[caption caption="Reuni FPRI 2016"][/caption]Penggalan puisi dari wartawati kawakan Linda Djalil menjadi satu kisah dari belasan bahkan puluhan kisah menarik sepanjang kemarin. Yakni ketika lebih dari 60 putri Indonesia berkumpul. Yap, beneran putri, karena mereka putri-putri khayangan dalam ide, cita-cita, kepribadian dan karakter, tetapi tetap menjejak kaki dan pretasinya di bumi. Mereka adalah para finalis PUTRI REMAJA INDONESIA yang digelar tahun 1975 - 1988.
Buat yang berusia + 40 tahun dan suka membaca media, semestinya masih ingat jika kegiatan pemilihan (finalis) PUTRI REMAJA INDONESIA (FPRI) yang digelar Majalah Gadis, kelompok penerbit Femina dan Gaya Favorite Press. FPRI termasuk ajang yang fenomenal Indonesia, karena animo pesertanya yakni remaja putri usia 15 – 25 tahun untuk ikut berkompetisi sangat besar. Biasanya panitia kebanjiaran ribuan formulir pendaftaran, tetapi hanya 20 puteri remaja yang ikut dalam kegiatan FPRI. Yang membuatnya fenomenal karena panitia seleksi benar-benar jeli memilih yang memenuhi standar tinggi baik penampilan, kecerdasan, dan terutama karakter. Kejelian itu nyata terbukti dari profile dan prestasi para FPRI di 2016 ini.
Reuni FPRI kemarin adalah acara temu kangen yang berhasil mengumpulkan paling banyak FPRI dari semua angkatan, yakni tahun 1975, 1976, 1977, 1978, 1980, 1985, 1988. Jika setiap angkatan ada 20 finalis, maka semestinya ada 140 gadis remaja (sekarang sudah menjadi perempuan dewasa, menjadi ibu, menjadi eyang) dari berbagai tempat Indonesia yang pernah mencicipi lima hari bersama-sama.
Dan sepanjang pagi sampai sore kemarin, terjadilah temu kangen karena banyak sekali yang baru bertemu kembali setelah puluhan tahun tak bersua. Teriakan kaget senang dan pelukan erat menjadi bagian dari reuni yang digelar di rumah indah milik Putri Remaja 1976, yang kini sudah menjadi Prof Dr drg Melanie Sudono Djamil di Kebayoran Baru Jakarta.
Apa Kabar FPRI ?
Reuni yang indah ini tidak lupa mengundang Pia Alisjahbana sebagai think-tanker pemilihan Putri Remaja Indonesia dan Tini Hadad sebagai chaperon yang mendampingi para putri selama di asrama. Bu Pia yang kini sudah lewat usia 80 tahun mengaku terharu dan bangga mendengar kondisi para putri pilihannya. Dengan berkaca-kaca, Bu Pia sempat menyatakan, bersyukur karena setiap finalis Putri Remaja tetap menjaga martabatnya, bahkan berprestasi terus dan terus.
Beginilah Laporan kondisi FPRI di tahun 2016 yang diungkap oleh Baby Anita Joewono, FPRI 1976 yang dikenal sebagai praktisi dan dosen PR dan Public Speaking di Surabaya (dan Kompasianer juga) yang menjadi Pembawa Acara seru kemarin. Sudah ada minimal empat FPRI bergelar professor, S-3 di bidang sains dan sosial sains, puluhan bergelar master, dan hampir semua mengantongi gelar sarjana.
Kalau ditanya apa saja profesi para Finalis Putri Remaja Indonesia saat ini? Yang paling utama dan paling penting adalah sebagai ibu dan istri, sehingga tidak terlalu kaget kalau dalam CV pribadi terungkap bahwa kemandirian dan kecerdasan para FPRI ini berbanding lurus dengan putra-putrinya. (Hmmm, bisa jadi ini sejalan dengan teori bahwa kecerdasan adalah gen dari Sang Ibu).
Profesi FPRI yang sempat saya intip dari buku kumpulan CV dan Kisah Inspirasi FPRI sangat beragam antara lain: dokter , dokter gigi, pimpinan rumah sakit, psikolog, dosen, peneliti, pemusik, penulis, model papan atas, politikus (anggota DPR, anggota MPR, DPRD), Pimpinan lembaga formal dan NGO, konsultan profesional lintas negara, penggiat homeschooling, hacker / programmer / penulis, hingga pejabat di Pemda, kepala rumah sakit, pimpinan fakultas, kepala bagian, direktur perusahaan Tbk, sampai pemilik rumah produksi, pemain musik, pemilik paten teknik untuk bagian pembuatan bandar udara, desianer kain, penyanyi, guru tari, artis, model profesional, dan wiraswasta.
Beberapa nama jebolan FPRI yang mungkin Kompasianer dengar, bahkan kenal (hehehe) antara lain, Okky Asokawati, Dhani Dahlan, Mungky Pusponegoro, Nana Krit, Irma Hutabarat, Petty Tunjung Sari (putri Titiek Puspa) Ratih Sanggarwati (Ratih Sang), Tika Bisono, Melanie Sudono, Ria Heriani Tobing, Baby Juwono, Sita Adhisakti, Andi Yuli Paris, Wulan Kaligis, Nina Akbar Tanjung, Mia Thereskova alias Mia Panbers, Dian Entoh, Yanti Triwardiantini, Fida (ibunda Zaskia Mecca), Junita Halim, Sjulli Darsono, Anne Rufaidah Tjandra Wibowo, Mercy Sihombing, Zara Zettira, Noviana Kusumawardhanie (bude Novi), Ade Hestia, Religia, dan tentunya masih puluhan putri berperstasi lainnya.
Selain itu, dalam reuni, tidak lupa dipanjatkan doa, bagi beberapa FPRI yang sudah menghadap Sang Maha Kuasa. Walaupun sudah tiada, kenangan indah bersama mereka adalah bagian tidak terpisahkan bila putri--putri dari khayangan bertatap muka.
Waktu Membuktikan
Tidak terasa 40 tahun berlalu sejak ajang seleksi Finalis Putri Remaja Indonesia. Dan sepanjang waktu itu, setiap Finalis berjuang mengisi lembaran hidup dengan tinta emas sehingga menghasilkan karya terbaik sesuai kemampuan masing-masing.
Jadi tidak perlu terlalu heran jika dari daftar prestasi sepanjang kurun waktu 40 tahun tersebut, upaya kerja keras dan kerja cerdas membuktikan FPRI terus mencetak berbagai prestasi di bidangnya masing-masing.
Apakah mereka selalu sukses? Tentu tidak, sukses itu bisa terjadi kalau kita sudah lebih dulu gagal. Sebagai manusia biasa, para FPRI ini juga banyak mengalami pahit getir perjuangan. Namun dengan “gelar” yang mereka sandang sampai hayat dikandung badan, maka semangat menjadi Putri menjadi dorongan untuk terus berusaha melakukan yang terbaik bagi Indonesia.
Apalagi di tengah gempuran berbagai hasil ajang sejenis, seperti Miss Indonesia, Putri Indonesia, Putri Ayu, dan sejenisnya, maka finalis Putri Remaja Indonesia, ternyata setelah puluhan tahun berlalu, alumni FPRI mampu membuktikan menjadi komunitas yang membanggakan. Sejauh ini, alumni FPRI seperti ungkapan Dr Pia Alisjahbana, tetap membanggakan dalam konteks menjaga karakter sebagai perempuan Indonesia yang tangguh, cerdas, menghormati orang lain, menghormati diri sendiri, dan senang berbagi, terutama kepada bagian bangsa Indonesia yang sedang menghadapi berbagai bencana dan ujian hidup seperti korban banjir Jakarta 2012 dan korban Gunung Sinabung Tana Karo 2013.
Akhirnya,
Menjadi Putri adalah pengalaman indah dan bermakna yang mengubah hidup
seorang gadis muda menjadi perempuan dewasa yang tangguh.
Menjadi Putri adalah perjuangan melawan godaan dan kesombongan
karena berhasil lebih berprestasi dibanding orang lain.
Menjadi Putri adalah kenyataan bahwa ia manusia biasa,
tidak luput dari cacat dan cela, tidak bebas dari terjangan penyakit dan derita.
Menjadi Putri adalah menjadi pelita di mana saja Tuhan tempatkan,
di keluarganya, di pendidikannya, di kariernya, dan di bangsa dan negaranya.
Menjadi Putri merupakan tanggung jawab seumur hidup di dunia,
menggali potensi optimal dan menjaga martabat sebagai perempuan Indonesia.
Karena itulah Menjadi Putri adalah amanat dari Sang Maha Kuasa supaya senantiasa menjadi saluran berkat di mana saja berada.
Di tahun 1975 sampai 1988, Majalah Remaja GADIS menggelar ajang Puteri Remaja.
Saat itu ajang pemilihan yang dikenal bukan sekadar pemilihan gadis remaja cantik dan pandai bergaya,
melainkan harus berprestasi, berbakat, dan mempunyai visi dan misi untuk masa depannya.
Persaingan sangat ketat karena peminatnya bisa ratusan
bahkan ribuan gadis muda yang juga punya prestasi dari seluruh Indonesia,
Namun hanya 20 peserta terpilih di setiap ajang Putri Remaja Indonesia. Mereka dikumpulkan, dilatih, diwawancara,
dan menunjukkan bakat dan kemampuannya dalam Final Putri Remaja Indonesia.
Ajang yang selalu dikemas apik dan kreatif sehingga selalu ditunggu jutaan gadis muda Indonesia .
Sayangnya, ajang Finalis Putri Remaja Indonesia hanya 7 kali digelar, yakni di tahun 1975, 1976, 1977, 1978, 1980, 1985, dan 1988.
Setelah itu sampai sekarang Indonesia disuguhkan berbagai ajang pemilihan putri yang selintas serupa tetapi tidak sama. Mengapa tidak sama, karena standar seleksi dan tujuannya berbeda. Dan memang akhirnya waktu juga yang membuktikan siapa yang layak disebut Putri Sejati (remaja) Indonesia.
Tidak terasa lebih 40 tahun berlalu dan berkat kecanggihan teknologi para Finalis Putri Remaja Indonesia FPRI bisa berkumpul lewat Whatsapp dan facebook Finalis Putri Remaja Indonesia.
Uniknya, setiap finalis Putri yang bisa berjarak 15 tahun,bebas berkomunikasi tentang apa saja: politik, ekonomi, kesehatan, makanan, suka duka menjalani hidup, dan berbagai isu yang hangat di jejaring sosial. Sebutlah ketika topic Miss Universe 2015 yang tertukar, atau berita seorang finalis Miss Indonesia yang ditangkap polisi di kamar hotel. Tiga jam ditinggal, biasanya sudah ratusan pesan masuk di WA FPRI.
Kualitas dan kecerdasan finalis para putri tetap terasah dan terkadang menimbulkan decak kekaguman. Ternyata aura ke-putri-an dan karakter positif masih tetap terjaga sampai di usia senja.
Dari data Apa Kabar FPRI 2016, alumni FPRI banyak memilih berkarier di bidang non-entertainment, seperti pendidik, penggiat homeschooling, dosen, dan praktisi Kedokteran (gigi), teknologi, psikologi, coding komputer, pertanian, humaniora, hukum, politik, DPR, staf ahli MPR bahkan sebagai philantropist.
Jangan ditanya mengenai gelar pendidikan, bisa dikatakan para alumni FPRI bergelar Sarjana, Master, bahkan Doktor dan Doktor Honoris Causa. Yang lebih membanggakan adalah anak-anak tercinta dari para FPRI juga berprestasi, termasuk sudah sarjana dan master di dalam dan luar negeri.
FPRI juga perduli pada sesama.
Saat banjir menenggelamkan Jakarta 2013 dan Gunung Sinabung melumatkan Tana Karo Sumatera Utara 2014,
FPRI tanpa banyak kata sudah mengirim bantuan nyata langsung ke para warga yang menderita.
Semoga "Putri-Pualumni FPRI, terus berkarya bagi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H