Tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (11/6/2020) pada terdakwa penganiayaan Novel Baswedan menggegerkan publik. Bagaimana tidak, setelah hampir 2,5 tahun kasus bergulir, terdakwa penganiayaan yang juga polisi aktif hanya dituntut 1 tahun penjara. Padahal, untuk mengungkap kasus ini, biayanya sangat besar: tim gabungan berisi 65 orang serta bantuan Kepolisian Australia.
Memang dari awal ada yang aneh. Keterlibatan kepolisian yang coba diungkap Novel mungkin menjadi musabab dari semua drama ini. Catatan buku merah yang tiba-tiba hilang, dan pelaku yang tiba-tiba tertangkap. Semua terkesan telah diatur sedemikian rupa sehingga pihak yang diserang jera dan pihak yang menyerang bebas melenggang.
Novel Baswedan sendiri mengungkapkan bahwa "persidangan berjalan dengan aneh, banyak kejanggalan, dan lucu". Penyerangan terhadap dirinya seharusnya bisa dikategorikan sebagai penganiayaan berat dan dituntut maksimal. Alih-alih, JPU justru memilih untuk membela pelaku, dengan mengatakan bahwa pelaku "tidak sengaja".
Pelaku pada dasarnya terbukti sengaja, itulah kenapa dia dikenakan pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu. Namun, yang tidak sengaja dilakukannya adalah mengenai mata sehingga menimbulkan cacat permanen, karena niatnya hanya mengenai badan. Padahal, penyiraman air keras bagaimanapun bisa menyebabkan kematian. Jaksa seharusnya menggunakan pasal pembunuhan berencana.
Aneh bin ajaib, jaksa penuntut umum yang selayaknya mengkritisi kekonyolan tersebut, justru mengkonfirmasi niat pelaku. Ia mengatakan, "terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras tapi di luar dugaan mengenai mata". Dari cara JPU bekerja, terlihat sekali bahwa mereka dan pelaku berada di pihak yang sama.
Wajar bila publik menduga semua proses ini sudah disiapkan. Dari video persidangan, terlihat bahwa tersangka memasuki ruang sidang dengan "petantang-petenteng", kepala mendengak, seperti tanpa penyesalan dan kekhawatiran sama sekali. Mungkin ia sudah diberi tahu: semua sudah diamankan.
Proses penangkapan pelaku juga ganjil sejak awal. TGPF yang dibentuk hanya mampu menyimpulkan bahwa penganiayaan berkaitan dengan kasus yang sedang didalami Novel.Â
Tim Teknis yang dibentuk berikutnya hanya mampu membuat sketsa wajah, entah wajah siapa. Lalu tiba-tiba, setelah kedua tim itu gagal, pada 26 Desember 2019 terjadi penangkapan pelaku, padahal pada 23 Desember ada surat pemberitahuan bahwa pelaku belum diketahui.
Keterlibatan kepolisian memang patut diduga dalam kasus ini. Selain dari penyerangnya yang polisi, sepeda motor yang digunakan menyerang juga adalah sepeda motor polisi. Mirisnya, Divisi Hukum Polri turut melakukan pembelaan terhadap kedua tersangka. Dan kedua tersangka tidak dicopot dari statusnya sebagai anggota Polri.
Selain keterlibatan kepolisian, keterlibatan jaksa juga harus diusut. Selain memangkas tuntutan, jaksa juga tidak mengungkap aktor intelektual dalam berkas surat dakwaan.Â
Artinya, hukuman akan berhenti pada pelaku di lapangan. Jaksa juga menyebut kasus penganiayaan Novel tidak berkaitan dengan pekerjaannya di KPK, padahal jelas-jelas sebagaimana temuan TGPF bahwa Novel diserang karena kasus-kasus yang sedang dikerjakannya.
Wajar bila publik berasumsi: terdakwa hanya orang yang disuruh pasang badan untuk kemudian diselamatkan.
Pada akhirnya, tuntutan hukum akan diputuskan, dan kasus akan selesai begitu saja. Setelah satu tahun kurungan, pelaku kembali bebas berkeliaran, masih sebagai aparat kepolisian. Namun, satu hal yang saya yakini: Keadilan itu seperti rindu, ia akan menemukan jalannya sendiri, tidak bisa dibendung. Meskipun butuh waktu bertahun-tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H