Mohon tunggu...
Ibrahim A. Putra
Ibrahim A. Putra Mohon Tunggu... -

pengen belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Ambil Uangnya

4 Desember 2015   17:54 Diperbarui: 4 Desember 2015   17:56 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari kedepan sebagian besar daerah di Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar tahun ini, yakni pilkada serentak 9 Desember 2015. Tercatat sebanyak 269 daerah yang akan memilih pemimpin baru di daerahnya.

Pemilihan kepala daerah ini akan menjadi titik awal penentuan bagus tidaknya daerah itu lima tahun kedepan, tergantung kepala daerah yang terpilih nanti. Apakah pemimpin yang ikhlas bekerja untuk rakyat dan memperbaiki daerahnya ataukah pemimpin yang hanya bekerja atas dasar kepentingan pribadi semata demi memperkaya diri dan golongan-golongannya.

Pilkada kali ini akan dilakukan hanya satu putaran, jadi walaupun cuma selisih satu suara sudah bisa ditentukan siapa pemenangnya. Berbeda dengan pilkada pilkada sebelumnya yang harus memenuhi jumlah persentase tertentu baru bisa menang, sehingga jika tidak tercapai akan dilakukan putaran kedua.

Hal inilah yang membuat semua pasangan calon akan all out berjuang untuk menang saat pemilihan, mereka yang sangat haus kekuasaan akan menempuh ‘berbagai cara’ termasuk cara-cara yang melanggar aturan.

Salah satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari kegiatan pilkada nanti adalah maraknya politik uang atau jual beli suara. ‘Serangan fajar’ biasa menjadi cara andalan untuk meraup suara pemilih.

Seorang calon kepala daerah akan memberikan sejumlah amplop (baca: uang) kepada pemilih supaya dia dicoblos dalam bilik suara. Jumlah yang dibagikan biasa bermacam-macam, ada yang kasi 20 ribu, 50 ribu, dan ada yang 100 ribu untuk satu suara. Pokoknya tergantung kemampuan finansial dari sang calon tersebut.

Kebayang kan berapa uang yang harus disiapkan calon itu, belum lagi modal kampanyenya. Uang dari mana itu bro? Bisa jadi milik pribadi sang calon atau hasil berkongsi dengan pengusaha nakal penilap proyek APBD di daerah itu.

Kenapa politik uang dalam setiap pesta demokrasi sulit dihilangkan ya? Salah satu faktor penyebabnya adalah sebeagian besar masyarakat acuh dengn pemilu maupun pilkada, dan dengan mudah menerima pemberian. Mereka bahkan beranggapan bahwa ‘suara’ mereka dapat menghasilkan uang.

Politik uang pun dianggap tidak masalah. Mereka tidak akan berpikir jauh ke depan bahwa uang yang diberikan itu suatu saat akan 'ditarik' kembali oleh para calon yang nantinya terpilih menjadi kepala daerah.

Mereka tidak menyadari adanya permainan politik yang sebenarnya justru merugikan diri mereka sendiri. Hitung hitungan duitnya pasti sudah jadi semua, kapan balik modalnya, berapa keuntungannya, semua sudah diperhitungkan jauh hari sebelumnya.

Saya pernah dengar formula ‘2-2-1’ dari obrolan teman,katanya dalam 5 tahun periode pemerintahan itu terbagi beberapa waktu. Waktu 2 tahun pertama untuk balikin modal kampanye, 2 tahun kedua untuk kumpulin duit sebanyak banyaknya, dan 1 tahun terakhir untuk persiapan pilkada berikutnya. Tapi entahlah rumus ini benar atau tidak?hhehe

Ketika pemilih seperti ini bertemu dengan calon ‘nakal’, klop lah seperti simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Sang pemilih mendapat ‘fresh money’ beberapa puluh atau ratus ribu rupiah, sementara sang calon mendapat tambahan suara.

Uang beberapa puluh ribu rupiah akan habis dalam hitungan hari, sementara kepala daerah yang mereka pilih (jika menang) akan menikmati kekuasaan dan mengeruk kekayaan daerahnya dengan serakah selama bertahun-tahun.

Jalanan tetap dibiarkan hancur, infrastruktur tidak dibangun, sekolah roboh tak terurus, dan pastinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme akan merajalela. Yang happy-happy hanyalah segelintir pejabat rakus beserta keluarganya, dan pengusaha-pengusaha proyek tentunya. Sementara calon yang bersih, jujur dan profesional akan kalah dan tersisih.

Telah banyak kita lihat dan saksikan di televisi televisi kepala daerah yang harus mengenakan ‘rompi orange’ di gedung KPK, mereka jadi pesakitan tertangkap karena korupsi. Ini yang ketangkap saja sudah banyak, apalagi yang belum. Pasti jauh lebih banyak lagi.

Lantas apa yang harus kita lakukan bro? Jangan pilih kepala daerah yang mau memberikan uang. Jangan ambil uangnya! Itu bukti bahwa calon itu sedari awal saja sudah tidak bersih, niatnya pasti jahat, bagaimana kalau berkuasa lima tahun kedepannya? Pasti akan korupsi terus sob.

Kalau semua calon melakukan politik uang gimana bro? apa lebih baik kita golput? ini pertanyaan yang sulit. Tanya hati nurani masing-masing saja bro mau coblos apa tidak..hehehe

Ada yang bertanya lagi, kan sayang uangnya tidak diambil. Menolak rejeki itu katanya tidak baik loh. Ya, kalau rejeki dari uang yang halal itu memang baik dan akan menjadi berkah. Tapi kalau uang ‘panas’. Itu hanya akan mengantar pada kesusahan dan kesengsaraan. Belum lagi ini tergolong praktek suap menyuap, ini diharamkan oleh agama manapun.

Saya percaya uang suap itu tidak akan ada artinya jika, dibandingkan kemajuan pembangunan dan kesejahteraan daerah kita kedepan. Toh kita juga yang akan menikmatinya kan.

Dan semoga setelah pilkada fenomena “papa minta proyek” tidak ada lagi. Berharap kan tidak mengapa ya sobat.. :)

Ayo tolak politik uang!

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun