[caption caption="situs pilkada kpu"][/caption]
Terhitung sudah lewat 3 hari pilkada serentak usai dilaksanakan, telah banyak daerah yang menyelesaikan penghitungan suara, namun dilain pihak masih ada pula beberapa daerah yang masih sementara proses penghitungan suara di tingkat KPU Kabupaten/Kota ataupun KPU tingkat Provinsi.
Dari hasil penghitungan suara yang dirilis oleh kpu di situs resminya disini pilkada2015.kpu.go.id ada yang menarik perhatian saya, yaitu banyaknya suara yang tidak sah, rata-rata diatas 4 persen, bahkan ada yang hingga 7 persen dari seluruh total suara yang masuk.
Dari sekian banyak provinsi yang melakukan pemilihan kepala daerah pada tanggal 9 Desember kemarin, ternyata provinsi yang paling banyak menyumbang suara tidak sah, adalah di provinsi Bengkulu, dengan persentase 7,06 % atau 68.795 Suara dari total 968.335 Suara yang masuk (bisa dilihat disini pilkada2015.kpu.go.id/bengkuluprov).
[caption caption="data kpu Bengkulu"]
Kemudian disusul provinsi Kalimantan Selatan dengan persentase 6,28 persen atau hampir mencapai angka 100.000 suara dari seluruh suara yang sudah masuk (proses penghitungan masih berlangsung). Bisa dilihat disini pilkada2015.kpu.go.id/kalselprov wow tentunya ini angka yang sangat tinggi.
[caption caption="data kpu Kalsel"]
Dari aspek legitimasi, persentase suara tidak sah pada pemilu kepala daerah memang tidak memberikan pengaruh terhadap hasil pemilukada itu sendiri. Hanya saja, seyogyanya dengan perbaikan tingkat pengetahuan juga berbanding lurus dengan tingkat suara sah yang juga tinggi. Apabila tingkat suara tidak sah disisi lain meningkat, maka hal tersebut merupakan ‘anomali’ dalam sebuah pemilihan umum.
Fenomena suara tidak sah merupakan catatan tersendiri yang mengundang dua ‘hipotesis’ apakah hal tersebut bersumber dari perilaku pemilih yang dengan tidak sadar atau secara sadar menjadikan suara mereka tidak sah.
Padahal menurut Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), idealnya surat suara yang tidak sah itu sangat sedikit, atau kurang dari 1 persen. Adapun penyebab paling banyak suara tidak sah itu karena surat suara tercoblos lebih dari satu pada pasangan calon yang ada.
Pertanyaan yang kemudian bergelanyut dalam pikiran saya, kenapa masih banyak terjadi hal demikian? Bukankah kpu ‘harusnya’ telah melakukan sosialisasi massif tentang tata cara pencoblosan yang benar? baik itu mulai dari tingkat dusun/desa hingga tingkat rt/rw.
Selain itu, pilkada seperti kali ini pun bukan pertama kalinya kita laksanakan, tercatat sudah beberapa kali kita melakukan pemilihan umum secara langsung (pencoblosan) seperti ini, baik itu pilpres, pileg, bahkan dalam pilkada itu sendiri.
Ditambah lagi teknik pemberian suara (mencoblos) juga boleh dikata jauh lebih sederhana dari pemilu pemilu sebelumnya. Jadi pastinya mustahil banyak masyarakat tidak tahu tata cara mencoblos yang benar. Ataukah karena masyarakat memang ‘sengaja’ agar surat suaranya tidak sah dengan mencoblos semua calon?
Suara tidak sah ini bisa merupakan representasi dari sejumlah kemungkinan yakni wujud dari kecerdasan, kebingungan atau rasa frustasi rakyat.
Tentunya alasan orang akan berbeda-beda, bisa jadi ada yang beranggapan dari pada golput, lebih baik coblos semua calon supaya sisa surat suara yang harusnya kita coblos tidak digunakan oleh ‘oknum’ tertentu untuk melakukan kecurangan.
Atau mungkin ada yang beralasan dia mencoblos semua pasangan yang ada karena semua ngasi amplop (baca: uang), jadi dicoblos semua saja daripada ‘dosa’ atau ingkar janji, kan perjanjian sebelumnya supaya dicoblos.hehhe
Jikalau demikian ini bisa diartikan bahwa, apakah banyaknya suara tidak sah tersebut dapat dikorelasikan dengan masih maraknya calon yang melakukan politik uang di pilkada kali ini? ataukah justru banyak pemilih yang merasa ‘frustasi’ karena tidak ada calon yang pantas memimpin daerahnya?
Dugaan penyebab banyaknya suara tidak sah dalam pilkada itu tidak berdiri secara sendiri, ada banyak hal yang berkontribusi di dalamnya. Hal ini hampir sama dengan penyebab masih banyaknya golput yang terjadi, dan solusinya pun hampir sama.
Apa solusi yang dapat dilakukan?
Pertama adalah sosialisasi tentang bagaimana cara masyarakat memberikan suara mereka di tempat pemungutan suara secara benar (cara mencoblos). Ini menunjuk kepada kinerja penyelenggara perangkat KPU dalam memberikan informasi kepada masyarakat mengenai tata cara pemilihan. Begitupun peran KPU dalam menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya partisipasi positif dalam pemilu untuk kemajuan daerahnya.
Kedua adalah pengetahuan pemilih itu sendiri, ini terkait dengan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap calon kepala daerah yang akan dipilih. Ini berarti upaya yang dilakukan oleh para calon untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat sehingga layak untuk dipilih juga sangat penting.
Ketiga adalah faktor peran partai politik yang didalamnya sebagai pendukung calon kepala daerah. Parpol harus malakukan ‘seleksi’ calon dengan baik yang akan dimajukan di pilkada, calon yang benar-benar merupakan wujud asprasi rakyat di daerahnya. Bukan berdasar siapa yang mampu bayar ‘mahar’. Ini tentu saja akan mempengaruhi partisipasi pemilih dalam mencoblos.
Dengan berbagai upaya diatas diharapkan mampu meminimalisir jumlah suara tidak sah atau bahkan menghilangkannya di setiap pemilu kepala daerah berikutnya.
Bukankah sering kita dengar adagium yang mengatakan bahwa "suara rakyat suara Tuhan", nah bagaimana dapat dianggap suara Tuhan kalau ternyata surat suara saja tidak sah dan tidak dihitung.?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H