Wilian Adrian bonger tokoh sosiolog Belanda yang hidup di Abad 20 pernah berkata.
"Demokrasi dibagi menjadi dua yaitu formal dan material. Demokrasi formal adalah demokrasi sebagai teori, sedangkan demokrasi material yaitu demokrasi yang dalam praktiknya dipengaruhi oleh dua faktor, kemerdekaan dan persamaan".
Menurutnya demokrasi formal mencirikan suatu sistem dimana penentu utama dalam negara ialah kehendak mayoritas rakyat. Artinya pengakuan dan keputusan negara harus mencerminkan kemauan dari seluruh mayoritas warga. Namun pada demokrasi formal terdapat keterbatasan dimana hanya terdapat persamaan dalam bidang politik tanpa ada upaya kongkrit untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi yang bisa memunculkan pemerasan dalam bidang materi.
Berbeda dengan Demokrasi materi yang baginya mendapat makna khusus bahwa ada jaminan terhadap hak-hak individu yang bersumber dari pengakuan kemerdekaan setiap warga negara fokus utamanya ialah pada upaya untuk menghilangkan perbedaan ekonomi di antara anggota masyarakat.
Pembagian konsep demokrasi diatas bisa dibilang memiliki makna ideal jika keduanya dijalankan bersamaan karena mampu menciptakan keadilan sosial. Hak politik dan hak ekonomi warga negara bisa terpenuhi dengan baik. Namun apakah itu benar-benar terjadi di negara kita Indonesia yang disebut demokrasi, sejatinya mata kita mengamati dan mulut kita pasti berkata "TIDAK". Selama ini kebanyakan orang mulai meragukan demokrasi.
Pergulatan pikiran dan ucapan mengenai demokrasi selalu menjadi bahan menarik disetiap sudut pertemuan yang digelar oleh subjek dan institusional partisipasi demokrasi diantaranya masyarakat, LSM, serta lembaga berkepentingan lainnya. Â
Upaya pemerintah untuk menciptakan jalan tol demokrasi dengan nyaman dan mudah masih belum begitu membaik. Sebab bergulirnya demokrasi politik dari masa ke masa sangat membutuhkan biaya politik yang besar, intervensi kekuasaan untuk mengintimidasi hak individu yang kuat, serta manipulasi berbagai kebijakan demi merealisasi masuknya investor asing kian masif terjadi.Â
Demokrasi hanyalah ruang narasi yang punya muatan ilusi yang tinggi, Kendati demikian memiliki semangat tersendiri dalam mendorong pikiran publik akan sebuah kesejahteraan dan keadilan yang pas-pasan karena hanya dinikmati oleh lingkaran setan kekuasaan.
Masihkah kita percaya demokrasi berdasarkan etimologinya yakni demos (Rakyat), Kratos/cratein (pemerintahan), umumnya dikenal pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sementara dalam perkembangannya demokrasi yang dianggap vital saat ini banyak tumbuh subur praktek tidak sehat.Â
Kacamata elite, demokrasi hanya dihitung dengan kalkulasi angka-angka misalnya berapa jumlah pemilih di wilayah tersebut, bukan akumulasi nilai kemanusiaan tentang mengapa kelompok masyarakat itu kelaparan, miskin, dan pengangguran bahkan tidak bisa melanjutkan pendidikan. Harusnya berbincang tentang demokrasi tidak bisa melepaskan kebutuhan ekonomi rakyat yang terbatasi.
Kiranya catatan pena akan indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, berdasarkan data dari Freedom House turun dari 62 poin pada tahun 2019 menjadi 53 poin di tahun 2023. Sementara berdasarkan data economist intelligence unit (EIU) kinerja demokrasi Indonesia mengalami penurunan skor pada 2023 sebesar 6,53 poin turun 2 poin dibanding tahun 2022 sebesar 6,71 poin.
Perolehan skor yang dikeluarkan dari (EIU) sebesar 6,53 poin ini memberikan makna bahwa demokrasi Indonesia masuk dalam kategori cacat (flawed). Cacat karena saluran demokrasi diantaranya berpendapat, berekspresi, bahkan baru dalam proses berpikir juga sudah diarahkan agar tetap sesuai ucapan penguasa. Saluran aspirasi yang tersumbat ini sangat merespon banjir kritik lewat demonstrasi, diskusi dan seminar.
Disisi lain pesta rakyat tersebut sangat membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aktivitas kegiatan politik mempengaruhi peningkatan belanja konsumsi kontestan pemilu seperti pengadaan atribut kampanye,biaya konsumsi, honor petugas dan tim pemenangan pemilihan. Disaat yang sama arus investasi asing cenderung menurun namun bukan berarti diam, sebab mereka sangat berhati-hati untuk menentukan sikap iklim bisnis secara terbuka.
Para investasi asing tentu bergerak membuat pintu masuk agar para investor mendapatkan ruang, Â pintu masuk mereka ialah mengintervensi dengan membiayai para kontestan pemilu demi memuluskan kepentingan mereka lewat kebijakan serta regulasi pasca pemilu. Demikian inilah yang menurut W.A.Bonger demokrasi bertranformasi ke oligarki, dimana Pengusaha bermodal besar, Â politisi, Pemerintah berada pada lingkaran kecil elit dengan daya perampasan ruang hidup yang besar.
Selama ini kekuasaan politik dan ekonomi cenderung terkonsentrasi pada sekelompok kecil individu dan kelompok elite yang punya finansial lebih. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan distribusi ekonomi. Bahkan korupsi demokrasi itu dilakukan penguasa dengan keluarganya seperti fenomena presiden , dengan paman Mahkamah konstitusi untuk memberikan ruang kekuasaan kepada anaknya sebagai wakil presiden istilah lain disebut "politik Bapakisme"
Dengan demikian demokrasi kita dari fase orde lama sampai demokrasi ala Jokowi menuju yang baru sudah berada pada unjung tanduk dan masih menjadi tanda tanya. Sehingga membutuhkan kesadaran institusional yang melegitimasi kehendak rakyat dalam mewujudkan kebijakan publik yang sesungguhnya. Sadar akan kewajiban persamaan hak politik dan hak ekonomi atau keadilan sosial yang harus dimiliki rakyat dari para elit kekuasaan sebagai maker policy.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI