Sejak 6 Januari 2022 Presiden Jokowi meneken Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Inpres tersebut berisi instruksi kepada 30 pimpinan Kementerian/Lembaga, yang pada intinya meminta agar mereka menggunakan kewenangannya untuk meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam program BPJS Kesehatan.
Di antaranya adalah dengan mewajibkan kepesertaan aktif BPJS sebagai syarat jual beli tanah, mengurus SIM, STNK, SKCK, daftar Haji dan Umrah, pengajuan KUR, pengajuan izin usaha, hingga mendapatkan program bantuan tani dan nelayan dari Kementerian.
Jika dilihat asbabun nuzulnya, memang Inpres yang diteken Jokowi tersebut merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS yang diteken Presiden SBY sejak 25 November 2011.
Dalam UU BPJS jelas disebutkan di pasal 14 bahwa setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta Program Jaminan Sosial.
Lalu di pasal 17 diterangkan bahwa bagi mereka yang tidak ikut BPJS, maka bisa dikenai sanksi administratif berupa teguran, denda, dan tidak bisa mendapatkan pelayanan publik tertentu.
Ketentuan mengenai sanksi administratif tersebut diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013. Dalam pasal 9 PP 86/2013 tersebut secara jelas mengatur bentuk layanan publik yang ditutup bagi mereka yang melanggar terkait kepesertaan BPJS.
Yakni bagi pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya dalam BPJS, maka tidak bisa mengurus izin usaha, izin tender proyek, hingga izin mendirikan bangunan.
Adapun bagi setiap orang selain pemberi kerja dan pekerja yang tidak ikut BPJS, maka tidak bisa mengurus IMB, SIM, sertifikat tanah, paspor, hingga STNK.
Meskipun UU hingga PP terkait hal itu sudah keluar sejak tahun 2011 dan tahun 2013, namun hingga kini K/L memang masih belum membuat aturan turunannya. Hal inilah yang dipaksa Jokowi melalui Inpres 1/2022.
Pertanyaannya, apakah Inpres tersebut sudah tepat? Ada beberapa aspek yang bisa didiskusikan.
Pertama, terkait dengan kewajiban setiap orang menjadi peserta jaminan sosial. Secara semangat ini tentu hal yang baik. Namun tentu bisa timbul inefisiensi bagi para pemilik asuransi swasta.
Dan Direktur Utama BPJS Ali Ghufron mengkonfirmasi, bahwa aturan kewajiban BPJS tersebut memang dimaksudkan untuk kalangan menengah ke atas. Ini tentu menjadi potensi uang gratis bagi BPJS, karena kalangan menengah ke atas wajib membayar premi tanpa pernah menggunakan layanan (sebab lebih memilih klaim di asuransi swasta).
Selain itu terkait kewajiban kepesertaan dalam UU 24/2011 juga tidak dibatas waktu. Bisa saja BPJS dan Pemerintah menjalankannya secara natural dan bertahap, sebagaimana negara maju seperti Austria bisa mengcover jaminan sosial 100% penduduknya dalam waktu 79 tahun, Jepang 36 tahun dan Belgia 118 tahun.
Indonesia dengan BPJSnya bahkan memiliki capaian yang sudah sangat baik, hanya dalam waktu 7 tahun sudah bisa mengcover 86,17% penduduk.
Kedua, terkait dengan sanksi pembatasan pada pelayanan publik, harus juga membawa semangat dalam UU Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, di mana di antara asas dalam pelayanannya adalah kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Penambahan syarat BPJS dalam pelayanan artinya dapat memperlambat, mempersulit, dan membuatnya tidak terjangkau bagi sebagian masyarakat. Misalkan seseorang ingin buat SIM C dan belum punya BPJS, maka harus merogoh kocek tambahan Rp 85.000 untuk ikut BPJS kelas III. Padahal biaya untuk membuat SIM hanya Rp 100.000.
Memang ada program bantuan iuran (PBI) JKN, di mana bagi masyarakat tidak mampu BPJS mereka dibayarkan oleh Pemerintah. Tapi, perlu diingat bahwa program itu mengikuti alur pendataan, verifikasi, dan validasi berjenjang dari Kemensos, yang secara waktu tidak bisa diprediksi. Sementara pengurusan layanan publik biasanya berkejaran dengan waktu.
Selain itu alokasi PBI JKN juga mengalami tren penurunan sepanjang tahun 2021, dari kuota 96,8 juta, hanya terealisasi bagi 87,5 juta jiwa.
Ketiga, terkait dengan layanan publik apa saja yang bisa disyaratkan BPJS. Jika kita tutup mata terhadap UU Pelayanan Publik beserta asas-asasnya, dan mengiyakan bahwa BPJS bisa menjadi syarat, maka paling maksimal yang bisa dibatasi adalah yang sudah tercantum dalam PP 86/2013.
Sayangnya, Inpres yang dikeluarkan Presiden Jokowi seolah aji mumpung. Dari hanya 5 layanan publik yang bisa dibatasi di PP 86/2013, Inpres 1/2022 mengembangkannya lebih jauh, bahkan hingga ke aspek peribadatan seperti calon jamaah haji dan umrah juga wajib memiliki BPJS.
Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan program utama Presiden Jokowi yakni deregulasi dan debirokratisasi.
Apalagi di tengah pandemi yang masih terjadi, sudah seharusnya berbagai layanan publik dipermudah dan dipermurah, bukan justru dipersulit dan ditambah-tambah.
Menurut penulis, pendekatan kepesertaan BPJS haruslah natural dengan cara sosialisasi berkelanjutan dan peningkatan aspek layanan BPJS dan fasilitas kesehatan rujukan.
Sehingga Inpres tetap perlu, tapi isinya harusnya hanya ditujukan kepada Kementerian Kesehatan dan Direksi BPJS.
Jika BPJS semakin baik, faskes rujukan semakin baik, alokasi PBI JKN ditingkatkan, maka kepesertaan BPJS pasti akan terus meningkat.
Dan cakupan BPJS selama ini juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga sejatinya sudah on the track menuju 100% kepesertaan, tanpa perlu Inpres berlebihan yang justru mengabaikan asas-asas dalam pelayanan publik bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H