkan dan tidak pula diharamkan. Bagi seorang calon mempelai yang kondisinya tidak terdesak untuk melakukan perkawinan disertai alasan-alasan yang mewajibkan untuk segera menikah, maka ia boleh untuk tidak menikah terlebih dahulu. Kedua, Sunnah itu artinya adalah apabila melakukan perkawinan maka itu lebih baik karena ia memang telah pantas dan memasuki waktu kawin. Maksudnya dalam praktek adalah bila seseorang yang telah mempunyai kemauan untuk menikah ditunjang ia sudah memiliki kemampuan baik lahir maupun batin dan jika ia tidak menikah ia tidak khawatir terjerumus untuk melakukan perzinaan. Ketiga, Wajib Hukum perkawinan menjadi wajib bagi mereka yang sudah mampu secara lahir dan batin. Ditambah dengan ia sudah memilki nafsu yang sangat mendesak untuk segera melakukan perkawinan dikhawatirkan ia melakukan zina. Keempat, Makruh Kawin menjadi makruh hukumnya apabila seorang yang menikah tidak mampu memberi nafkah kepada isterinya meskipun si wanita padafaktanya ia lebih kaya dari si pria. Ada pula yang mengatakan apabila si pria ternyata orang yang lemah syahwat, dan ada pula yang mengatakan ia mampu untuk menikah, tetapi tidak punya keinginan untuk dapat memenuhi kewajiban rumah tangga dengan baik. Kelima, haram Haram hukumnya melakukan perkawinan terhadap seseorang yang memang tidak mempunyai kemauan (niat) dan kemampuan lahir batin. Artinya orang tersebut tidak akan mempunyai rasa tanggung jawab didalam kehidupan rumah tangganya.Â
Sumber hukum perkawinan ada beberapa yaitu: Al-Qur'an, Sunnah Rasul, dan yang terakhir yaitu Metode Ijtihad, ijma, dan qiyas oleh mujtahid. Rukun dan syarat yang ada pada hukum perkawinan Islam di Indonesia, maka kesemuanya itu ada hubungan benang merahnya dengan prinsip perkawinan yang ada pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Mengingat umat Islam di Indonesia dalam konteks perkawinan tetap harus tunduk pada hukum Undang-undang yang berlaku, walaupun secara khusus fiqih munakahat juga membahas persoalan itu. Artinya walaupun tulisan ini mengkaji hukum perkawinan islam di Indonesia tetapi yang berlaku tetaplah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu rujukan penulisan ini tetap mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dalam menjabarkan rukun dan syarat.Â
Adapun rukun perkawinan yaitu: adanya Pengantin lelaki (Suami) dan Pengantin perempuan (Isteri), adanya Wali dan Dua orang saksi lelaki, dan yang terakhir adanya Ijab dan kabul (akad nikah).Â
Perjanjian perkawinan adalah salah satu hal yang penting didalam sebuah perkawinan. Tetapi hal ini jarang dikaji oleh para ulama klasik, bahkan tidak ditemukan secara khusus bab yang membahas tentang perjanjian perkawinanArti dari perjanjian adalah sebuah persetujuan yang dimana persetujuan itu mengikatkan dirinya seorang atau lebih terhadap seorang lain atau lebih. Konteks perjanjian itu kemudian dibawa kepada konteks hubungan perkawinan menjadi dengan sebutan perjanjian perkawinan.
Harta kekayaan didalam perkawinan dijelaskan pada pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada bab harta benda dalam perkawinan pasal 35 hingga pasal 37. Ketentuan itu menjabarkan bahwa harta benda yang diperoleh oleh pasangan suami istri selama perkawinan menjadi harta bersama. Maksud dari kata menjadi harta bersama adalah harta tersebut bentuk, kepemilikan dan penguasaannya bersama-sama.
Walimah adalah sebuah pesta dengan mengumpulkan saudara, teman, kerabat dengan niatan untuk bisa memberikan doa restu ataupun ucapan kesyukuran kepada seseorang. Walimah diambul dari kata al-wa-li-ma-tu yang artinya adalah mengumpulkan. Dalam konteks perkawinan masyarakat biasa menyebut pesta semacam itu dengan nama "walimatul urs". Walimatul urs memiliki perngertian dimasyarakat sebagai sebuah peresmian dari perkawinan dengan tujuan sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada orang-orang bahwa telah terjadi perkawinan yang resmi dan turut sebagai rasa syukur bagi kedua belah pihak mempelai.
Putusnya perkawinan ada 3 hal yaitu: karna kematian, perceraian, dan atas putusnya pengadilan. Dalam agama Islam putusnya perkawinan ada beberapa macam yaitu: Talak, Li'am, Khuluk, Fasakh, Syiqaq, Illa', dan Zhihar. Masalah dalam perkawinan itu ada beberapa macam salah satunya pernikahan beda agama, peraturan perundang-undangan sendiri tampaknya menutup terhadap pelaksanaan perkawinan beda agama. Ini jelas dinyatakan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1) yang berbunyi perkawinan dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya, serta dilanjutkan pada ayat (2) bahwa itu dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan supaya sah. Oleh karena itu jelas apabila hukum di Indonesia tidak membukan praktik perkawinan beda agama.
Disamping buku tersebut dan dalam pemaparan penulis diatas tentang Hukum Perkawinan Islam di IndonesiaIndonesia, penulis berkeinginan menjelaskan secara jelas, tuntas, lengkap, dan rinci. Hal ini dapat di lihat dari sub-sub bab yang sangat banyak. Di satu sisi bagi para pembaca banyak mengetahui tentang apa itu perkawinan itu sendiri dan hukum-hukumnya. Mungkin harus ada pertimbangan bagi penulis untuk mencantumkan apa isi dari pasal-pasal yang sudah di jabarkan kedepannya.Â
 Kekurangan dari buku ini menurut saya tidak ada, sebab buku ini sudah versi yang bagus . Namun supaya lebih bagus lagi penulisan isi dalam pasal tersebut harus lebih detail lagi kedepannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H