Selain itu, pilkada seperti kali ini pun bukan pertama kalinya kita laksanakan, tercatat sudah beberapa kali kita melakukan pemilihan umum secara langsung (pencoblosan) seperti ini, baik itu pilpres, pileg, bahkan dalam pilkada itu sendiri.
Ditambah lagi teknik pemberian suara (mencoblos) juga boleh dikata jauh lebih sederhana dari pemilu pemilu sebelumnya. Jadi pastinya mustahil banyak masyarakat tidak tahu tata cara mencoblos yang benar. Ataukah karena masyarakat memang ‘sengaja’ agar surat suaranya tidak sah dengan mencoblos semua calon?
Suara tidak sah ini bisa merupakan representasi dari sejumlah kemungkinan yakni wujud dari kecerdasan, kebingungan atau rasa frustasi rakyat.
Tentunya alasan orang akan berbeda-beda, bisa jadi ada yang beranggapan dari pada golput, lebih baik coblos semua calon supaya sisa surat suara yang harusnya kita coblos tidak digunakan oleh ‘oknum’ tertentu untuk melakukan kecurangan.
Atau mungkin ada yang beralasan dia mencoblos semua pasangan yang ada karena semua ngasi amplop (baca: uang), jadi dicoblos semua saja daripada ‘dosa’ atau ingkar janji, kan perjanjian sebelumnya supaya dicoblos.hehhe
Jikalau demikian ini bisa diartikan bahwa, apakah banyaknya suara tidak sah tersebut dapat dikorelasikan dengan masih maraknya calon yang melakukan politik uang di pilkada kali ini? ataukah justru banyak pemilih yang merasa ‘frustasi’ karena tidak ada calon yang pantas memimpin daerahnya?
Dugaan penyebab banyaknya suara tidak sah dalam pilkada itu tidak berdiri secara sendiri, ada banyak hal yang berkontribusi di dalamnya. Hal ini hampir sama dengan penyebab masih banyaknya golput yang terjadi, dan solusinya pun hampir sama.
Apa solusi yang dapat dilakukan?
Pertama adalah sosialisasi tentang bagaimana cara masyarakat memberikan suara mereka di tempat pemungutan suara secara benar (cara mencoblos). Ini menunjuk kepada kinerja penyelenggara perangkat KPU dalam memberikan informasi kepada masyarakat mengenai tata cara pemilihan. Begitupun peran KPU dalam menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya partisipasi positif dalam pemilu untuk kemajuan daerahnya.
Kedua adalah pengetahuan pemilih itu sendiri, ini terkait dengan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap calon kepala daerah yang akan dipilih. Ini berarti upaya yang dilakukan oleh para calon untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat sehingga layak untuk dipilih juga sangat penting.
Ketiga adalah faktor peran partai politik yang didalamnya sebagai pendukung calon kepala daerah. Parpol harus malakukan ‘seleksi’ calon dengan baik yang akan dimajukan di pilkada, calon yang benar-benar merupakan wujud asprasi rakyat di daerahnya. Bukan berdasar siapa yang mampu bayar ‘mahar’. Ini tentu saja akan mempengaruhi partisipasi pemilih dalam mencoblos.