Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tabiat Kita Selama Pandemi

5 Mei 2020   05:20 Diperbarui: 8 Mei 2020   17:57 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Corona ini memang selalu ada saja ulahnya. Mulai dari mengejutkan, menciptakan kepanikan, hingga mampu mengubah tabiat banyak masyarakat.

Corona, yang menjadi bagian dari keluarga Covid, dicurigai pertama kali sejak November 2019 di Wuhan, China. Waktu tersebut didapat setelah melacak kasus pertama di Wuhan.

Kasus ini tercatat pada 1 Desember 2019. Kemudian bila melihat dari masa inkubasinya, besar kemungkinan sang pasien mulai terjangkit mulai pertengahan November, begitu setidaknya dugaan sementara WHO. Selain itu, badan kesehatan dunia itu juga sedikit sangsi kalau kasus ini bermulai dari pasar hewan.

Perlahan dan pasti, Corona pun sampai di Indonesia. Meski pemerintah melalui sejumlah pejabatnya sempat terkesan mengelak dengan adanya kasus ini, Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan kasus pertama di Indonesia.

3 Maret 2020, Jokowi mengabarkan kasus pertama di Indonesia muncul dan dialami anak dan ibu di Depok, Jawa Barat. Kemudian, hingga hari ini, Senin (4 Mei 2020) berdasarkan data per tanggal 3 Mei 2020, sudah ada 11.192 jumlah kasus terkonfirmasi positif, dan untuk total pasien sembunya mencapai 1.876.

Ibu Kota masih menjadi provinsi dengan jumlah kasus positif, sembuh, dan meninggal terbanyak, yakni 632 kasus, sebagaimana dirilis oleh pemerintah.

Lalu untuk jumlah orang dalam pemantauan (ODP) menjadi 236.369 orang dan pasien dalam pengawasan (PDP) menjadi 23.130 orang. Data tersebut diambil dari 34 provinsi dan 326 kabupaten/kota di Tanah Air. (Utuhnya bisa baca di sini)

Namun agak sedikit berbeda dengan data milik Kawal Covid-19. Data di Jakarta, misalnya, terdapat 4175 kasus, 486 sembuh, 371 meninggal, dan mendapati 8,9 persen rasio kematian.

Saya tak ingin masuk ke dalam data-data itu lebih jauh. Kamu bisa langsung cek saja di situs resminya kawalcovid19.id. Saya hanya bisa bilang berbeda itu tak mengapa, terpenting adalah menjaga kebersihan dan terus di rumah.

Sejak pertama kali diumumkan kasus pertama tadi, rasanya tak berlebihan berasumsi bahwa banyak pola hidup masyarakat kita yang berubah.

Saya merasakan sendiri, baik langsung maupun dari pelbagai informasi dan pemberitaan. Saya coba merunutkan apa yang sudah terjadi. Memang, tidak ada akan menggambarkan secara luas apalagi detail.

Saya membaginya ke dalam tiga pola baru, khususnya aktivitas kita. Pola pertama disebut masa pencarian. Masyarakat mencoba mencari tahu setidaknya mengenai tiga hal, apa, bagaimana, dan dampaknya terkait Covid-19.

Designed by Freepik
Designed by Freepik
"Apa" adalah keingintahuan masyarakat tentang penyakit ini. "Bagaimana" adalah tentang keingintahuan masyarakat sebenarnya bagiamana mulanya virus ada dan bekerja dan bagaimana pencegahan dan penanganannya.

Terakhir adalah, "dampaknya". Masyarakat mencoba mencari tahu dampak apa yang akan ditimbulkan dari virus ini, baik secara kesehatan, sosial, serta ekonomi.

Adapun topik yang menjadi fokus utama adalah tentang pemutusan hubungan kerja dari berbagai industri seperti otomotif, tekstil, sepatu, restoran, hingga hotel.

Perhatian lainnya adalah mengenai reaksi sosial dampak dari kebijakan, misal buruknya bantuan sosial atau larangan mengangkut penumpang bagi ojek daring.

Selanjutnya yang tak kalah ramai adalah mengenai kepedulian masyarakat terhadap para tenaga kesehatan yang berjuang menolong pasien akibat Covid-19 ini. Salah satu isu yang juga menjadi perhatian saya pribadi.

Dalam mengatasi ini pemerintah sendiri sebenarnya sudah mencoba menanggulangi dengan berbagai tindakan seperti diskon listrik hingga kartu prakerja. Hanya saja, untuk kartu prakerja, sempat menjadi polemik lantaran ditenggarai penuh kepentingan di dalamnya yang justru melibatkan staf khusus Jokowi dan berujung pengunduran diri.

Pola kedua penyesuaian dan kebiasaan baru. Setelah mencari tahu informasi seputar virus ini masyarakat mulai melakukan penyesuaian, terutama adalah gaya hidup bersih atau sehat dan pola kerja. Sehingga masyarakat kini punya kebiasaan baru.

Itu tercermin dari tingginya minat masyarakat terhadap masker dan handsanitizer hingga terjadi ledakan permintaan, bahkan hingga berpolemik. Namun ini langkah awal yang baik untuk sadar kebersihan. Lainnya, masyarakat mulai rajin mencuci tangan, berjemur pagi, hingga konsumsi herbal seperti jamu dalam keseharian.

Kemudian seiring diterapkannya PSBB berubah pula pola kerja masyarakat, terutama pekerja kantoran. Mereka mulai harus menjalani aktivitas kantor di rumah atau work from home alias kerja dari rumah.

Tak hanya pekerja, para pelajar dari berbagai tingkatan juga menjalani aktivitas serupa.

Dengan aktivitas baru yang dilakukan oleh sebagian kalangan pekerja dan pelajar rupanya memunculkan kebiasaan baru. Saya menyebutnya "hiburan di rumah".

Kita lanjut ke pola selanjutnya, atau pola ketiga, yakni korban kebijakan. Pola ketiga ini memang agak mbulet. Saya sebut korban kebijakan lantaran sebenarnya ingin menghindari debat kusir politik. Tapi sepertinya agak susah dihindarkan.

Begini, cerminan dari media sosial banyak perang argumen dari sebuah kebijakan yang dikeluarkan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Yang cukup nyaring adalah soal lockdown.

Banyak argumen yang terlontar dari dua belah pihak, antara yang pro dan yang kontra. Antara yang menyetujui lockdown hingga yang menolak lockdown.

Saya cukup menyimak perdebatan ini--meski sebagian besar hanya dilakukan berdasarkan sentimen. Kedua pihak sama-sama membawa argumen kuat dengan segala petimbangan dan risikonya.

Namun, hasilnya, pemerintah mengeluarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Nah, itulah yang saya maksud sebagai korban kebijakan. Lagi pula aturan ini, menurut penulis memang agak kurang jelas dan tegas, seperti lockdown ya enggak, karantina juga enggak.

Tapi lucunya, kedua belah pihak yang saling berargumen itu akhirnya bersama-sama mengkritik kebijakan PSBB tersebut. Mereka sepakat, PSBB itu kebijakan tak mau ambil risiko. Seperti ada ego elektoral di dalamnya.

Belum selesai sampai di situ, mereka kembali ke dalam pertarungan akibat kebijakan. Kali ini persoalannya adalah pulang kampung atau mudik.

Di satu sisi mereka sepakat kalau pulang kampung dan mudik itu sama. Tapi di lain sisi mereka berbeda pendapat untuk penerapan dilarang mudik.

Lucu, ya.

Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun