Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saatnya Menantang Mas Menteri Nadiem Makarim

2 Juli 2020   06:30 Diperbarui: 2 Juli 2020   06:52 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarahan Presiden Jokowi kepada menteri-menterinya --karena tidak aware (tepatnya tidak perduli) pada  kondisi rakyat Indonesia yang makin terjepit di masa Covid-19-- memang wajar dan manusiawi.  Meskipun hal itu tidak bisa membuat  Presiden Jokowi  lepas tangan, karena  yang mengangkat para menteri adalah Presiden; walaupun kabarnya ada desakan dari berbagai orang yang ikut jadi "penyumbang" kampanye Jokowi.

Topik kemarahan Presiden langsung menjadi  diskusi dari warung kopi sampai televisi. Beberapa hari lalu, saya sempat dengar diskusi di berbagai televisi yang mengorek-ngorek kemarahan Presiden pada pembantu-pembantunya.  Dan ada statement yang menarik; bahwa secara kultural dan pengalaman hidup, memang Presiden Jokowi berbeda dengan semua (atau mayoritas) menteri pilihannya. Why? 

Secara fakta kehidupan, Jokowi bersama (mayoritas) 267 juta rakyat Indonesia adalah kelompok yang pernah atau malah sering merasa lapar dan miskin. Sementara mayoritas menteri menteri Jokowi adalah kalangan yang selalu kenyang, dan lahir di keluarga yang mapan bahkan kaya raya. 

Jadi sense of crisis  para menteri Jokowi berbeda dengan mayoritas  rakyat Indonesia. Secara psikologis dan ekonomis memang para menteri Jokowi  tidak mudah atau  sangat sulit membayangkan, apalagi merasakan kepedihan hidup rakyat jelata di masa pandemik ini. 

Para menteri  terhormat ini jarang atau  tidak pernah merasakan kekurangan,  selalu punya uang. Berbanding terbalik dengan rakyat Indonesia yang saat ini sangat kesulitan, bokek,  kebingungan dengan tangisan anak-anaknya yang kelaparan.  

Para menteri mungkin tidak pernah kelabakan; karena kehabisan ide untuk pinjam uang ke siapa lagi;  sementara tiap hari debt collector sudah menunggu di pintu rumah kontrakan. 

Jadi memang tidak bisa otomatis para menteri sensitif dengan kondisi rakyat jelata.  Buktinya di masa covid-19  kinerja para menteri, ya  biasa biasa saja, business as ussual,  tidak ada perasaan apalagi kewajiban untuk  ekstra kerja keras demi rakyat jelata.  Para menteri itu memang dari lahir tidak pernah tahu apa itu kekurangan (materi), sehingga secara naluri mereka  tidak terinspirasi  bekerja cepat dan bekerja keras untuk rakyat yang sakit dan lapar. 

Kami Tantang Mas Menteri

Tentang Kemarahan Presiden Jokowi, kabarnya diarahkan ke sasaran tembak  pada Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, dan Menteri urusan Keuangan,  maka kali ini saya menyoroti kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ya Mas Menteri Nadiem Makarim. 

Beberapa rumor sudah mulai memasukkan nama-nama baru bagi para menteri-menteri yang dianggap sasaran tembak, termasuk Mas Menteri kita, yang tadinya kita (minimal saya) harapkan bisa gerak cepat memperbaiki pendidikan Indonesia. 

Selaku penggiat pendidikan, saya berani mengatakan, sejak dilantik, Nadiem belum optimal melakukan terobosan pendidikan yang nyata dirasakan dunia pendidikan.  

Singkatnya, Mas Menteri masih terbatas  wacana.  Jadi tidak heran jika Mas Menteri belum ada gregetnya menghadapi tantangan pendidikan di masa Covid-19. 

Sebutlah kacau balaunya kualitas penerapan Home Learning menjadi bukti  kalau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak siap. Semua ocehan tentang HOTS High Order Thinking Skills serasa angin sepoi-sepoi, tidak ada wujudnya.

Oke, kita bisa mencoba maklum, kalau pandemi covid-19 membuat penurunan kualitas dan kuantitas pendidikan formal Indonesia. Namun urusan PPDB Penerimaan Peserta Didik Baru seminggu  ini heboh di Jakarta, menjadi satu bukti lagi betapa bermasalahnya pendidikan. Bahwa keputusan Mas Menteri dan pelaksanaannya di tingkat  Dinas Pendidikan di DKI Jakarta menjadi problema tambahan dunia pendidikan (detik.com).

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Para orangtua yang anak-anaknya tidak lolos seleksi PPDB SMP dan SMA Negeri di Jakarta pada 29 Juni 2020 lalu sampai menggeruduk Gedung Kemendikbud.  Sebelumnya,  ratusan orangtua sudah demo menyampaikan kekecewaannya kepada  Dinas Pendidikan DKI Jakarta. 

Selanjutnya mereka protes ke  Gubernur DKI Jakarta yang kebetulan bekas Mendikbud. Dan seperti sudah ditebak, Anies Baswedan tidak mampu menyelesaikan masalah warganya untuk mendapatkan pendidikan. Rumornya Anies Baswedan menasehati para orangtua, jika tidak dapat sekolah negeri,  jangan khawatir, masih banyak sekolah swasta untuk anak-anak Anda. Hmmmm, nasehat yang "tepat" tetapi malah  bikin marah orangtua pendemo.

Selanjutnya para orangtua mencari Mas Menteri untuk mendapat solusi, minimal mempertanyakan dan merevisi aturan seleksi siswa baru PPDB yang memprioritaskan siswa berumur tua daripada siswa berusia muda. Namun kemana ya Mas Menteri? Kok tidak mau menjumpai para orangtua siswa, yang sebenarnya adalah stakeholder pendidikan negeri ini.

Program Home learning ala Kemdikbud

Satu hal lagi yang sangat perlu dikritisi adalah program Home learning ala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Walaupun tidak ada data yang terbuka, bisa kita hitung biaya untuk membayar  TVRI dan pembuat produksi berbagai acara Home learning Kemdikbud. yang sudah berjalan berhari-hari.

Jika biaya siaran dan produksi satu jam Rp100 juta,  bisa dihitung proyek ini sudah menelan milyaran bahkan puluhan milyar rupiah anggaran Kemdikbud. Sebenarnya tidak ada persoalan untuk dana, tetapi yang menjadi masalah adalah kualitas produksi  program Home Learning Kemdikbud tersebut.  

Pertanyaannya, apakah hasil siaran Home Learning yang dibayarin pajak rakyat lewat  APBN itu worth it?

Berapa sedikit  siswa dan guru sekolah formal dan pendidik lembaga nonformal (kesetaraan SD SMP dan SMA) yang  memanfaatkan program Home Learning buatan Kemdikbud?  

Buktinya keluhan siswa dan orangtua mengenai proses Home Learning ke KPAI dan institusi lainnya terus bertambah tambah. Demikian juga para guru sekolah formal dan pendidik lembaga nonformal (kesetaraan SD SMP dan SMA) mengaku tidak  banyak memanfaatkan program Kemdikbud di TVRI dan program belajar di website Kemdikbud, seperti Rumah Belajar, Buku Sekolah Elektronik. 

Program belajar home learning  Kemdikbud yang  kualitas seadanya padahal dana melimpah. Itu  sangat  berbeda kualitas pembelajaran  buatan swasta sebutlah berbagai startup pendidikan yang dananya masih pas-pas-an.  

Demikian juga dengan kualitas TV edukasi, Rumah Belajar, apapun produk Kemdikbud semestinya kualitasnya bisa lebih baik, wong duit produksinya  tersedia, pekerjanya mayoritas ASN, kurang apa?

Jika boleh lebih kritis lagi, apa kabar program  berbudget Trilyunan Rupiah untuk  Program Organisasi Penggerak, Guru Penggerak, dan Relawan Penggerak yang digadang-gadang  bisa meningkatkan kualitas pendidikan melalui guru dan kepala sekolah. Mana buktinya ya?

Usulan Asosiasi Pendidik dan Homeschooling PGRI

Sebagai penutup, sebenarnya sejak awal Maret 2020,  Asosiasi Pendidik dan Homeschooling APHI PGRI sudah mengusulkan beberapa  ide produksi pembelajaran yang menarik dan mampu  membuat semua siswa Indonesia belajar dari rumah.  Tidak muluk-muluk. Tujuan utama adalah membentuk kebiasaan belajar siswa. Sekalipun masih ber-home learning, belajar dari rumah masing-masing, tetap menumbuhkan kebiasaan belajar mandiri siswa.

Berdasarkan pengalaman para praktisi Home Schooling yang sudah sejak 10 tahun melakukan  pembelajaran  secara online (konsep virtual), APHI PGRI siap menggandeng para pakar pendidikan yang berkualitas, para guru berpengalaman, pendidik  terbaik dari PGRI dan berbagai Asosiasi Kependidikan. 

APHI PGRI optimistis bisa mempersembahkan program belajar yang kekinian sesuai dengan Kurikulum Kemdikbud. Bahkan mungkin dengan biaya yang jauh lebih efisien daripada berbagai lembaga pembuat konten produksi made in Kemdikbud.

Sesungguhnya  usulan ini sudah kami sampaikan secara tertulis ke Mas Menteri sejak awal kebijakan Home Learning  sejak Covid-19  masuk ke Indonesia. Namun tidak ada tanggapan. Kami mencoba menyampaikan ke Presiden Jokowi lewat Kantor Sekretariat Presiden untuk disampaikan ke Presiden, tetapi cuma dibalas, terima kasih. 

Ah sudahlah.  Semoga melalui Kompasiana yang katanya sering diintip Pak Presiden Jokowi,  ijinkan kami tantang Mas Menteri untuk  lebih kreatif , lebih sensitif untuk bergerak supaya bisa menjawab semua persoalan dunia pendidikan di masa covid-19 ini dan masa depan anak-anak Indonesia.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun