Para Petinggi Kemdikbud (Dr. Hilmar Farid berbaju hitam)
Ini bukan bercanda. Itu nyata diucapkan oleh seorang siswa SD di depan Anies Baswedan, sehari menjelang Hari Pendidikan Nasional Indonesia.
Anies Baswedan, yang hadir di acara itu, menurut pengamatan sekilas saya, bersikap 'jaim'. Sementara panitia dan penonton tertawa keras mendengar jawaban anak SD itu.
Ya ampun nak, apakah gurumu tidak pernah mengajarkan sejarah dengan benar? Kamu tidak pernah belajar sejarah dengan benar? Kamu tidak suka belajar sejarah? Atau maaf, memang kamu ber-IQ terbatas? Begitu beberapa komentar bapak ibu yang mendengar jawaban sang anak.
Buat sebagian orang, itu mungkin soal sepele. Namun, buat saya yang ikut barisan pendidik, itu sinyal bahwa ada yang tidak beres dengan pendidikan, minimal cara dan materi sejarah dalam pendidikan di Indonesia.
Terlepas anak itu memang malas belajar, sedang capek sehingga otaknya berhenti berpikir, atau maaf, memang bodoh, tetapi jawaban itu membuat saya berpikir keras tentang betapa tidak berakarnya pelajaran sejarah dan juga budaya di Indonesia.
Pelajaran Sejarah Membosankan dan Ada (Pembiaran) Kebohongan
Bukan rahasia kalau banyak siswa (dan guru) mengeluhkan pelajaran yang dianggap tidak berguna, sebutlah sejarah, (dan pendidikan kewarganegaraan) yang dianggap pelajaran membosankan, mengada-ada, dan tak penting bagi masa depan.
Apalagi, sorry to say, materi pelajaran sejarah (dan juga PKN) ada memberi informasi yang tidak faktual alias berbeda antara yang dipelajari (textbook) dengan kenyataan yang pelan-pelan terungkap. Sebutlah:
- Peristiwa G30S PKI,
- Sumpah Palapa Gajah Mada yang ternyata cuma urusan dagang, dan tidak ada urusan dengan persatuan Nusantara (baca klaim palsu atas sumpah Gajah Mada),
- Kerajaan Majapahit hanya menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak pernah punya area seluas Nusantara Indonesia ,
- Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 ternyata tidak pernah ada ungkapan 'Sumpah Pemuda' karena yang dihasilkan adalah 'Keputusan Kongres',
- Bahwa ungkapan 'Sumpah Pemuda' baru ditampilkan di tahun 1950-an hasil kreasi Mohamad Yamin,
- Dan lain-lain.
Selanjutnya perlu digaris bawahi bahwa kebanyakan guru Sejarah (dan guru Pendidikan Kewarganegaraan) cuek, tidak punya sisi kritis, mereka terima mentah-mentah saja buku sejarah yang direstui Kemendikbud.
PR besar untuk Para Dirjen Kemdikbud, terutama Pak Dirjen Kebudayaan(yang membawahi Direktorat Sejarah)
Pak Dirjen Kebudayaan Dr. Hilmar Farid, yang kebetulan bertitel Doktor Sejarah, tolong bereskan dan benahi pelajaran sejarah Indonesia. Segera. Sudah saatnya materi pelajaran sejarah dikembalikan kepada kebenaran berdasarkan fakta.
Curcol untuk Doktor Hilmar Farid (yang baru dilantik 31 Desember 2015)
Silakan Anda sibuk dengan berbagai administrasi dan rencana-rencana 'mercusuar pendidikan budaya dan sejarah'. Tetapi tolong renungkan, bahwa fenomena yang saya persoalkan ini sesungguhnya puncak gunung es dari keterpurukan kualitas pengajaran termasuk materi textbook sejarah dan kualitas guru dan siswa.
Tolong buka mata dan hati. Bahwa kejadian yang saya paparkan itu benaran terjadi, di acara Kemdikbud, di depan para petinggi Kemdikbud. Kok bisa siswa SD berujar Bapak Pendidikan Indonesia adalah Anies Baswedan.
Akhirnya saya sepakat dengan pendapat peneliti dari Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung Acep Iwan Saidi. "Pendidikan kita hanya menyentuh permukaan. Tidak ada pembentukan karakter maupun pencapaian kebahagiaan, yang mestinya menjadi prestasi tertinggi belajar."
Jadi pertanyaan paling penting dari ruwetnya pendidikan adalah, apakah anak-anak sudah mencapai kebahagiaan selama di sekolah?
Karena kalau ia bahagia, maka ia akan mempunyai karakter yang baik, termasuk rajin belajar (tidak perlu disuruh-suruh) dan kreatif (membuat ia bisa merasakan, mengalami, dan tidak sekadar menghapal) sehingga mampu mengingat dan akhirnya mempraktikkan nilai moral dari pelajaran sekolah dalam kehidupan sehari-hari dengan tepat dan sesuai.
Dan salah satu hasilnya yang paling sederhana, seharusnya semua siswa Indonesia mampu menjawab bahwa Bapak Pendidikan Nasional adalah Ki Hajar Dewantara, yang punya nama asli Soewardi Soerjaningat, dan bukan Anies Baswedan. Hmmmmm!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H