Kebetulan pula, si teman ini karena perkawinan keluarga, akhirnya bersaudara dengan salah satu pimpinan Partai yang bukan pendukung Jokowi. Akhirnya gayung bersambut, jadilah teman ini menjadi Calon Legislatif nomor urut kecil. Nomor urut kecil tetapi tantangan tidak kecil untuk lolos ke Senayan. Sangihe Talaud ternyata daerah loyalis Jokowi dan PDIP. Pimpinan Daerah yang sedang berkuasa juga dari partai politik tersebut.Â
Melihat kondisi medan perang yang berat itu, teman saya ciut nyalinya. "Saya modal duit pas-pas-an, ilmu juga pas-pas-an, sosmed juga pas pas an, tinggal nama baik ayah saja yang bisa mendukung saya." Akhirnya teman saya ini gatot, gagal total jadi nyaleg. Namun dia sudah meneropong kekalahannya, siap kalah KO. "Gimana nggak kalah, itu Gubernur dan  Walikota sudah ancang-ancang sediakan modal uang dan modal jabatan dari hari pertama mereka dilantik, bukan baru saat kampanye di 2019. Tapi dari tahun-tahun sebelumnya, instruksi untuk memilih calon legislatif yang direstui pimpinan daerah adalah harga mati buat para pegawai dan bisnisannya. Maksudnya jika dia guru, maka ia harus mengerahkan keluarganya, bahkan siswanya untuk mendukung caleg restu Pak Gubernur atau Pak Walikota. Siapa yang tidak mendukung, biasanya akan muntaber, dimundurkan tanpa berita. Jadi dengan kesadaran penuh, teman caleg ini menerima kenyataan, kalah dari petahana, termasuk istri, anak, menantu, ponakan dari petahana yang ramai ramai nyaleg.
Setelah Terpilih jadi DPR
Sudah menyimak jalan berliku menjadi anggota DPR, semestinya manusia terpilih harus memanfaatkan masa sebagai anggota DPR. Wong perjuangannya dan modalnya banyak toh. Namun apa kenyataannya?
Sampai tadi, hari terakhir jabatan DPR 2014 - 2019 kursi-kursi kosong terlihat nyata.  Cuma 300an  yang hadir dari 575 anggota DPR yang terima gaji bulanan dari rakyat (baca APBN). Pada kemana anggota DPR itu? Jika boleh terus terang, bolosnya anggota DPR itu bukan barang baru.
Sejak pelantikan tahun 2014, kondisi malasnya anggota DPR hadir di ruang sidang, di ruang komisi, dan di tempat kerja bukan hal baru. Lalu apa gunanya menjadi anggota DPR jika lebih banyak bolosnya daripada hadir dan kerja di kantor gedung wakil rakyat.Â
Apa sebenarnya yang mereka incar sebagai anggota DPR?Â
Apakah gaji dan tunjangan yang minimal Rp 55.000.000 perbulan? itu belum termasuk fasilitas lengkap rumah dinas dan mobil dinas yang dibayari semuanya, dari uang listrik, internet, PAM, BBM, dan karcis tol? Apakah uang pensiun mulai dari Rp 2.500.000 sampai Rp 5.000.000 an  yang menjamin kenikmatan seumur hidupnya? Catat ya, seumur hidup, Negara masih dibebani membayari pensiun gerombolan politisi yang dipertanyakan, kontribusi nyata kerjanya bagi rakyat. Â
Entahlah, yang jelas setelah melihat kinerjanya, menjadi anggota DPR (DPRD dan DPRD tingkat 2) bukan sesuatu yang terhormat apalagi bergengsi, ternyata. Â Jadi cocoklah, jika selama ini, Â setahu saya, belum ada anak anak Indonesia yang bercita-cita jadi anggota DPR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H