Mohon tunggu...
Budi Wahyuni
Budi Wahyuni Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Ibu bersuami yang dianugerahi 2 putri dan 1 putra

Belajar ilmu-ilmu bermanfaat sampai akhir hayat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dukamu Pasti Berlalu, Adik Ipar

25 November 2021   16:24 Diperbarui: 25 November 2021   16:57 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


" Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, Meski kau tak cinta kepadaku,Beri sedikit waktu, Biar cinta datang kar'na telah terbiasa..."Penggalan lagu "Risalah Hati" dari Dewa 19 yang disenandungkan putriku, melayangkan memoriku akan kisah sobatku Sinta, yang semalam curhat tentang pertemuan dengan teman sekolahnya dulu.

 Dalam benakku terbayang Iwan, teman Sinta, yang menyanyikan lagu itu untuk Sinta. Iya, memang Iwan harus berjuang keras dulu sebelum hati Sinta luluh dan mau membuka hati untuk laki-laki lain.  Kisah memilukan baru hampir setengah tahun dialami Sinta. 

Suami tercintanya, Adi, telah berpulang ke Sang Pencipta, karena tak tertolong dari penyakit pandemi yang hampir 2 tahun melenggang di bumi nusantara ini.


"Mba, kami ada di RS Pasar Minggu, Mohon doanya mba untuk mas Adi, dia ada di UGD," Sinta menelponku sambal terisak. Lemas dan agak panik saat kudengar berita darinya saat itu. Adi, teman SMA yang cukup dekat denganku. Dulu kami sering belajar bersama dengan beberapa teman lain, yang memang tak jauh-jauh lokasi rumahnya. Karena kesibukan kerja dan rumah tangga, kami lama sekali tak bertemu. Baru dekat lagi  tahun 2018 saat reuni-an di Kepri, Tanjung Pinang. Sinta, istrinya ,  cerita banyak hal yang terputus saat kami lama tak jumpa. Sejak saat itu, sering kupanggil Sinta dengan sebutan "adik ipar."


Adi seorang suami yang siaga, senantiasa mengantar Sinta untuk mengurusi keperluan rumah tangga dan anak laki-laki mereka yang berjumlah empat orang. Sering juga Sinta yang gantian menyetir mobil atau motor untuk keperluan itu. 

Senang melihat kekompakan mereka yang selalu berdua kemana saja, ke sekolah anak, ke pasar, ke tempat kerja, ke pesta. Ada Adi bisa dipastikan ada Sinta. Walau anak-anak beranjak dewasa tak luntur panggilan "honey" dari Sinta untuk Adi dan "dek" panggilan Adi untuk istrinya.


"Gimana ceritanya Sin, kok kalian bisa ada di RS Pasar Minggu?" tanyaku sambal ikutan terisak. "Sebetulnya sudah satu minggu mas Adi demam, tapi dia nggak mau ke dokter. Katanya paling sebentar juga sembuh. Dia memang isolasi di kamar sendiri, tapi aku khan yang merawat dia, jadi aku ikut terpapar juga mba. Mas Adi sempat pingsan di rumah, jadi aku diantar tetangga cari-cari Rumah Sakit. Ternyata susah banget cari tempat di Rumah Sakit, bersyukur masih bisa diterima di RS Pasar Minggu walau pake setengah maksa juga ke dokter jaganya."


Kepalaku mulai penuh berisi sederetan tugas what to do untuk membantu proses pemulihan Adi. Pertama-tama membuat info di WAG tentang kondisi Adi dan minta banyak doa dan dukungan teman-teman. 

Aku juga memesan madu khusus untuknya melalui ojol. Berusaha untuk memantau perkembangan kesehatan mereka yang di awal tiga hari pertama menunjukkan pertanda baik. Sinta sudah dipindahkan ke ruangan khusus perempuan, ada lima orang pasien dalam satu kamar. Adi baru dua hari kemudian bisa dipindahkan ke ruangan khusus pasien laki-laki.


Sinta hanya bisa memantau kondisi suaminya lewat HP. Dia tidak diperkenankan ke luar ruangan oleh para suster penjaga. Sinta akan minta bantuan suster di kamar rawat suaminya, bila suaminya memerlukan pertolongan suster.  Adi saat itu masih harus menggunakan cateter dan terbaring terus di tempat tidur. Ia mengalami pneumonia juga, sehingga perlu perawatan lebih intensif.


Berbeda dengan Adi, Sinta yang lebih kuat staminanya, malah bisa membantu para suster yang kewalahan mengurusi pasien covid yang membludak saat itu. 

Sinta bantu mengurusi pasien yang akan ke kamar mandi, yang takut minum obat, yang mau nge-charge HP atau yang ribut minta pulang. Semua pasien dikamarnya berusia jauh lebih tua dari Sinta. 

Karena perhatiannya pada pasien lain, Sinta dipanggil "Ibu Lurah" oleh para suster. Hubungan Sinta dan para suster sudah layaknya seperti keluarga. 

Suatu hari ada pasien baru masuk ke kamar mereka. Menurut Sinta pasien itu sangat stres sampai kejiwaannya terganggu. Ia tak bisa membuka pintu kamar mandi, susah memakai baju sendiri, kadang sudah dibantu memakai selimut malahan dibuka lagi dan sering mengganggu waktu tidur Sinta. Ada juga kisah lucu pasien yang stres itu, membuat Sinta tertawa waktu menceritakannya.


Hari terasa berlalu cepat, sudah sepuluh hari mereka di RS Pasar Minggu khusus covid. Saturasi Adi yang awalnya sangat rendah sudah jauh meningkat. Adi sudah boleh makan walau masih melalui selang.  Kadang Adi menelpon Sinta hanya bilang dia kelaparan, ngiler mau makan seperti pasien sekamarnya. Sinta selalu memberi semangat Adi buat sembuh. Kadang bercerita hal-hal yang lucu supaya suaminya tertawa. Namun Adi seringkali mengeluh kesakitan, stres dan ingin cepat pulang ke rumah. Kondisi pemulihan pasien covid sangat terhambat bila stres, demikian akhirnya yang dialami Adi.


Saturasi Adi merosot drastis. Sinta berusaha minta bantuan donor plasma penyintas covid melalui medsos, walau pihak RS juga melakukannya. Aku juga berusaha menyebarkannya ke beberapa WAG dan FB.  Dua orang yang membaca berita permohonan donor plasma dari FB-ku berusaha menghubungi pihak keluarga Sinta, namun sayangnya keduanya tidak memenuhi syarat yang ditentukan Nakes. Adi tidak tertolong. Pecah tangis Sinta dan aku bersamaan di telepon. Selamat jalan mujahid, semoga tenang dan nyaman dirimu kini dalam pelukan kedamaian Sang Pencipta.


Sinta memaksa pulang dari rumah sakit, walau dirinya belum sembuh covid dan terpapar pneumonia juga. Saat itu proses pemakaman di rumah sakit sangat lambat karena banyaknya pasien wafat. Sinta mendapat pertolongan dari tetangganya yang punya mobil ambulan. Adi terbilang cepat sekali melalui proses pemakamannya. Tak seperti kebanyakan pasien yang wafat akibat covid, Adi tetap dimandikan para Nakes yang dilengkapi baju APD. Dia juga dikafankan sebelum dimasukkan ke peti. Proses sampai ke pemakaman hanya berlangsung delapan jam. Luar biasa cepat.


Sinta masih menderita covid dan pneumonia, sehingga harus tetap isoman. Kami terus berhubungan hampir setiap hari. Untuk memotivasi pemulihan Sinta, aku "mewawancarai" teman-teman penyintas covid. Artikel kiat-kiat penyintas covid aku sampaikan ke Sinta. 

Beberapa cara bisa dia terapkan tapi dia tetap belum bisa tersenyum walau sebulan sudah kepergian Adi. Usulan teman penyintas yang menonton serial "Just for Laughs" untuk memancing tawa, tidak bisa dipraktekan Sinta. Tiba-tiba aku teringat saat Sinta tertawa menceritakan kisah pasien perempuan stres sekamarnya dulu. 

Dan benar saja, saat aku ceritakan kembali kisah itu padanya, dia tertawa. Bahagia rasanya mendengar tawanya pertama sejak ditinggal Adi. Tawanya itu penting untuk peningkatan hormon endorphin-nya. 

Hari-hari setelah kepergian Adi memang tidak mudah dilalui Sinta, tapi bersyukur semakin hari Sinta semakin kuat.


Semalam Sinta curhat, hampir dua minggu dia kontak lagi dengan Iwan teman SMA nya dulu. Iwan sudah lima tahun bercerai dengan istrinya, dan tiga orang anak mereka diasuh Iwan semua. 

Sebelum ketemu Sinta, menurut cerita Iwan, dia tidak punya keinginan menikah lagi. Iwan sempat trauma, karena perlakuan baiknya kepada  istrinya dulu malahan berbuah perselingkuhan istrinya. Iwan memperlakukan istrinya dulu bak permaisuri. Iwan rela mengerjakan pekerjaan rumah setelah pulang kerja. 

Bahkan rumah dan kendaraan mereka dibuat  atas nama istrinya. Iwan pergi dari rumahnya dengan membawa ketiga anak mereka tanpa membawa harta apa pun. Namun kini perekonomian Iwan sudah kembali bangkit dan ia siap membiayai semua anak Sinta, bila Sinta mau menerimanya sebagai pengganti Adi.


Beberapa hari lalu, saat Sinta mengunjungi makam Adi, tak disangka-sangka Iwan menyusul ke makam. Ia berdoa panjang dengan bahasa Arab yang fasih dan minta ijin Adi untuk menemani Sinta, meneruskan kisah kehidupan mereka. Sambil tertawa kecil Sinta menceritakan pengalaman mereka berjumpa di makam. 

Sinta yang sudah menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan Iwan, hanya dibalas dengan permohonan maaf Iwan yang tidak bisa menyentuhnya karena bukan mahram. Iwan juga mengambil jarak cukup jauh saat mereka minum di warung dekat areal pemakaman.


Terasa oleh Sinta saat Iwan menatap lama wajah Sinta dari kejauhan. Penampilan Sinta kini tertutup rapih oleh hijab, tak seperti SMA dulu. Sinta pun risih dan minta untuk Iwan berhenti menatapnya. "Khan biar ingat terus,' kata Iwan yang memang pernah tertarik pada Sinta saat SMA dulu. Sinta tersipu malu. "Lucu deh mba, kayak anak ABG aja jadinya." 

Aku tertawa senang mendengarnya, berharap Sinta dapat mulai meninggalkan hari-hari beratnya. "Haduh mba, nggak segampang itu lah aku melupakan mas Adi. Aku khan sayang banget sama mas Adi. Aku juga selalu berdoa supaya kelak dipertemukan mas Adi di surganya Allah."  


"Lalu Iwan bilang apa saat kamu bilang begitu ke dia Sin?," tanyaku ke Sinta. "Dia akan menunggu sampai aku bisa membuka hati untuknya, entah setahun atau dua tahun. Tapi dia sudah menetapkan hati untuk menjadikan aku pengganti ibu anak-anaknya," terkekeh Sinta saat berkata begitu. "Bayangin aja mba, nanti anakku jadi tujuh orang. Banyak banget."


Adik ipar, aku ikut senang mendengar kamu bisa terkekeh seperti itu. Aku ikut bahagia bila kamu bahagia. Allah memang Maha Pengasih. Tidak dibiarkan hambanya sedih berlarut-larut bila memang hambaNya selalu meminta bimbinganNya.


Mungkin memang bukan Iwan yang akan menghapus dukamu. Mungkin Allah akan memberikan kejutan manis lain padamu. Tapi aku yakin, dukamu pasti berlalu, adik iparku sayang.

(Kisah nyata dengan samaran nama-nama tokoh dan dengan ijin yang bersangkutan)
 

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun