Saat itu, sebagaimana diceritakan oleh Abdul Ghani dan dibenarkan oleh Abu Khari ide tersebut disampaikan oleh Boy kepada Ali, sekretaris pribadi Kiai Fawaid, melalui SMS saat perjalanan pulang dari pertemuan kader menuju kediaman H. Mulyadi Putra, S.Sos. Di rumah H. Mulyadi lah Kiai Fawaid melalui Ali menyetujui rencana perkumpulan yang akan dibentuk, dan Kiai langsung menunjuk Abu Khari sebagai Ketua nya.
Laskar Hafas Bali adalah nama perkumpulan yang disepakati. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Laskar sendiri berarti tentara, kelompok serdadu atau pasukan. Sedangkan kata Hafas merupakan singkatan dari nama Haji Achmad Fawaid As’ad. Jadi, Laskar Hafas Bali memiliki makna sekumpulan orang di Bali yang siap menjadi pasukan pengawal raga, kepentingan dan perintah dari Hadaratussyaich KHR. Achmad Fawaid As’ad.
Kurang lebih empat bulan setelah pertemuan di kediaman H. Mulyadi, Abu Khari atau yang akrab disapa Abenk, mengaku bahwa keberadaan Laskar Hafas Bali kala itu sempat tercium oleh sebagian petugas (Polisi) sebagai kelompok pemuda yang identik dengan premanisme. Pasalnnya di Bali sendiri kelompok ormas yang sering terlibat perkelahian bernama hampir sama, yaitu kelompok Laskar Bali. Kata Laskar pada nama Laskar Hafas Bali menjadi beban tersendiri.
Kemudian Abenk selaku pimpinan menyampaikan masalah nama tersebut ke Ali dengan harapan untuk langsung disampaikan kepada Kiai Fawaid. Awalnya Kiai tidak langsung merespon.Hingga kemudian Ali melalui komunikasi seluler menyampaikan pesan Kiai Fawaid pada Abenk bahwa kata Laskar diganti menjadi Askar, yang berarti bahwa Laskar Hafas Bali secara resmi dirubah menjadi Askar Hafas Bali.
Tak berselang waktu lama dari perubahan nama, Kiai Fawaid memanggil seluruh anggota Askar Hafas Bali, yang kala itu baru berjumlah 14 orang untuk menghadap langsung ke kediaman Pengasuh di kompleks Pondok Sukorejo Situbondo. Selain memberi beberapa arahan, keseriusan Kiai pada perkumpulan ini ditandai dengan pembuatan Kartu Tanda Anggota yang langsung ditandatangai oleh Beliau.Kartu Tanda Anggota yang kala itu langsung dicetak tertanggal 6 Januari 2009, menjadi tanda bahwa Askar Hafas Bali resmi didirikan pada tanggal tersebut.
Menjalankan Pengabdian
Semangat disertai rasa antusias akan terpancar disetiap anggota Askar ketika Ali sebagai sekretaris pribadi Kiai Fawaid, mengabarkan bahwa Kiai hendak ke Bali. Mereka akan mempersiapkannya dengan matang. Seperti rute perjalanan yang akan diambil, hingga pada persiapan teknis transportasi pengawalan beserta biayanya.
Kehadiran Kiai Fawaid ditengah-tengah mereka merupakan suatu hal yang sangat langka dan berharga. Dengan spontan, segala bentuk aktivitas baik pekerjaan dan lainnya akan mereka tinggal demi sebuah Janji Suci untuk selalu siap mengabdi. Kenapa penghormatan kepada Kiai Fawaid sedemikian tingginya? Setidaknya bisa dijelaskan dari beberapa hal;
Pertama, Anggota Askar Hafas Bali mayoritas merupakan Alumni dari Pondok Sukorejo yang Kiai Fawaid asuh.Pondok Sukorejo sendiri memiliki jumlah santri yang menyentuh hingga belasan ribu.Sosok Kiai Fawaid sebagai Pengasuh dan Guru Besar para santri sangat jarang berinteraksi langsung dengan para santri.Sesekali santri dikumpulkan untuk mendengarkan arahan dari Beliau.Sosoknya sangat dihormati dan disegani.Saat menjadi santri, suatu kebanggan luar biasa ketika bisa sekedar mencium tangan Beliau.Kesempatan yang sangat jarang tersebut ketika masih menjadi santri, saat menjadi alumni dengan kepercayaan Kiai Fawaid untuk dikawal oleh Askar Hafas Bali ketika berkunjung ke Bali, merupakan peristiwa yang dijadikan kesempatan untuk melakukan pengabdian seoarang santri pada kiainya yang belum pernah dilakukan saat menjadi santri.
Kedua, walaupun lahir dan bertempat tinggal di Bali, Hampir semua Anggota Askar ber-nenek moyang-kan orang Madura. Artinya, mereka berlatar belakang etnis Madura dengan segala kebiasaan etika yang dipakai.Di mata orang Madura.ada istilah Bapak-Bebuk, Guru, Rato (Bapak-Ibu, Guru, Raja). Kalau diartikan Guru menempati strata kedua setelah orang tua. Guru yang dimaksudpun bukanlah guru sembarangan, tapi guru yang mengajari agama atau tepatnya yang disebut Kiai atau Ulama.
Namun pada prakteknya, kedudukan Kiai ini justru menempati posisi yang paling penting dari pada lainnya.Umpamanya, jika terdapat perbedaan pendapat antara Orang Tua dan Kiai, orang Madura lebih cenderung mengikuti jejak Kiai.Karena Kiai dianggap mampu membimbing dan menyelamatkan dirinya di dunia sampai di akhirat kelak. Hal ini dipertegas dengan kenyataan yang mentradisi pada masyarakat Madura, jika menghadapi persoalan orang tua akan meminta nasehat Kiai. Misalnya, dalam masalah pemberian nama buat anaknya yang baru lahir. (Syamsul A. Hasan, 2003 : 94)