Politik pendidikan Indonesia berubah sejak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dikawinkan dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) akhir April 2021. Dan Nadiem Makarim, anak muda yang kaya raya yang masuk 100 pembayar pajak terbesar 2020, didapuk menjadi Nahkoda dari Kemendikbudristek.
Para pengamat pendidikan --yang berani jujur-- menyatakan,  penggabungan itu tidak tepat, tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran. Banyak yang membaca bahwa Kemenristek harus masuk ke Kemendikbud agar  BRIN Badan Riset dan Inovasi Nasional punya kewenangan luas dan berada di bawah Presiden.Â
Pengamat Pendidikan bernama Trubus mengatakan Presiden Jokowi lebih baik membereskan masalah pendidikan ketimbang melebur Kemenristek. Alih-alih memajukan riset perguruan tinggi. Posisi dan Keberadaan Kemenristek justru membuat Kemendikbud semakin gemuk dan lambat menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah.
Belajarlah dari KesalahanÂ
Sebelum perubahan nomenklatur ini, Kemenristek pernah gagal saat menyatu dengan direktorat pendidikan tinggi (dikti). Kemenristek Dikti dinilai tak menghasilkan apapun kecuali menghabiskan anggaran.
Protes keras dari kaum pendidik --yang berani jujur-- adalah mengantisipasi dampak kekacauan. Mau dibawa kemana pendidikan Indonesia, jika Kemendikbud untuk pendidikan SD SMP SMA / SMK Â dan Perguruan Tinggi, saja kewalahan mempertahankan kualitas pendidikan di masa pandemi. Sekarang malah ditambah beban meningkatkan Riset dan Teknologi di Perguruan Tinggi, Â demi ambisi agar perguruan tinggi Indonesia tidak kalah dengan Singapura dan Malaysia.Â
Sekalipun Mas Menteri dengan lantang mengatakan ia sanggup memimpin kemendikbudristek, tetapi please, down to earth. Bila perlu, ajak para pengamat pendidikan yang skeptis, termasuk saya,  untuk membuktikan bahwa Kemendikbud sudah berhasil mengatasi pendidikan di jaman corona. Saya siap diajak Mas Menteri mendatangi  siswa formal dan siswa kesetaraan SD, SMP, SMA, dan SMK  yang tinggal di daerah miskin dan terpencil.  Apakah mereka beneran punya kemampuan menguasai pelajaran sesuai standar Kurikulum yang dibuat Badan Standar Nasional Pendidikan.
Memang bisa saja orang Kemdikbud  ngeles dan mengatakan, bahwa kualitas pendidikan SD dan SMP serta guru-gurunya ada di Pemerintahan Kabupaten Kota. Sedangkan kualitas pendididikan SMA dan SMK ada di Pemerintahan Provinsi.  Jadi Kemdikbud tidak harus bertanggungjawab pada kualitas pendidikan formal.Â
Merdeka Belajar = Â Pendidikan Non Formal, Informal dan Homeschooling
Sementara sepanjang catatan saya, Kemdikbud ogah-ogahan mengurusi  pendidikan nonformal, homeschooling dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang menjalankan program Kelompok Belajar (Kejar) Paket A-B-C sebagai alternatif mentuntaskan Wajib Belajar 12 tahun setara SD, SMP, SMA.Â
Padahal sesungguhnya di jaman pandemi yang entah kapan berakhir, harapan rakyat adalah pendidikan nonformal dan informal yang lebih fleksible karena langsung bisa di-adjust dengan konsep pendidikan online. Karena jumlah jam belajar dan materi mata pelajaran  tidak perlu sebanyak sekolah formal. Demikian juga dengan keribetan di sekolah formal yang memaksa siswa harus tetap 40 jam belajar sehingga semua guru / pendidik bisa tetap penuh bekerja 40 jam seminggu, agar  gaji atau honornya tetap rupiahnya.  Â
Pendidikan Non Formal (homeschooling) setara SD, SMP, dan SMA sudah membuktikan kualitasnya tidak kalah, bahkan bisa lebih unggul dibanding lulusan sekolah formal SD, SMP, SMA,  jika tolok ukurnya adalah tembus Seleksi SBMPTN atau Seleksi Mandiri SIMAK UI dan PTN bergengsi lainnya. Padahal siswa Sekolah Non Formal sama sekali tidak mendapat fasilitas bisa masuk PTN tanpa tes.  Seleksi yang sekarang dikenal dengan jalur SNMPTN, yang cuma dimonopoli  siswa sekolah sekolah formal.Â
Walau belum divalidasi, kabarnya mahasiswa dari jalur SNMPTN justru yang paling banyak Drop Out karena tidak sanggup mengikuti materi kuliah di PTN. Â Di pihak lain, para dosen PTN mulai mengakui bahwa etos belajar alumni SMA Non Formal (homeschooling) lebih baik dan lebih tangguh, tidak gampang menyerah terutama di masa pandemi, walau dosen hanya memberi tugas dan sedikit sekali memberi penjelasan materi kuliah online. Â