Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

11 Mitos yang Membuat Bakat Anak, Terkubur

5 Desember 2015   05:57 Diperbarui: 5 Desember 2015   07:19 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Wowww, nggak nyangka masih banyak aja yang salah kaprah tentang homeschooling. Padahal kalau mau googling sedikit aja (keyword: Homeschooling Myths) sudah banyak yang tunjukkan dan buktikan secara riset ilmiah dan kenyataan.

Minimal ada 11  MITOS yang SALAH TENTANG HOMESCHOOLING (tapi masih banyak yang percaya, dan diam-diam mengubur potensi anak-anaknya)

  1. Anak yang bersekolah formal lebih baik sosialisasinya daripada Homeschooler

(benar-benar terbalik!. Coba introspeksi,  ngomong “kotor”, trauma di bully, biasanya hasil sosialisasi di sekolah, kan?)

  1. Homeschooler tidak punya teman

Justru karena belajar dan bersosialisasi dengan berbagai kalangan, homeschooler punya lebih banyak teman dan lebih variatif, nggak terpaksa berteman dengan itu-itu saja.

  1. Homeschooling pasti mahal

Berdasarkan pengalaman saya homeschooling sejak tahun 2004, karena menghomeschoolingkan anak-anak saya, justru pengeluaran untuk pendidikan mereka maksimal cuma ½  total biaya dibandingkan ponakan saya yang seusia di sekolah formal (dengan kualitas dan pergaulan yang setara).

  1. Orang tua harus berbakat jadi guru,

Kalau kebetulan ya bagus, tapi guru homeschooling pilihan banyak, ada link internet yang memuat berbagai jawaban teraktual, ada tutor yang punya ilmu pengetahuan dan siap membantu.

  1. Homeschooling hanya belajar di rumah,

MercySmart Homeschooling memberikan kesempatan anak belajar di rumah bersama orangtua, dan juga di komunitas. Belajar di komunitas bersama homeschooler lainnya dan dibimbing tutor + fasilitas link internet. Komunitas selalu terbuka dari Senin sampai Jumat

  1. Bahwa sekolah formal, kelas formal = “alam bebas”  

Silakan kritisi,  di mana anak-anak berada, dari masuk kelas sampai pulang sekolah? Setahu saya, murid sekolah formal dikungkung di dalam kelas terus. istirahat 30 menit berebut ke kantin atau jajan di pinggir pagar sekolah. Berjibaku makan dan buang air kecil, lalu kebirit-birit masuk kelas lagi.

       7. Pendidikan dikelompokkan berdasarkan usia adalah tepat

Untuk menyatakan itu tepat atau tidak sangat relative.  Mengingat dunia sekarang sudah terbuka, dan persaingan terjadi di berbagai lintasan umur, maka kita akan ketinggalan jika berpatokan pendidikan harus dikelompokkan sesuai usia.

Contoh nyata, Andre Christoga (11 tahun, homeschooler) dan Christie Kirana (16 tahun, lulusan homeschooling, sekarang kuliah) mampu bersaing dengan para programmer lulusan Universitas di ajang Hackathon (kompetisi membuat applikasi computer tingkat nasional dan internasional)

Kalau harus menunggu waktu pendidikan berdasar kelompok umur, maka Andre dan Christie harus menunggu usia 18 tahun untuk bisa belajar programmer computer dan di usia 24 tahun baru ikut kompetisi.

 

8. Homeschooling tidak diakui pemerintah (Salah banget. Bahkan Tahun 2015 ini, Pemerintah  lewat Kemdikbud langsung membuka Direktorat Keayahbundaan, yang meunjukkan makin pentingnya peranan orangtua bagi pendidikan anak-anaknya).

Undang Undang Sistem Pendidikan Indonesia malah menjamin anak-anak Indonesia bisa ke luar masuk sekolah formal dengan model multiple entry dan exit.  Dan percayalah, saya sudah membuktikannya. Selain itu, Kemdikbud mendukung pilihan homeschooling penuh atau homeschooling paruh waktu, yakni anak bisa sekolah formal sekaligus homeschooling sebagai sekolah partner.

9. Rumah harus memiliki fasilitas pembelajaran lengkap

Kalau ada bagus sekali, tetapi pengalaman saya, kita bisa melengkapi kekurangan fasilitas dengan kreatif. Misalnya belajar tata surya dengan mengunjungi Planetarium atau Peneropong bintang Boscha di Lembang, dengan biaya terjangkau  

  1. Orang tua harus full time menjadi guru buat anak

Kenyataannya banyak sekali Single Parent yang harus pontang panting cari uang, tetapi tetap bisa meng-homeschooling-kan anak-anaknya.,

  1. Homeschooling hanya untuk anak berkebutuhan khusus

Bebeberapa lembaga memang khusus melayani anak-anak autis, down syndrome atau yang tidak bisa bersekolah formal karena keterbatasannya. Namun di MercySmart Homeschooling yagn bersekolah adalah anak-anak biasa, tetapi memilih mengisi waktu 24 jam tidak melulu belajar kurikulum dan terpaksa les ini itu untuk mengejar nilai. Sekolah harusnya fun, bukan beban.

Di-inspirasi dari tulisan Kresna Aditya di salah satu situs homeschooling.

Itulah Mitos tentang Homeschooling.

Mau tahu bagaimana realitas dan faktanya?

Silahkan 11 pernyataan itu  di balik. Bahwa Kalau mau sosialisasi bagus, jangan giring anak-anakmu belajar di sekolah formal. Apalagi kasus sepanjang 2015 yang membuat kita bergidik betapa sekolah formal menjadi ajang pembantaian anak-anak kita. 

baca : KPAI : 52% ibu khawatir anaknya jadi korban kekerasan di sekolah (formal)

 

Oya, karena homeschooling itu sistemnya fleksible, maka jika anak-anak Anda mulai merasa tidak kerasan, tidak termotivasi belajar di sekolah formal, per-Januari 2016 bisa gabung dengan komunitas Homeschooling MercySmart. Kalau di Jakarta bisa langsung ikut komunitas di Kelapa Gading dan 7 tempat lainnya di Jabodetabek.

Kalau yang luar Jakarta, bisa dengan offline system dan anytime bisa daftar. 

Sekolah dan Masa Sekolah harusnya menjadi pengalaman yang fun dan menggali potensi bakat anak-anak semaksimal mungkin. Jangan dirampas dengan ambisi sekolah-sekolah formal sehingga anak harus mati-matian les sana sini untuk mendapat nilai baik. Padahal potensi dan bakat anak bisa jadi tidak bersentuhan dengan nilai-nilai kurikulum di sekolah. Bisa jadi anak-anak kita lebih suka bidang programming komputer, lebih suka menjadi atlet, lebih berbakat di bidang seni, lebih antusias berdagang dan wiraswasta. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun