Mohon tunggu...
icecream vanilla
icecream vanilla Mohon Tunggu... -

Seorang penyuka icecream vanilla yang mencoba mengisi waktu luang dengan membaca dan menulis dalam rangka meningkatkan mutu diri....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sketsa Biru

16 Desember 2010   09:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:40 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Ka, maaf yah."
Tanpa kutahu respon apa yang ada darinya aku langsung berlalu. Kutepis hujan yang sedang turun menyuarakan gemuruh malam yang mengisyaratkan kesunyian. Tergugu aku dalam langkah seokku. Langkahku terasa berat dan tiada alamat tujuan yang hendak kutuju. Pikiranku hampa...

Bus itu melintas cepat dihadapanku. Penuh sesak dengan orang-orang yang mengejar waktu agar tak bermalam di jalanan. Langkahku menepi, aku terjongkok lemas di sudut emperan halte. Jam digital dilayar HPku telah menunjukkan pukul 20.40 malam. "huh...". Aku merasa letih yang amat sangat. Entah apa yang telah kukerjakan seharian ini. Aku mati rasa...

"Tolong jangan pergi!"
Ku tengokkan kepalaku kearah sumber suara. Deka ada tepat dibelakangku.

"Pulanglah ke rumah kita!"
Ku tatap saja uluran tangan darinya. Tapi dengan enggan kuraih pula tangan itu.
Aku beranjak dari tempat aku terjongkok. Tubuhku menggigil karena kehujanan. Direngkuhnya aku dan dibimbing untuk berjajar merapat ke tubuhnya. Akhirnya aku kembali lagi...

Sampainya di rumah, hanya ada kebisuan diantara kami. Deka menyeka tubuhku yang basah dengan handuk kering. Kini dia duduk tepat dihadapanku walau masih tanpa kata. Ditatapnya wajahku amat lekat. Sorot matanya membuat aku tergugu kaku. Dipeluknya aku erat hingga kepalaku menyandar didadanya yang bidang. Dan aku hanya mampu mendesah tanpa kata. Maafkan aku Ka..., maaf!

"Udah ah, jangan nangis mulu. Jelek! Ganti baju dulu! Kalo masuk angin, Deka juga yang repot." Muncul juga kalimat dari mulutnya. Kata-katanya mulai cair. Tanda dia sudah tak mempermasalahkan apa yang terjadi.

Kelakuannya padaku membuat aku semakin merasa bersalah. Aku hanya bisa menggangguk dan beranjak dari pelukannya. Dan kulihat senyumnya yang begitu lembut ke arahku. Ah Deka...

Dikamar aku mulai terpikirkan akan penyesalan dengan adanya kejadian di hari ini. Kejadian yang tak seharusnya terjadi! Telpon sore tadi yang menjadi penyebab kesemuanya. Ah entahlah...

Tadi sore masih kuingat merah padamnya muka Deka. Baru saja semenit dia masuk rumah sepulang dari kantor, seseorang menelponnya. Wajahnya yang lembut itu tiba-tiba terlihat sangat mengerikan. Makanan yang kuhidangkan pun tak disentuhnya sama sekali. Hingga maghrib menjelang, dia mengurung diri didalam kamar. Tak ada sepatah katapun terucap dari bibirnya.

"Deka ada masalah apa? Siapa yang telepon tadi? Kenapa Deka diam saja?"

Namun, jawabannya justru membuatku amat terpukul dan luka,

"Cerewet! Tukang bikin masalah! Ga tahu suami lagi da masalah malah bikin sebel aja! Pergi saja sana!!!"

Aku tersentak dan terdiam. Bagaimanapun tak pernah ku mengira jawaban itu yang kudapat darinya. Nanar ku coba menatap tajam kearahnya. Namun dia mengacuhkan aku. Apakah salah bila aku istrinya menanyakan hal itu padanya setelah sekian lama dia hanya terdiam? Ya, mungkin memang salahku! Aku pun pergi dari kamar itu.

Jam delapan malam dia keluar dari kamar. Dengan nada yang amat datar dia mengatakan bahwa mama yang telepon tadi. Mama menyuruhnya datang besok malam untuk melamar gadis yang telah mama pilihkan untuknya.

Mendengar hal itu darinya aku hanya bisa tersenyum kecut. Lalu dengan lugu kukatakan kata-kata yang sebenarnya amat terpaksa aku katakan.

"Itu kan emang hak Deka. Dalam agama kita, poligami adalah hal yang wajar . Bagaimanapun, Canda nggak ada hak melarang kan?"

"Hmm.." Dia hanya berdehem.

"Besuk mau Canda temenin nggak Ka?"

"Ga! Kamu cerewet banget!"

"Deka marah ma Canda?"

"Diem ah! nyebelin banget!!! bikin bete aja!!!"

Dia menyingkir dari hadapanku dan membanting pintu kamar. Dadaku benar-benar berdebar kencang. Sesak sekali dan susah nafas. Aku masih tak menyangka Deka berlaku seperti itu kepadaku. Dan setelah ku bilang maaf kepadanya, akupun pergi dari rumah. Ah!!
"Yang, maafin Deka yah." Dikecupnya keningku lembut. Kembali ia dekap aku erat. Lirih kuucapkan kata, "iya..".

"Deka khilaf ma ayang, dah gelap hati. Padahal sejak awal kita melangkah nikah, Deka udah azamkan akan hadapi apapun ujian yang datang dengan hati lapang. Astaghfirullah.. ."

"insya Allah."

"hhhah...", Ku dengar hembusan nafasnya yang berat. Lalu, " Bagaimanapun yang mama lakukan ke kita, dia tetap mama kita. Mama cuma tertutup ma ego dirinya saja. Sebenarnya mama orang yang baik."

"Tolong maafin mama ya yang!" Lanjutnya. " Bantu Deka menyadarkan mama lewat agama. Karena hanya jalan itu satu-satunya yang terbaik buat kita.

"insya Allah."

"Allah sedang menguji kita dengan cara ini. Yang tegar dan tawakal."

Subhanallah! Terlihat bulir-bulir bening dari dua matanya. Kami kembali berpelukan erat. Dikecup beruang-ulang kening ku. Dan dibelainya dengan lembut kepalaku. Aku akan tegar seperti yang kau mau Ka..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun