Sebentar lagi Presiden baru dan Kabinet baru Indonesia hadir. Biasanya ganti Menteri, khususnya ganti Mendikbud, ganti semua kurikulum, tetapi kualitas pendidik dan outputnya yakni kualitas  lulusan Indonesia secara rata-rata tetap memble, menyedihkan, tak mampu bersaing dengan lulusan negara lain.Â
Mengapa siklus itu terus menerus terjadi dalam lingkaran setan pendidikan Indonesia? Satu sudut pemikiran saya adalah karena keputusan Menteri Pendidikan. Bukan rahasia, karena Menteri itu jabatan politik, sehingga yang dipilih Presiden menjadi pembantunya, para menteri adalah orang politik, bukan orang yang profesional benar-benar menguasai masalah. Dalam hal ini, Menteri Pendidikan jadi monopoli NU atau Muhammadiyah. Padahal jika Presiden konsisten, semestinya tidak boleh begitu, karena pendidikan adalah lintas agama. Jangan campurkan masalah pendidikan dengan yang lain-lain.
Problema di atas, pasti sudah dibahas ribuan bahkan jutaan kali oleh pemerhati pendidikan. Namun di tahun 2019 ini, tetap hot untuk kita bahas. Dan andaikan saya --ibu rumah tangga, Ketua Asosiasi Pendidik Homeschooling, lulusan S2 yang peduli pada pendidikan, dan berani berkomitmen untuk mendidik anak-anak saya sendiri--  diberi kesempatan menjadi Menteri Pendidikan Indonesia, ini catatan penting yang pasti saya prioritaskan.
Point A,B,C sudah dibahas di Bagian I Â dan Point D,E,F,G dibahas di Bagian II
H. Berikan Akses Homeschooling sebesar-besarnya
Hari gini, ilmu dan pengetahuan bisa diperoleh di mana-mana. Jaringan pendidikan internasional sudah berlomba-lomba membagikannya dengan pembelajaran online. Itu berarti siapapun terutama orangtua mampu menjadi guru.Â
Pengalaman pribadi saya selama 15 tahun memilih jalur homeschooling untuk anak-anak saya makin memantapkan bahwa di antara 50 juta anak Indonesia, ternyata selalu ada yang tidak cocok dengan pendidikan formal. Bukan karena bodoh, tetapi justru karena mereka punya bakat dan minat yang lebih baik dari anak-anak biasa.
Problema di sekolah formal, diakui atau tidak, adalah sistem pendidikan yang satu arah. Di mana guru adalah sentral pendidikan. Sementara hari gini, sangat mungkin murid punya pengetahuan melebihi guru-guru yang malas belajar. Dan biasanya itu membuat anak-anak cerdas ini bosan dan malas ke sekolah.
Jika hari gini masih ada yang berdebat tentang masalah sosialiasi anak-anak homeschooling, waduh kemane aje pak? Â Sosial media dan internet membuka pintu selebar-lebarnya untuk bersosialisasi bagi kita, orang dewasa, dan juga anak-anak kita. Mungkin berbeda dengan konsep sosialisasi yang ada, buat para keluarga homeschooling, sosialisasi adalah bergaul dengan berbagai kalangan di berbagai kesempatan dan berbagai tempat, tanpa terbatas ruang kelas, dan teman sekelas yang itu itu saja.
Jadi sudah waktunya Pemerintah Indonesia memberi akses yang lebih mantap dan luas bagi pendidikan homeschooling. Â Bukan seperti sekarang ini, Kemdikbud memaksa para homeschooler sejajar dengan Peserta Paket ABC, yang pada umumnya peserta usianya lebih dari 30 tahun.
Terlihat sekali betapa tidak kompetennya Kemdikbud sebagai penyelenggara pendidikan dalam memberikan fasilitas kepada orangtua dan kelompok yang memilih jalur homechooling. Alih-alih melayani masyarakat, mereka malah sibuk bersim-salabim mengatakan bahwa pendidikan kemasyarakata sudah berjalan baik. Buktinya peserta Ujian Nasional Paket A, B, C untuk masyarakat yang umurnya lewat usia sekolah (20 tahun ke atas) tetap banyak. Dan angka kelulusan Ujian Nasional Paket A, B, C tetap tinggi.Â
Hahahah, buta atau memang terbiasa main sulap ya? Betapa banyaknya kekonyolan dan penipuan dalam ujian Paket A, B, dan C khususnya bagi peserta usia lanjut yang sekadar hadir di Ujian. Boro-boro belajar Fisika, Kimia, Biologi, atau Belajar Ekonomi, Geografi, Sejarah, atau belajar Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan  Pendidikan Kewarganegaraan yang menjadi materi Ujian Nasional Paket A,B,C.
Hak Akselerasi
Sebaliknya, bagi generasi muda usia sekolah yang dengan sadar memilih jalur nonformal, malah cenderung dipersulit.Â
Pernah saya berdebat dengan supervisor di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Utara, bahwa kalau anak-anak pintar harusnya masuk sekolah formal, jangan nonformal alias homeschooling. Saya sampai bingung, kok bisa manusia begini jadi supervisor pendidikan? Â
Anak-anak cerdas yang memilih jalur homeschooling adalah mereka yang berhitung tentang waktu. Jika ia masuk ke sekolah formal, dari pagi sampai sore, dijejali PR dan tugas-tugas yang tidak signifikan dengan pilihan masa depannya. Misalnya, siswa yang berkecimpung di dunia olah raga, dunia seni, bahkan di dunia programming computer jauh lebih efektif jika memiih jalur homeschooling. Dengan jalur homeschooling, ia punya banyak waktu untuk mengasah minat dan bakatnya, karena tidak kudu ada di sekolah dari pagi sampai sore.
Yang jadi perdebatan berikutnya soal homeschooling adalah hak akselerasi pendidikan. Yakni bisa menyelesaikan pendidikan setara SD, SLTP, dan SLTA kurang dari standar umum formal. Jadi teringat pertemuan dengan Mendikbud Pak Muhadjir yang menyatakan tingkat kedewasaaan dan kematangan anak-anak jangan dipaksa, karena itu Kemdikbud melarang akselerasi.
Pertanyaannya, kok untuk SMA biasa diberikan hak akselerasi. Bahkan ada sekolah "nggak jelas mutunya" di daerah Jl HR Rasuna Said Jakarta, malah menjual konsep akselerasi. Bahwa siswanya cukup menyelesaikan SMA dalam 2 tahun. Sementara anak-anak homeschooling dilarang keras. Ada apa ini Pak Menteri?
Sudah Masuk ke DPR
Sebagai tambahan penting, persoalan akselerasi homeschooling ini sudah kami masukkan dalam rapat dengar pendapat dengan komisi yang mengurusi Pendidikan di DPR Sejak tahun 2017. Bersama Asosiasi Pendidik Homeschooling, PGRI, IGI, dan berbagai organisasi pendidikan lainnya membahas berbagai fenomena pendidikan.
Kabarnya dari DPR masukan tersebut telah disampaikan ke Kementerian. Namun kok tidak ada hasilnya? Â Buat apa ada Komisi Pendidikan di DPR tetapi tidak bisa menjadi sparing partner buat Kemdikbud. Maksud saya, masukan DPR ternyata digratisin Kemdikbud. Aduh !!!
Apa kabar Direktorat Parenting yang digadang-gadang Anies Baswedan?Â
Yang paling menyedihkan, para pejabat di Kemdikbud yakni Dirjen PAUD dan Pendidikan Kemasyarakatan, khususnya Direktorat Pendidikan Kemasyarakatan kelihatannya tidak punya visi dan misi yang jelas tentang pendidikan homeschooling.Â
Pernah di jaman Anies Baswedan, dibentuk Direktorat "Parenting", yakni memberi penguatan kepada para orangtua untuk lebih peduli pada pendidikan anak-anaknya. Semestinya itu jelas arahnya ke para orangtua yang berani mengambil komitmen meng-homeschooling-kan anaknya, baik homeschooling tunggal maupun homeschooling komunitas.
Namun entah apa kabarnya Direktorat "Parenting" itu? Saya coba googling Direktorat Keorangtuaan atau Direktorat Pembinaan Keluarga atau Direktorat bla bla bla tetapi tidak bisa diakses. Dan kinerja Direktorat itu bisa saya katakan, nyaris tak terdengar.
Karena itu, jujur, jika saya jadi Menteri Pendidikan, maka Direktorat Parenting dan Direktorat PAUD dan Pendidikan Kemasyarakatan ini harus dirombak habis. Pejabat yang tidak punya visi dan misi pada pendidikan kemasyarakatan dan perkembangan pendidikan abad teknologi ini, silakan mundur teratur.Â
Semoga masukan ini bermanfaat buat Pendidikan Indonesia.
Jangan ulangi kesalahan pengelola pendidikan, baik dari segi guru dan tenaga kependidikan, urusan anggaran, urusan pukul rata pendidikan dari anak-anak berlatarbelakang ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
Berikan pendidikan yang tepat untuk setiap anak Indonesia. Dan lihatlah, para pewarisÂ
NKRI itu akan mampu tegak berdiri bersaing dengan berbagai anak negara-negara maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H