Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Harusnya Fun, Bukan Beban!

9 September 2015   16:42 Diperbarui: 9 September 2015   17:02 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prihatin tetapi tidak kaget mendengar berita siswa SD masuk RS Jiwa karena stres kebanyakan les (pelajaran). Kasus yang terjadi di Jakarta itu, mungkin semacam demografi gunung es. Satu kasus mencerminkan kasus 10 siswa atau 100 siswa bahkan 1000 kasus sejenis yang sudah ada tetapi tidak terangkat ke permukaan.

Rasa penasaran mengapa hal sejenis masih terjadi,  karena kasus serupa juga terjadi, tetapi berhasil diredam dan tidak terekspose ke sosmed. Mengapa? Setelah browsing sana sini, saya setuju dengan artikel headline di Kompasiana http://www.kompasiana.com/empuratu/anak-masuk-rs-jiwa-karena-kebanyakan-les_54f3b2f9745513902b6c7ccb tulisan Muthia Alhasany.

Saya kutip tulisan mbak Muthia, mengapa sampai anak sekolah di Indonesia sampai "dikorbankan"

Keberhasilan anak hanya diukur sebatas nilai akademik, tetapi mengabaikan pendidikan mental. Anak-anak tak ubahnya seperti robot-robot yang diciptakan untuk mengikuti perintah, bukan sebagai individu-individu merdeka yang bebas berkreasi dan berinovasi. Angka-angka di raport menjadi acuan sehingga orang tua memaksa anak untuk mencapai nilai tertinggi agar dibilang anaknya pintar.

Menyamaratakan Kemampuan Anak

Sistem sekolah yang konvensional menyamaratakan kemampuan anak dan menyimpulkan dalam nilai standar rata-rata kelas. Jika si anak melebihi nilai standar kelas, apalagi anak kita bisa yang tertinggi nilainya, berarti anak kita pintar. Sedangkan mereka yang hanya mampu mencapai sekadar nilai standar,  apalagi siswa yang rangking 1 atau dua dari belakang alias hanya mampu meraih di bawah standar rata-rata kelas, itu jelas anak bermasalah, atau (maaf) biasa diberi predikat sebagai anak yang lemah atau bodoh. 

Buat orangtua yang perduli, anak bodoh harus dibantu semaksimal mungkin. Cara yang paling lazim adalah memberi les tambahan pelajaran, atau tepatnya mengulang pelajaran yang nilainya tidak memuaskan di sekolah.

Namun yang sering terjadi, orangtua yang ambisius tetap memberikan anaknya les, sekalipun nilai anaknya sudah setara rata-rata kelas atau malah paling pintar di kelas. Mungkin agar anaknya selalu jadi yang terbaik.

Dari sudut pandang guru, di masa sulit ini, adalah kesempatan untuk mendapat tambahan uang dari  les para murid. Siapa saja yang butuh les dipersilakan, sepanjang mampu membayar.

Sementara puluhan tahun lalu, guru SD saya menolak menerima siswa yang ingin tambahan les, kecuali siswa itu memang nilainya rendah banget dan orangtuanya tidak sanggup mengajarinya.

Persaingan Antarsekolah 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun