Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Harusnya Fun, Bukan Beban!

9 September 2015   16:42 Diperbarui: 9 September 2015   17:02 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ingin dicari akarnya, maka saya cenderung mempersoalkan standar pendidikan di sekolah yang ambisius. Bukan rahasia persaingan antarsekolah yang makin meruncing membuat setiap sekolah berlomba menambah bobot pelajaran, melebihi standar yang ditetapkan BNSP Badan Nasional Standar Pendidikan, lembaga di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sering saya dengar kalau ada ibu yang bangga sekali dengan curhat, "Pelajaran anak saya yang masih kelas 2 SMP itu seperti pelajaran SMA kelas 1." Atau komentar, "Saya saja udah nggak ngerti pelajaran anak saya sekarang, matematikanya susah sekali, padahal baru kelas 4 SD loh." (Hm, ini mah kemungkinan ibunya yang oon, wkwkwkw)

Kembali ke kasus awal, anak 6 tahun yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa.  Kalau saya analisis, anak itu kelas 1 SD. Siswa kelas 1 SD sudah dituntut untuk lancar membaca bahasa Indonesia, lancar matematika, terutama aritmatika pertambahan. Selain itu, anak juga dituntut sudah bisa menulis dengan bagus.

Padahal jelas-jelas Badan Nasional Standar Pendidikan membuat standar yang berbeda. Bahwa sepanjang kelas 1 SD, anak baru dikenalkan huruf dan angka. Setelah lancar dan mengenal huruf dan angka, baru siswa diajar lancar membaca dan berhitung (aritmatika). Namun kenyataannya, hampir semua orangtua yang saya kenal, kocar kacir memberi les tambahan anaknya sebelum masuk SD. Bahkan kebanyakan orangtua mencari TK atau Playgroup atau PAUD yang bisa menjamin anaknya lancar membaca, menulis dan berhitung. Makanya bermunculan Les membaca, atau Les Calistung (Baca Tulis Hitung) yang sasarannya adalah anak usia dini, anak di bawah usia 6 tahun. Bahwa semakin cepat sang anak bisa membaca menulis dan berhitung, maka semakin bangga orangtuanya.

Para orangtua itu tidak merasa rugi, bahwa waktu bermain anaknya dihabiskan untuk belajar dan belajar. Sekalipun ada juga metode yang fun dalam mengajar calistung tadi, tetapi tetap saja, anak kehilangan waktu bermainnya. Bahkan waktu bermain yang prime time yakni setelah anak tidur siang malah dikorbankan untuk les dan les dan les.

Entah mengapa orangtua yang mencintai anaknya, memilih mengikuti alur pikiran demikian. Orangtua tidak protes, malah cenderung setuju, demi menyelesaikan PR sekolah, waktu istirahat dan waktu bermain anaknya harus hangus karena les pelajaran.  Bahwa memang anak harus jadi yang terbaik sesuai standar sekolah yang sangat ambisius. Namun kembali lagi, seperti tulisan mbak Muthia

Ambisi orang tua terlalu tinggi.

Pertama, karena berorientasi pada keberhasilan secara materi. Kalau anak selalu juara kelas, bersekolah di tempat favorit lalu mendapat gelar sarjana di universitas bergengsi, dan pada akhirnya diharapkan bekerja sebagai profesional yang berpenghasilan tinggi, cepat kaya dan memiliki jabatan terhormat.

Kedua, karena orang tua melampiaskan keinginan-keinginannya sendiri yang dahulu tidak tercapai, misalnya ingin menjadi orang terkenal, ingin menjadi jutawan, atau ingin menjadi pejabat. Mereka lalu memaksakan anak-anaknya sesuai dengan ambisi mereka dahulu.

Ketiga karena orang tua mengidolakan seorang tokoh atau selebriti dan menginginkan anak-anaknya seperti tokoh tersebut. Dalam hal ini sesungguhnya orang tualah yang pantas diperiksakan kesehatan jiwanya.

Fakta di balik ambisi orang tua sebenarnya adalah pelarian dari ketidakmampuan orang tua dalam mengasuh anak. Misalnya karena kesibukan bekerja, mereka tidak sempat lagi membantu anak-anak belajar dan mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah). Jika anak mengalami kesulitan belajar, maka dilimpahkan kepada lembaga Bimbel atau tempat di mana mereka mengikuti les. Selain kesibukan bekerja, orang tua juga enggan meng-up grade kemampuannya dalam pelajaran-pelajaran yang diikuti anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun