Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bosan Belajar Daring, Siswa SMA Indonesia Milih Berhenti, dan Nikah

12 September 2021   09:05 Diperbarui: 12 September 2021   10:53 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

1. Siswa feel free dan berani bertanya selama mentoring online, sehingga kebingungan dan ketidakjelasan menjawab soal, langsung mentor jelaskan sejelas-jelasnya;

2. Siswa feel free bertanya, bisa terjadi karena kelas kecil maksimal 2 sampai 10 siswa. (kalau sekolah konvensional tidak efektif karena muridnya 30 orang lebih);

3. Tak ada kuota waktu, seperti sekolah umum. Misalnya materi harus selesai dalam 2 kali pertemuan mentoring. Di Sekolah Megana, semua tergantung siswa. Kalau belum mengerti, kita jadwalkan mentoring berikutnya.

(itu tiga poin di antara banyak privillage dan keistimewaan yang dinikmati siswa Sekolah Megana; siswa dilayani secara private, bukan model kelas ramai ramai model sekolah konvensional)

Oya, Persyaratan lain agar pembelajaran online berlangsung baik adalah :  

  1. Gadget yang mumpuni, 
  2. Koneksi internet yang stabil
  3. Siswa yang sehat dan siap belajar
  4. Guru yang kreatif dan mengerti teknik mengajar online (bukan metode mengajar konvensional dan di-online-kan)

Jika dua poin pertama sudah semestinya dibereskan Dinas Pendidikan dan KemdikbudRistek --dengan dana melimpah dari APBN dan APBD, maka kita bisa katakan poin ketiga relatif juga terpenuhi.  Karena di masa pandemi, kita lebih perduli pada protokol kesehatan dan di rumah saja. Maka apa lagi yang membuat Learning from home, belajar daring membosankan? 

  • Metode belajar,
  • Kapasitas dan kapabilitas guru, 
  • Kreatifitas kepala sekolah, 
  • Kebijakan Kepala Dinas dan 
  • Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi 

Presiden atau  Gubernur atau Bupati harus berani memanggil Menteri dan Kepala Dinas sampai Kepala Sekolah. "Anda bisa kerja, nggak? Kalau ternyata konsumen pendidikan (= para siswa) tidak tambah pintar dan malah bosan belajar, berarti kinerja Anda bermasalah!" 

Di pihak lain, memang ada analisis yang menyatakan siswa putus sekolah dan memilih menikah --seperti puluhan siswa di Mandailing Natal Sumatera Utara dan sebelumnya siswa di Lombok Timur NTB--  karena faktor kemiskinan, tidak punya gadget memadai, dan kualitas internet jelek.  

Mungkin faktor itu perlu jadi bahan pertimbangan bagi Dinas Pendidikan setempat dan Kemendikbudristek sebagai operator pendidikan nasional. Namun kalau kita baca sebenarnya problem gadget dan kualitas internet itu sudah bisa diatasi. Dinas Pendidikan setempat harus mampu mencari solusi, apalagi banyak perusahaan batubara atau perusahaan pertambangan di NTB dan Sumatera Utara yang tidak pelit jika diminta dana CSR untuk bantu pendidikan toh? 

Namun yang urgent kita bicarakan adalah faktor psikologis dan faktor sosial, siswa yang memilih putus sekolah karena bosan; bukan masalah finansial, bukan masalah kesulitan keuangan dan tak punya gadget atau internet yang memadai, tetapi karena bosan.

Indozone melaporkan bahwa Duh! Bosan Belajar Daring, Puluhan Siswa di Madina Memilih Menikah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun