Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bosan Belajar Daring, Siswa SMA Indonesia Milih Berhenti, dan Nikah

12 September 2021   09:05 Diperbarui: 12 September 2021   10:53 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak pukul 10 sampai sekitar pukul 13 hari Selasa kemaren berlangsung  Mentoring online Matematika Sekolah Megana. Mentoring menggunakan aplikasi WhatsApp call, bukan WA video apalagi zoom video yang boros kuota. Pilihan WAcall juga membuat siswa lebih nyaman karena tidak mesti duduk tegak di depan komputer. 

Secara pribadi, saya angkat topi, salut, menyaksikan semangat siswa belajar Logika Matematika dan Tabel Kebenaran : Silogisme, Modus Ponens, Modus Tolens. 

Buat yang pernah SMA pasti ingat betapa ribet topik tersebut. Namun pada mentoring online tadi, semangat siswa-siswa Sekolah Megana menjawab soal-soal Logika Matematika, perlu saya jadikan artikel ringan.

Mengapa? Karena di belahan bumi Indonesia lainnya, sebutlah di Mandailing Natal Sumatera Utara atau di NTB, mulai terungkap, banyak siswa yang mengaku bosan belajar daring, akhirnya keluar sekolah, dan memilih menikah.

Kabar bahwa puluhan siswa (baru data dari satu sekolah, belum data per-kabupaten, per-provinsi, dan data nasional) memilih menikah daripada lanjutkan pendidikan,  ternyata fakta, bukan hoax. Silakan googling, dan akan tampak laporan dari NTB, dari Sumatera Utara, dan lain-lain.  

Apapun alasan  dari para putus sekolah itu, yang muncul di permukaan adalah : bosan belajar daring alias belajar secara online membuat mereka tak termotivasi sekolah. Daripada bengong tak ada kerjaan, mereka ramai ramai memilih menikah muda.

Fakta di atas sebenarnya bencana.  Ya bencana dan sinyal merah bagi seluruh stakeholder pendidikan dan Pemerintah Indonesia, yang bertugas Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Program Wajib Belajar 12 tahun (SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun). 

Namun entah mengapa, saya belum pernah membaca kepedulian dari mereka, para stakeholder (baca : orang-orang yang digaji, diberi honor, difasilitasi dana APBN, untuk memikirkan dan memperbaiki kualitas pendidikan dan mengurangi jumlah siswa putus sekolah). Berita seminggu atau dua minggu lalu itu dimuat media massa tetapi sampai hari ini, saya belum membaca adanya  tanggapan dari para stakeholder. Pada kemana Mas Menteri, jajaran KemendikbudRistek, para Kepala Dinas dan para bawahannya.  "Seakan mereka tidak perduli."

Sekolah Megana

Hidup memang pilihan. Sementara ada sekelompok anak bangsa yang merasa tidak ada gunanya pendidikan, maka sebagian (kecil) generasi muda Indonesia justru berlomba-lomba meningkatkan kualitasnya melalui pendidikan. Sebagian kecil di antaranya adalah siswa Sekolah Megana.

Walaupun tetap memilih sistem pendidikan online, sama sekali tidak tatap muka, tetapi sejauh ini siswa semuanya menyelesaikan tuntas sampai setara kelas 3 SMA.  Dalam postingan ini, ijinkan kami berbagi supaya menjadi bahan pertimbangan bagi para stakeholder tertinggi, Presiden dan Mas Menteri sampai ke orangtua dan siswa yang sedang dan akan putus sekolah.  

Tiga kelebihan metode Sekolah Megana dengan legalitas Nomor Pokok Sekolah Nasional NPSN Mercy Smart sejak tahun 2010 adalah :

1. Siswa feel free dan berani bertanya selama mentoring online, sehingga kebingungan dan ketidakjelasan menjawab soal, langsung mentor jelaskan sejelas-jelasnya;

2. Siswa feel free bertanya, bisa terjadi karena kelas kecil maksimal 2 sampai 10 siswa. (kalau sekolah konvensional tidak efektif karena muridnya 30 orang lebih);

3. Tak ada kuota waktu, seperti sekolah umum. Misalnya materi harus selesai dalam 2 kali pertemuan mentoring. Di Sekolah Megana, semua tergantung siswa. Kalau belum mengerti, kita jadwalkan mentoring berikutnya.

(itu tiga poin di antara banyak privillage dan keistimewaan yang dinikmati siswa Sekolah Megana; siswa dilayani secara private, bukan model kelas ramai ramai model sekolah konvensional)

Oya, Persyaratan lain agar pembelajaran online berlangsung baik adalah :  

  1. Gadget yang mumpuni, 
  2. Koneksi internet yang stabil
  3. Siswa yang sehat dan siap belajar
  4. Guru yang kreatif dan mengerti teknik mengajar online (bukan metode mengajar konvensional dan di-online-kan)

Jika dua poin pertama sudah semestinya dibereskan Dinas Pendidikan dan KemdikbudRistek --dengan dana melimpah dari APBN dan APBD, maka kita bisa katakan poin ketiga relatif juga terpenuhi.  Karena di masa pandemi, kita lebih perduli pada protokol kesehatan dan di rumah saja. Maka apa lagi yang membuat Learning from home, belajar daring membosankan? 

  • Metode belajar,
  • Kapasitas dan kapabilitas guru, 
  • Kreatifitas kepala sekolah, 
  • Kebijakan Kepala Dinas dan 
  • Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi 

Presiden atau  Gubernur atau Bupati harus berani memanggil Menteri dan Kepala Dinas sampai Kepala Sekolah. "Anda bisa kerja, nggak? Kalau ternyata konsumen pendidikan (= para siswa) tidak tambah pintar dan malah bosan belajar, berarti kinerja Anda bermasalah!" 

Di pihak lain, memang ada analisis yang menyatakan siswa putus sekolah dan memilih menikah --seperti puluhan siswa di Mandailing Natal Sumatera Utara dan sebelumnya siswa di Lombok Timur NTB--  karena faktor kemiskinan, tidak punya gadget memadai, dan kualitas internet jelek.  

Mungkin faktor itu perlu jadi bahan pertimbangan bagi Dinas Pendidikan setempat dan Kemendikbudristek sebagai operator pendidikan nasional. Namun kalau kita baca sebenarnya problem gadget dan kualitas internet itu sudah bisa diatasi. Dinas Pendidikan setempat harus mampu mencari solusi, apalagi banyak perusahaan batubara atau perusahaan pertambangan di NTB dan Sumatera Utara yang tidak pelit jika diminta dana CSR untuk bantu pendidikan toh? 

Namun yang urgent kita bicarakan adalah faktor psikologis dan faktor sosial, siswa yang memilih putus sekolah karena bosan; bukan masalah finansial, bukan masalah kesulitan keuangan dan tak punya gadget atau internet yang memadai, tetapi karena bosan.

Indozone melaporkan bahwa Duh! Bosan Belajar Daring, Puluhan Siswa di Madina Memilih Menikah

Berikut saya kutip sebagian beritanya :

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Panyabungan, Muhammad Nuh pada Sabtu (4/9/2021), mengatakan pihaknya baru mengetahui sejumlah siswanya menikah usai melakukan pendataan ulang  saat PTM mulai dilakukan sejak Senin lalu.

Setelah sepekan PTM, sejumlah siswa diketahui tidak hadir hingga sekolah memutuskan mengecek lebih lanjut. Setelah dicek, sejumlah siswa tersebut ternyata menikah saat penerapan pembelajaran daring yang berlangsung lebih satu tahun. 

Kepala Sekolah cuma bisa menyayangkan keputusan yang diambil sejumlah siswa tersebut. Namun demikian, pihaknya tidak bisa menghalangi hal tersebut karena merupakan hak setiap manusia.

Puncak Gunung Es Masalah Pendidikan Indonesia

Sebagai penutup "curhat" saya ini,  mau tidak mau kita mesti tunjuk hidung KemdikbudRistek sebagai operator pendidikan nasional. Sejak pandemi 2020, KemdikbudRistek tetap ngotot memilih habiskan dana APBN Pendidikan untuk program Organisasi Penggerak, Guru Penggerak, dan yang sifatnya tidak langsung ke siswa. 

Konsep dan strategi Kemdikbud di masa pandemi, yang 'ngawur' dan akhirnya diprotes banyak lembaga pendidikan termasuk PGRI membuat saya ikutan resah dan sampai kirim japri ke Mas Menteri (tetapi cuma di-read doang).

Tolong Mas Menteri sadar,  kalau program KemdikbudRistek khususnya untuk pendidikan Dasar dan Menengah terbukti tidak menyentuh langsung siswa.  Buat apa mendanai segelintir Guru Penggerak sekarang,  yang hasilnya tidak bisa sertamerta membuat puluhan juta siswa termotivasi belajar.  Apa gunanya dana triliunan digelontorkan, tetapi tidak mampu mencapai standar pendidikan siswa Indonesia --padahal sudah diturunkan dengan alasan pandemi. Jangan mimpi menyebut Generasi Emas 2045, jika di tahun 2020, 2021 dan seterusnya mutu pendidikan Indonesia --malah sampai ada yang menyebut-- lost generation.

Di masa pandemi yang harus diutamakan adalah siswa, bukan guru. Apalagi justru di masa online ini, makin terbukti guru-guru kelas bukan pusat informasi satu-satunya. Jadi mesti buat terobosan yang cerdas untuk jutaan siswa langsung.  Untuk apa KemdikbudRistek menggelontorkan dana triliunan untuk proyek "Guru Penggerak" apalagi "Organisasi Penggerak" di masa pandemi dan endemi ini.  

Usul banyak pihak termasuk Tim Sekolah Megana sebenarnya simple, tidak menghabiskan dana triliunan seperti proyek-proyek KemdikbudRistek.  Jika internet bermasalah dan siswa tidak punya gadget mumpuni, guru-guru kelas tidak bisa diandalkan, kepala sekolah tidak mampu membuat program belajar kreatif, maka harus dibuat  program nasional sesuai kurikulum Kemdikbud dengan metode pembelajaran yang kekinian,  update,  simple, dan menarik bagi siswa.  Dan itu disiarkan lewat TV satelit, jika TVRI tidak mau bekerjasama. Mengapa lewat televisi? Karena   (hampir) semua rumah di Indonesia itu punya televisi, bahkan  dilengkapi parabola di daerah yang terpencil, terdepan, terluar.

Pelaksana TV UGM (Universitas Gajah Mada) yang sempat jadi teman diskusi kami menyatakan siap mendukung. Dengan catatan,  jika materi modulnya menarik, kekinian, dan berkualitas, bukan kaleng-kaleng bukan jadul.  Konten memang primadona di jaman internet ini.  Jika konten memang penting dan menarik, tanpa dikomando, ribuan bahkan jutaan siswa SMP dan SMA termotivasi memantau siaran tersebut karena merasa mendapat manfaat. 

Jika ada pembuat konten di youtube dan tiktok sampai puluhan juta follower, mengapa konten pendidikan KemdikbudRistek dan TVRI cuma sekian ratus yang follow, padahal lebih dari 150 juta target marketnya yakni siswa SD SMP SMA SMK dan pendidikan kesetaraan.  

Berarti ada yang perlu dibenahi dari konten buatan TVRI dan konten TV Edukasi KemdikbudRistek toh? Kebetulan Tim Megana TV --yang di dalamnya ada Ruth Christie Kirana dan Ka Seto, dua nama yang perduli pendidikan--  sudah membahas konten pendidikan sesuai kurikulum KemdikbudRistek dengan cara yang menarik dan kekinian. 

Mengapa inisiatif penting untuk solusi pendidikan di masa pandemi dan endemi itu belum jalan?  Hmmm sekali lagi, jawaban klise tapi nyata.  Inisiatif bagus itu mandeg, mentok karena dukungan Pemerintah tidak ada.  BLU BAKTI Kemenkominfo --yang dananya melimpah ruah setoran dari setiap provider telekomunikasi Indonesia--  KemdikbudRistek serta  Pimpinan DPR RI yang di dalamnya ada Komisi X mengurus Pendidikan-- sama sekali tidak merespon untuk mendukung pembuatan konten berkualitas.  

Sementara siaran TVRI Pendidikan siaran pagi dan siang  yang dipromosikan KemdikbudRistek sebagai solusi di masa pandemi dan endemi, ternyata sampai detik ini terbukti kurang diminati. TV Edukasi milik Kemdikbud, kelihatannya senasib juga.  

Sampai kapan dibiarkan Dana Pendidikan Republik Indonesia habis tak berbekas, tapi faktanya siswa Indonesia, (tambah) bodoh. Kalau sudah begini kapan pendidikan Indonesia bisa maju, minimal bersaing dengan alumni sekolah di Singapore dan Malaysia ???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun